Sumuk
“Tidak ada sesuatu pun di dalam kehidupan yang tidak bisa dipersatukan, karena semuanya berasal dari Satu dan akan kembali kepada Satu. Maka yang apapun saja yang seolah-olah tidak relevan, tidak berkaitan, tidak berhubungan, sesungguhnya semuanya akan gathuk. Orang Jawa sudah mempunyai tradisi othak-athik gathuk. Memang keliru-keliru pada awalnya, tapi kalau engkau ikhlas melakukannya, engkau akan menemukannya. Satu adalah gathuk-nya segala sesuatu.”
“Othak-athik gathuk merupakan jiwa jazz yang selalu melakukan pencarian. Maka Anda tidak akan mampu menemukan nada-nada baku di dalam jazz. Dan Allah membebaskan Anda untuk mencari. Semakin manusia mencari, semakin Allah mencintai dan mendatanginya. Jadi para pemain jazz adalah pejalan tasawuf yang luar biasa”.
Kenduri Cinta edisi April yang tepat jatuh pada tanggal 13 dihiasi oleh penampilan dari Mas Farid dan Mas Anjar, disusul dengan tadarus kemudian lantunan Hasbunallah wa Ni”mal Wakil.
Untuk memberikan lambaran diskusi, Mas Adi, Mas Rusdi, dan Mas Andri memaparkan beberapa hal terkait tema, yakni kata sumuk. Berasal dari bahasa Jawa, sumuk adalah perasaan panas pada tubuh tapi kondisi lingkungan di sekitar tidak memungkinkan keluarnya keringat. Dalam skala yang lebih besar, perasaan gerah ini menyangkut juga tema-tema sosial, perpolitikan, pendidikan, dan apapun. Rakyat Indonesia sedang sumuk, sedang menantikan datangnya kesejukan.
Untuk memahami dan memaknai suatu keadaan, harus ada upaya-upaya ijtihad. Sumuk bisa diartikan sebagai kondisi manusia yang menjadi gerah karena dua faktor: eksternal dan internal. Untuk me-manage faktor-faktor eksternal, dibutuhkan ilmu ruang (pranoto mongso); sementara untuk me-manage fakor-faktor internal, bekal kita adalah ilmu karakter (katuranggan).
Jika kata “sumuk” dikembalikan ke asal-usulnya, Bahasa Sanskrit, kata itu berawal dari “umuk” yang merupakan tragedi kegoncangan diri. Jika huruf “M” kita perlakukan sebagai pusat, di kiri-kanannya ada “US” dan “UK”. US bertumpu pada materi, sementara UK bertumpu pada nilai-nilai feodal. Struktur dialektika masyarakat Indonesia bergerak dari masyarakat paternal ke masyarakat feodal.
Supaya tidak terjadi keburukan-keburukan, perlu dilakukan pembalikan terhadap “M”-nya sehingga tatanan katanya menjadi “suwuk”. Ini merupakan ilmu ruang. Kalau “W” sudah diterapkan, US-nya berubah menjadi United Society.
Dalam wayang, ada lakon-lakon yang sifatnya ke dalam (me-manage hawa nafsu) dan ada yang sifatnya ke luar (meruwat kondisi alam). Yang pertama disimbolkan oleh Bima Suci, yang kedua oleh Bathara Kala. Keduanya harus kita pertemukan sebagai proses dialektika. Untuk bisa sampai pada “bebas-untuk”, sebelumnya kita harus “bebas-dari”.
Ada distrust yang terjadi sehingga menghasilkan rasa saling tidak percaya. Rakyat menyalahkan pemerintah, pemerintah menyalahkan rakyat. Eksekutif menyalahkan legislatif, dan demikian pula dalam lingkup-lingkup yang lebih kecil. Orang-orang baik masih ada di lembaga-lembaga formal, tapi karena ada distrust maka yang naik justru bukanlah mereka.
