Urip Kudu Tenanan
Ada satu pengalaman berharga yang saya petik pasca-menyaksikan persiapan pementasan Nabi Darurat dan Rasul Ad-Hoc (NDRA) di Semarang 25 Maret lalu. Pengalaman itu ialah bahwa rumus baku untuk mendapatkan barokah dari Allah adalah bahwa amal perbuatan itu yang penting harus dilakukan dengan serius dan dalam bahasa Jawa disebut “tenanan”. Urip kudu tenanan (hidup harus serius). Serius bukan berarti tegang dan penuh tekanan, namun serius mengandung arti bahwa segala sesuatunya harus jelas arah dan tujuannya, dan semua itu ditujukan hanya kepada Allah dan bukan yang lain (ilaihi roji’un).
Saya sudah pernah menyaksikan shooting film, (sebut misalnya) Sisa-sisa Laskar Pajang yang dibintangi Bambang Hermanto cs pada 1974 di desa saya di Jatinom Klaten. Demikian pula saya juga sudah pernah menyaksikan persiapan pentas drama di kampus, saya sudah pernah melihat shooting sinetron di TV swasta, dst, namun ketika menyaksikan persiapan NDRA, ada pengalaman “religius” yang tak terkira dan ini lain dari yang lain. Dalam dunia sinetron misalnya, tampak jelas bahwa cerita dan alurnya sangat tidak masuk akal, dan para pemain tidak dituntut untuk acting secara serius, namun yang penting punya wajah tampan dan cantik, mau mengikuti skenario meski harus berpelukan dengan bukan muhrimnya atau buka aurat, dan yang penting pula harus bisa menangis. Rumus sinetron adalah: buatlah penonton gemas dan penasaran untuk melihat tayangan berikutnya. Ceritanya tak perlu rumit, cukup hanya berkutat kepada orang yang sangat baik sekali, dan sangat jahat sekali. Sehari shooting, bisa dibuat beberapa episode, dan bahkan jika aktor utama berhalangan (misalnya), detik itu juga alur cerita dapat diubah segera!
Tentu saja bagi mereka yang penting adalah “rating”. Kejar tayang menjadi rumus utama. Perkara yang menonton akhirnya jadi bloon, cengeng, tidak rasional, konsumtif, bahkan meniru gaya-gaya para bintangnya, dst, itu bukan urusannya. Yang penting keuntungan miliaran rupiah masuk ke kantong produser, TV yang bersangkutan, artis, dan pengusaha yang memasang iklan. Logika mereka adalah logika industri, sehingga tidak percaya kepada keseriusan kepada Allah (bahkan kalau perlu harus kontra terhadap nilai-nilai Allah), dan karenanya yang ditampilkan bukan keindahan nilai atau moral, namun keindahan bentuk tubuh dan aneka kemewahan lainnya.
Berbeda dengan NDRA. Saya yang awam dalam pementasan teater “serius” seperti ini hanya bisa bengong menyaksikan persiapan mereka yang sangat detail. Saya kira kalau sudah tiga kali pentas di berbagai tempat, para pemain tinggal menjaga stamina dan menjaga hafalan dialog saja. Dugaan saya ternyata meleset. Mereka tetap saja rajin melakukan “gladi bersih”, dibuat persis seperti pementasan sesungguhnya, dengan dialog dan acting serius yang meliputi: gerak, bagaimana mengatur jarak dengan penonton, jarak antar pemain, posisi masing-masing, diksi, intonasi, kejelasan pengucapan suku kata, panjang pendeknya kalimat, dst. Yang mengejutkan, “bintang film”-nya rata-rata sudah berusia di atas 50-an tahun. Namun hebatnya kualitas vokal, gerak, dan staminanya sangat prima. Yang lebih dahsyat lagi adalah kemampuan menghafal dialog panjangnya! Saya saja yang masih di bawah 50 tahun, jangankan menghafal dialog Ruwat Sengkolo, untuk menghafal daftar belanja di toko saja sering lupa, sementara mereka begitu prima. Jelas dialog Ruwat Sengkolo yang “omong” adalah Allah sendiri. Tokoh Ruwat hanyalah “media”-Nya.