Tiga tanggapan datang dari tiga jamaah. Yang pertama Mas Imam, yang menyatakan bahwa uraian-uraian prolog tersebut mengingatkannya pada salah satu buku Cak Nun yang berjudul Indonesia Bagian dari Desa Saya, tentang bagaimana orang-orang di desa lebih akrab dengan kerja lapangan sementara orang-orang kota lebih banyak mengkaji buku-buku yang seringkali terlepas dari realitas.
Mbah Zen yang mengaku asli Jember mengungkapkan bahwa yang kita alami saat ini adalah gumantung tanpo canthelan. Kita tidak punya tempat berpijak dan jelas. Mbak Imawati dari Pekalongan menceritakan sedikit pengalamannya sebagai pengajar. Ia berusaha untuk optimis dengan memaparkan idealitas kepada anak-anak ajarnya. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah ketika agama sudah tidak mampu menjadi solusi, lantas apa yang bisa diharapkan?
“Orang-orang sukses memang pasti selalu gelisah”, Mas Beben dari Komunitas Jazz Kemayoran memberikan prolog sebelum menyajikan beberapa lagu, “Orang jazz adalah orang yang tidak betah (sumuk) jika harus memegang C hanya dalam satu cara. Orang jazz selalu berpikir, tidak menyukai kehidupan yang stagnan. Kalau kamu naik panggung selalu menampilkan hal yang sama, itu bukan jazz, begitu kata seorang tokoh jazz”.
Jazz merupakan manifestasi kegelisahan orang kulit hitam yang pada masa itu berada dalam tekanan hidup sehingga mereka hanya bisa bebas di dunia musik. Kebebasan itu terwujud dalam improvisasi yang sifatnya spontan. Filosofi jazz adalah bermain sambil mendengar. Anatomi musik jazz selalu memberikan kesempatan orang untuk ngomong. Di dalam jazz ada tema yang bisa dimainkan dalam bentuk instrumental maupun nyanyian.
“Musik adalah hidup itu sendiri. Musik adalah tentang tiga hal: melodi, harmoni, dan ritmik. Yang membedakan jazz dengan blues adalah ritmenya”, tambah Mas Beben yang setiap Minggu siang mengajar jazz secara gratis di Kandank Jurank Doank itu. Komunitas Jazz Kemayoran sendiri sudah berjalan selama delapan tahun dengan misi “Lewat jazz kita bersilaturrahmi”.
Diskusi Sesi Pertama
Setelah alunan Route 66 versi jazz, dimulailah diskusi sesi pertama. Di panggung telah hadir Bu Sekar Ayu Asmara, Mbak Dewi Umaya, dan Mas Sabrang yang saat ini sedang menggarap sebuah film berjudul Pasar Gambir yang menggambarkan perjalanan Ismail Marzuki menemukan true love pada istrinya, yang dari sanalah inspirasi lagu-lagunya bersumber.
Sebagai sutradara, Bu Sekar sempat mengenal secara langsung istri Almarhum Ismail Marzuki. Namanya Elis, seorang penyanyi. Perjumpaannya dengan Mail — demikian Ismail Marzuki akrab disapa — pertama kali di Pasar Gambir, cikal bakal PRJ. Ketika itu Elis hendak meengikuti lomba menyanyi keroncong.
Mail adalah anak Betawi gedongan yang ayahnya memiliki bisnis distribusi alat-alat musik di Kwitang. Sedangkan ibunya tak sempat dikenal oleh Mail, karena meninggal dunia sewaktu melahirkan. Mail menemukan kemampuannya dalam bermusik secara otodidak. Saat ini, semua lagu ciptaan Ismail Marzuki yang berjumlah sekitar 150, tercatat di Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) dan merupakan penerima royalti terbesar. Penerimaan royalti itu berlaku sampai dengan 50 tahun setelah meninggalnya.