Kalau dialog itu hanya “ngepop”, atau berisi kata dan kalimat dalam bahasa sehari-hari, saya tidak terlalu kagum. Namun ini adalah dialog yang tidak sembarangan karena yang diucapkan adalah kalimat dari Allah. Saya baru sadar bahwa dialog itu ternyata diambil 100% dari Quran. Ternyata penulis skenario dan sutradaranya itu Allah, dan Emha Ainun Nadjib itu ternyata tak lebih hanya sebagai pekerja-Nya, paling pol tukang ketik kalimat-Nya. Bagaimana mungkin tokoh Ruwat Sengkolo yang sudah di atas 50-an tahun mampu menghafal sepanjang itu kalimat Allah tanpa salah sedikit pun, bahkan terjaga intonasinya dengan baik dan jelas? Setelah saya merenung ternyata kunci kehebatan mereka adalah hanya satu rumus: serius, cinta, dan ikhlas. Bagaimana tidak cinta dan tidak ikhlas kalau pementasan ini keluar dari mainstream logika industri teater modern? Para sutradara dan para pemainnya, semuanya tanpa bayaran dari manusia. Mereka rela berpayah-payah latihan sepanjang hari, siang malam, bahkan tidur di sembarang tempat tanpa memperdulikan “wibawa” lagi. Ini semua terjadi karena mereka sadar betul bahwa dirinya merasa hanyalah pekerja-Nya, sehingga mereka yakin bahwa bayarannya juga langsung dari “kas-Nya”.
Urip kudu tenanan, hidup harus bersungguh-sungguh, demikian kira-kira inti utama pelajaran yang dapat dipetik dari pementasan NDRA ini. Saya sepakat dengan Cak Nun, bahwa yang dipertimbangkan Allah sebagai titik fokus hisab amalan manusia adalah bukan banyaknya amalan, namun seberapa serius amalan itu dikerjakan. Sederhana saja, jika banyaknya amalan yang jadi ukuran, tentu Allah dianggap tidak adil oleh kaum miskin. Bagaimana kaum miskin akan banyak beramal (apalagi berzakat dan berhaji) kalau untuk sekadar makan sehari-hari saja susah? Bagaimana akan puasa lebih khusyuk kalau jam 2 sampai jam 3 siang di terik sinar matahari ternyata mendapat “godaan” berupa tawaran tarikan mbecak?
Jelas bahwa kesungguhan dalam beramal itu yang menjadi tolok ukur Allah ketika meng-hisab manusia di hari akhir nanti. Karenanya dapat dipahami kalau pementasan NDRA sukses dalam arti sebenarnya. Lihat saja tidak dapat dibayangkan sejak semula jika penonton yang ada di UNNES, yang boleh dibilang bukan kelompok gila seni, namun toh dari 1.500 lembar tiket yang disediakan panitia ludes terjual bahkan penonton yang tak kebagian tiket terus minta masuk hingga Gedung FIK penuh sesak. Bagaimana mungkin tidak ada pertolongan dan campur tangan Allah terkait kesuksesan ini, padahal NDRA ini dibuat keluar dari “pakem-industri”. Tidak ada pemain wanita yang cantik, tidak ada kostum yang aneh-aneh dan serba gemerlap, tidak ada artis bintang yang sedang ngetop di jagad dunia hiburan tanah air, bahkan letak gedung FIK itu sendiri “tersembunyi” dari keriuhan Kota Semarang. Gedung itu “sulit” dideteksi keberadaannya karena berada 15 km dari pusat kota (Simpang Lima), dan masuk ke pelosok “gunung” tanpa rambu-tambu yang jelas, namun toh penonton dengan dipandu “RADAR” Allah tetap dapat menemukannya.
Dengan kata lain, NDRA itu dibuat dengan tenanan, dan penonton juga tenanan, apalagi Allah. Firman Allah mengatakan, “apa kamu kira AKU menciptakan kamu untuk main-main belaka?” Jelas bahwa NDRA bukan tontonan, karena naskah NDRA ditulis oleh Allah. Wajar jika setelah pementasan usai, penonton tetap tegak berdiri di tempatnya, seolah tidak mau meninggalkan panggung, dan tampak masih mengais-ngais, tingak-tinguk (Bahasa Jawa) seakan mencari sesuatu. Semakin jelas NDRA sedang “mementaskan” rahasia rohani Quran yang sampai saat ini jarang ditemukan, bahkan oleh orang-orang yang sering disebut ustadz atau kiai, apalagi ustadz jadi-jadian yang hanya berpikir kapitalistis belaka. Dari sisi kebudayaan, NDRA juga mengajak umat untuk menggali lebih dalam, betapa luasnya samudera ajaran-Nya. Umat dapat mengidentifikasi lagi Islam sebagai nilai-nilai kebudayaan, Islam sebagai filsafat kebudayaan, Islam sebagai sistem kebudayaan, dst.
Al-Quran selama ini hanya banyak diperlakukan sekadar sebagai bacaan, dan lebih jauh lagi hanya dilombakan, dan yang lebih gila lagi sering dimanipulasi untuk kepentingan masing-masing. Lewat NDRA orang barangkali akan semakin matang bahwa rahasia rohani Al-Quran amat luas dan dalam, dan ini akan memberi kunci hidup bagi mereka yang mau membaca dan mengamalkannya. Lewat NDRA manusia akan paham bahwa Islam yang sejati adalah Islam-nya Muhammad. Masyarakat muslim khususnya saat ini banyak yang terkecoh justru karena pagar-pagar yang mereka ciptakan sendiri, sehingga aspek kelembagaan yang mestinya hanya sebuah metode, justru disembahnya dan mengurung jiwanya seperti yang digambarkan Ruwat Sengkolo. Akibatnya Islam menjadi sempit dan jumud karena ditutupi — justru — oleh pengikutnya sendiri. Umat Islam banyak yang terkurung dalam sangkar Ruwat Sengkolo, hingga keyakinan, keimanan, kreativitas hidup dan cara berpikirnya justru makin menjauh dari ketauhidan. Allah menjadi elemen sekunder bahkan tersier atau kwarter, ketlingsut (Bahasa Jawa) di sela-sela kejumudan kita sendiri.
Allah bukan lagi menjadi pusat nilai, dan apa yang kita lakukan akhirnya keluar dari garis-Nya dan tidak menuju kepada-Nya. Karenanya bagi yang anti-Islam, amat mudah untuk mencitrakan bahwa agama ini bengis, terbelakang, dan fanatik buta. Pementasan NDRA diharapkan mampu mengembalikan lagi pusat tujuan hidup itu. Umat Islam tidak boleh terjebak ke dalam kedirian, eksistensinya, namun harus menuju tauhid. Di awal sudah dikatakan, bahwa Allah tidak main-main dalam menciptakan manusia. Mereka adalah ahsani taqwim, namun boleh jadi akan dikembalikan menjadi asfala safilin. Jangankan menuju “langit ketujuh”, bahkan yang sering terjadi, justru kita jatuh ke tingkat yang paling rendah, bahkan di bawah binatang. Manusia memiliki nafsu serakah dan itu yang akhirnya menghancurkannya, sementara binatang hanya mau makan secukupnya, serta mampu menjaga kesetiaannya.