Mail dan Elis tinggal di Bandung, di dalam sebuah rumah yang sangat sederhana bersama anak angkatnya. Semasa hidupnya, Mail punya kebiasaan tiduran di pangkuan Elis setelah makan siang. Dan dalam keadaan seperti itulah Mail meninggal.
Pasar Gambir bukan film dokumenter, melainkan film drama musikal yang beberapa nama tokoh dan keadaannya sengaja diubah supaya film mengalir. Pasar Gambir pada masa itu merupakan pasar malam yang oleh Wilhelmina ditetapkan ulang tahunnya pada bulan Juni.
Pasar Gambir — yang juga merupakan salah satu judul lagu ciptaan Mail — menceritakan latar belakang penciptaan lagu-lagu yang sangat akrab di telinga kita, seperti Rayuan Pulau Kelapa, Juwita Malam, dan sebagainya.
Sebagai closing statement, Bu Sekar mengajak semuanya, “Mari berkarya demi Indonesia”.
Sebagai peralihan ke diskusi sesi kedua, Mas Anjar bersama-sama dengan jamaah menyajikan lagu ciptaan Ismail Marzuki yang berjudul Indonesia Pusaka dan Juwita Malam.
Diskusi Sesi Kedua
“Saya sudah mempersiapkan beberapa materi untuk KC kali ini”, Ustadz Nursamad Kamba mengawali uraiannya, “Saya tidak mengatakan ini kasyaf, supaya tidak berbangga-bangga. Saya sudah menyusun judul sebelum tema ini muncul. Bahan yang sudah saya siapkan akan mewakili tema kali ini. Yang saya siapkan adalah Antara Sumuk dan Tidak — sesuai dengan kondisi di mana manusia menganggap dirinya jauh lebih maju tapi sebenarnya dia berada di antara. Peradaban kita adalah peradaban “di antara”, antara jelas dengan tidak, antara laki-laki dan perempuan, antara ilmu dan tidak ilmu, dan seterusnya”.
Manusia dalam strukturnya terdiri dari 3 bagian, yaitu ego, super ego, dan diri. Manusialah yang berada di dalam jiwa, bukan sebaliknya. Jiwa, yang dapat pula disebut sebagai nafs/ruh, adalah sesuatu yang sifatnya feminin, menerima dan mencipta. Jiwa adalah wadah bagi semuanya.
Menurut Carl Jung di dalam Psikologi Kepribadian, ada yang catatan-catatannya terbawa ke alam bawah sadar sejak lahir; dan ada pula catatan-catatan yang berada dalam kompleks-kompleks. Dalam ritual yang diajarkan oleh Nabi, seorang bayi diadzani begitu dilahirkan karena potensi penginderaannya sangat kuat.
Ada perjanjian primordial yang sifatnya azali di dalam diri manusia. Dalam Jawa, ini dikenal sebagai sangkan paran. Ego kita terbawa melayang-layang dalam dunia jiwa dan dia bisa melalui proses pemilihan-pemilihan, kemudian bisa mendapatkan kebenaran yang utuh dalam alam bawah sadar. Ada tanda-tanda yang menuju ke Tuhan dan ada pula yang tidak; walaupun pada akhirnya semua pasti harus kembali ke Tuhan.
Dataran ego memiliki dua fungsi, yakni kebutuhan biologis dan eksistensi fisik. Perjalanan manusia adalah proses mengangkat perjanjian primordial dari alam bawah sadar ke atas sedemikian hingga menjadi datar dan menutupi dataran ego. Di dalam hadits disebutkan bahwa di dalam tubuh ada pusat kontrol yang jika dia baik maka seluruh tubuh akan menjadi baik dan begitu pula sebaliknya. Pusat kontrol itulah mindset.
Jati diri adalah kembali ke asal-muasal kita, kembali ke hablumminallah. Dalam konteks Allah itulah kita bisa bertemu, di ruang rindu.
“Syair Ruang Rindu benar-benar sufistik“.
Ketika alam bawah sadar menemukan bahwa dirinya berada di jalur Tuhan, inilah yang dinamakan sirathal mustaqim. Pada titik ini dia menemukan jati dirinya tapi belum bisa menerjemahkannya ke dalam realitas. Ketika dia sudah bisa merealisasikannya, itulah tauhid.
“Relativitas adalah kebenaran jika dipandang dari sudut-sudut yang tertentu, dan ia tidak sama dengan nihilisme. Saya melakukan pertapaan selama 3 bulan atas izin Asy-Syaikhul Akbar Muhammad Ainun Nadjib dan hasilnya adalah yang akan saya sampaikan setelah ini”.
Setidaknya ketika diri kita menerjemahkan tauhid ke dalam dunia konkret akan terjadi 3 hal. Pertama, diri kita adalah penampakan tajalli. Ketika berbicara, seakan-akan Tuhanlah yang berbicara. Tapi ini sangat berbeda jika berbicara atas nama Tuhan berada dalam tataran ego. Pada tataran ego, kita mengeksploitasi nama Tuhan untuk kepentingan sendiri.
Kedua, kita merupakan kebanggaan Allah. Ketika sudah melampaui dataran ego itulah maka manusia menjadi khalifah, diberi mandat untuk menjaga Bumi — bukan justru menghancurkannya untuk memuaskan ego. Mulai sekitar abad kelima belas muncul Renaissance. Penjajahan menciptakan akuarium dan menumbuhkan keyakinan bahwa di luar akuarium tidak ada jalan keselamatan. Seakan-akan peradaban hanya ada di situ. Itulah yang sedang terjadi pada Nusantara.
Ketiga, bertuhan itu bukan dengan konsepsi melainkan dengan interaksi. Di sinilah fungsi penafsiran: interaksi dengan Tuhan melalui ayat-ayat-Nya, pohon-pohon-Nya, dan apapun. Dalam bahasa psikologi, alam bawah sadar melakukan pengamatan ekstrovertif dan introvertif. Dialektika itulah yang menghasilkan sikap berTuhan. Jangan sampai kita beragama tapi tidak berTuhan.
“Saya empat tahun belajar di Al-Azhar menyembunyikan ateisme dalam diri saya. Semua argumentasi benar dari pandangan masing-masing. Saya sempat berpikir, “Kali aja agama ini dibikin oleh ulama-ulama ya?”. Tapi kemudian ada syekh yang menyelamatkan saya dengan barokah, bukan dengan penjelasan”.
“Semakin banyak orang naik haji, semakin banyak pula dekadensi moral. Agama bukanlah organisasi dan institusi tempat kita kumpul-kumpul. Wajar bahwa Darwin dan Marx menolak agama dalam konteks tempat kumpul-kumpul yang pada suatu saat melakukan perusakan-perusakan dengan mengatasnamakan agama”.
Ritual-ritual ibadah seharusnya menjadi alat untuk membawa pada perbaikan akhlaq, dari ego ke jati diri. Dalam berinteraksi dengan Tuhan, Tuhan itu menyapa, bukan memerintahkan. Apa yang saat ini kita sebut sebagai perintah sebenarnya adalah sapaan, karena ketika Tuhan memerintah maka perintah-Nya pasti terjadi. Tuhan mengingatkan, bukan mengancam. Tuhan membimbing, bukan menghardik. Tuhan mengirimkan sinyal-sinyal-Nya melalui apa saja. Sinyal gravitasi dikirimkan melalui Newton.
Tiga jamaah menyampaikan tiga tanggapan atas uraian Ustadz Nursamad Kamba. Mas Imam mengatakan bahwa Nihilisme merupakan paham yang digawangi oleh filsuf Jerman, Nietsczhe, yang lahir ketika Eropa dalam keadaan mencekam. Dalam kondisi materialisme seperti itu dia mengatakan bahwa Tuhan telah mati. Sementara Nietsczhe menyorotkan bahasannya pada diri, materi, dan tragedi, Rumi banyak menggunakan anggur, cinta, dan mabuk dalam tulisan-tulisannya.