Karena Allah tidak main-main ketika menciptakan kita, maka tugas kita juga harus membalas cinta-Nya. Jalan yang harus ditempuh meski panjang, sebenarnya cukup sederhana. Langkah awal tentu umat Islam mesti mampu membebaskan dirinya dalam kungkungan “Ruwat Sengkolo” yang hanya berkutat pada formalisme syariat, namun sudah harus menukik ke hakikat kebenaran dan kesungguhan. Cara pikir kita pada umumnya masih kapitalistis dalam jual beli dengan Allah. Konsep pahala-dosa dan surga-neraka masih menjadi acuan utama, itu pun dalam pengertian sempit. Sialnya kita sering berganti wajah, ketika di masjid dan di sidang pengajian wajah kita teduh, namun keluar dari situ dan kembali ke kantor, kampus, lokasi proyek, dst, wajah kita juga lain. Ini semua akibat dari kealpaan dan ketidakcerdasan sehingga sumber dan sistem nilai (kefilsafatan) Islam tak mampu pula tergali dengan baik. Padahal itulah sumber untuk landasan amal perbuatan dalam menyikapi dan menghadapi tantangan berbagai bidang kehidupan, entah di bidang penalaran ilmiah, perdagangan, ekonomi, politik, termasuk dalam pasar jual beli dengan Allah.
Lewat NDRA hendak dicerahkan bahwa ada yang lebih hakiki daripada menyembah sangkar formalisme sempit. Islam adalah jalan komplet untuk menuju persemayaman di pelukan Allah (qiyam’indallah) serta menyempurnakan perilaku dan moralitas (utammima makarimal akhlaq). Bukankah Rasulullah Muhammad mengatakan, “Aku tidak ditutus Allah kecuali untuk menyempurnakan akhlaq manusia”? Jika akhlaq sudah bersemayam, dan itu dilakukan dengan kesungguhan, maka hukum-hukum tertulis sebagai disinyalir dalam “Panca-Keganjilan” oleh Ruwat Sengkolo, akan tidak ada artinya. Dalam permainan Catur (hukum), ada jutaan kemungkinan persilangan antar pasal hukum, padahal jumlah umat manusia (khususnya di negeri ini), hanya 240 juta jiwa. Jika moral akhlaq sudah bersemayam, maka umat Islam akan mudah mendirikan sembahyang di dalam kehidupan (iqamatih-sholat).
Pementasan NDRA juga menjadi bahan refleksi bahwa apapun yang diorientasikan kepada ketauhidan, maka hasilnya adalah ekonomi-barokah. Apa yang dibanggakan dengan pementasan dunia hiburan moderen di TV-TV swasta? Pertunjukkan mereka hanyalah kekonyolan, ngrumpi, gosip, dan merendahkan martabat. Orang dewasa yang hanya bisa menjawab pertanyaan bahwa Semarang adalah ibukota Jawa Tengah (misalnya), oleh si pembawa acara kuiz dikomentari dan diteriaki: hebat! Manusia super! dst, dan mendapat hadiah puluhan juta rupiah. Ironisnya, orang itu juga bangga dan berseri-seri wajahnya. Gila! Lalu apa hasil mereka? Jelas kehancuran. Maraknya selingkuh, VCD porno, HIV AIDS, narkoba, dst adalah bukti nyata, bahwa dunia hiburan glamour beragamakan api, dan api itu akhirnya justru membakar dan menghancurkannya. Mengapa? Sederhana saja karena prinsip ekonomi mereka hanyalah prinsip kapitalistik yang bersendikan sihir-sihir Fir’aun, bersendikan eksploitasi tubuh, eksploitasi antara buruh-majikan dan tanpa cinta. Karenanya kita memerlukan “tongkat Musa”, lambang ketauhidan, untuk melahap sihir-sihir Fir’aun. Tongkat seperti huruf Alif yang besar, tegak, ahad, dan Allah maha besar.
Orang banyak yang tidak percaya bahwa dunia hiburan dapat ditauhidkan menjadi dunia pencerahan dan menghasilkan “laba” yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan hanya laba materi belaka. Kesemuanya — sekali lagi — kuncinya hanyalah kesungguhan (urip kudu tenanan).