Mas Ari menanyakan apakah sama antara alam bawah sadar dengan naluri. Dia kemudian membacakan puisinya yang berjudul Wajah Negeriku Indonesia. Pertanyaan ketiga datang dari Mas Agung, seorang mualaf dan wartawan Bahana, mengenai penyusunan surat-surat dalam Alquran yang tidak kronologis berdasar turunnya.
Pertanyaan-pertanyaan dari jamaah disambung dengan penampilan dari Beben Jazz lagi. Kali ini menyajikan Juwita Malam yang dinyanyikan oleh Mas Endi, jamaah dari Depok. Pada lagu kedua Mas Beben meminta adiknya, Mas Dik Doank, untuk naik panggung. Mereka berkolaborasi membawakan lagu Mas Dik yang secara spontan diberi judul Sumuk, sebuah jazz jaipong. Keceriaan dilanjutkan dengan sajian lagu LOVE, Fly Me To The Moon, dan It Had To Be You. Di antara masing-masing lagu itu, Mas Beben membagi pengetahuan seputar musik jazz.
“Jangan takut salah bermain musik,” ujar Mas Beben, “Poin penting dalam musik adalah interval, jarak. Phytagoras mendapatkan inspirasi dari pandai besi di dekat rumahnya, sampai tercipta diatonis. Selain itu, dia juga terinspirasi oleh antariksa. Phytagoras lah yang membagi chord“.
Tahun 1916 blues datang, membawa sesuatu yang mencengangkan orang kulit putih dengan pentatonisnya. Ada yang bilang bahwa semua musik modern berutang budi pada musik blues.
“Sebenarnya semua punya pentatonis tapi dalam bentuk yang berbeda-beda, baik itu Jawa, Sunda, dan bangsa-bangsa lain”.
Selepas penampilan dari Beben Jazz, naik ke panggung Cak Nun, Cak Kartolo, Cak Sapari, dan Gus Candramalik. “Saya tadi berbisik-bisik pada Syekh Nursamad,” Cak Nun menyapa semua yang hadir, “Di dalam dunia tasawuf jazz itu salikin, manusia yang selalu menempuh perjalanan mencari kemungkinan-kemungkinan baru — dan inilah puncak manusia. Malaikat, setan, dan iblis tidak mencari karena mereka sudah pasti seperti itu. Tapi manusia hanya menjadi manusia kalau dia terus-menerus mencari. Di dalam jazz tidak ada yang baku, maka ketika Anda mainkan, lima menit kemudian akan Anda temukan sesuatu yang baru. Itulah salikin. Salik adalah subyeknya, sementara perbuatannya dinamakan suluk”.
“Seluas-luasnya jagat raya, setidak terbatas tidak terbatasnya alam semesta, ke manapun Anda pergi — ke yang paling gelap sampai yang paling terang, ke yang paling buruk sampai yang paling baik, ke yang paling bermutu sampai yang paling picisan, itu dalam Bahasa Jawa disebut sebagai othak-athik gathuk“.
“Maka puncak jazz malam hari ini adalah ketika bisa kita temukan Swahilian yang berkembang menjadi jazz dengan Kartoloan. Kalau belum bisa bertemu, berarti salikinnya masih harus ditingkatkan. Karena tidak mungkin tidak bisa bertemu, karena tidak ada sesuatu di dalam kehidupan ini yang tidak bisa dipersatukan, karena semua berasal dari Satu dan akan kembali kepada Satu. Maka apapun yang seolaholah tidak relevan, tidak berkaitan, tidak berhubungan, sesungguhnya semuanya akan gathuk. Orang Jawa mempunyai tradisi othak-athik gathuk. Memang keliru-keliru pada awalnya, tapi kalau engkau ikhlas malakukannya, engkau akan menemukan. Satu adalah gathuk-nya segala sesuatu”.
“Othak-athik gathuk merupakan jiwa jazz yang selalu melakukan pencarian. Maka Anda tidak akan mampu menemukan nada-nada baku dalam jazz. Anda tidak dapat menemukan ritme baku dalam jazz. Dan Allah membebaskan manusia untuk mencari. Semakin manusia mencari, semakin Tuhan mencintai dan mendatanginya. Jadi, para pemain jazz merupakan pejalan tasawuf yang luar biasa. Dan janganlah pakai peci atau sorban karena peci dan sorban biasanya dipakai untuk menutupi kebusukan pelakunya”.
Cak Nun kemudian meminta Beben Jazz berkolaborasi dengan Cak Kartolo cs di panggung pada akhir acara.
“Kalau Anda tanya kenapa Quran tidak kronologis, emangnya Quran karawitan? Quran itu jazz. Mau kau ambil yang mana saja, oke. Mau kau bolak-balik, tidak ada masalah. Di dalam Cinta tidak ada pusat, karena setiap titik adalah pusat”.
“Kalau di Malioboro, Mas Beben kami angkat sebagai presiden Malioboro. Dulu presidennya adalah penyair dahsyat bernama Umbu Landu Paranggi yang melakukan perjalanan jazzy persis seperti Buddha yang meninggalkan istana dan pemilikan keduniaannya. Umbu adalah anak raja yang meninggalkan semua itu, menjadi gelandangan di Jogja kemudian kami lantik sebagai guru terbaik”.
“Sebaik-baik guru adalah yang tidak mengajar. Kalau dia masih punya nafsu mengajar, dia tidak begitu punya mental guru. Apalagi guru yang jazzy, dia tidak pernah mengajar. Dia selalu menantang dan merangsang, membikin muridnya marah sampai kemudian si murid ingin menandingi gurunya. Maka muridnya akan sangat dahsyat”.
“Kalau Anda dari Gunung Merapi lurus terus ke selatan, nanti sampai ke Tugu Jogja. Untuk setting saja, kalau Anda ngomong Gunung Merapi berarti Anda tidak akan bisa meninggalkan Ratu Syima dan Pangeran Padma. Anda tidak bisa meninggalkan Sunan Kalijaga yang mendesain melingkarnya ular naga Baruklinthing mengelilingi Gunung Merapi sehingga lidah dan ekornya menyatu. Artinya, putra Brawijaya yang bernama Ki Ageng Mangir ingin belajar Islam kepada Sunan Kalijaga tapi tidak diterima, tidak diajar karena Sunan Kalijaga adalah sebaik-baik guru tapi malah dihajar. “Kalau kamu sudah bisa menjadi naga yang mengelilingi gunung Merapi sehingga lidah dan ekormu bertemu, maka kamu saya terima jadi murid saya”.
Murid yang bodoh adalah yang belajar bagaimana menjadi naga, tapi seorang mufassir, seorang salik, seorang pencari, pemain jazz, menafsirkan. “Oh, saya harus menciptakan cinta, kemaslahatan, dan kesejahteraan di sekeliling Merapi sampai tidak ada lagi jarak sehingga ekor dan lidah menyatu”. Kelak itu disebut naga Baruklinthing.
Ki Ageng Mangir mengIslamkan dan membimbing kehidupan semua penduduk di seputar Gunung Merapi dengan begitu sempurna sehingga diterima menjadi murid Sunan Kalijaga. “Saya sedang bekerja keras dengan Sabrang untuk urusan Merapi dan saya mohon doa, mudah-mudahan para gubernur, para kepala dinas di seputar Pulau Jawa bersepakat untuk mengeliminir keharusan-keharusan alamiah yang seharusnya bisa terjadi di bulan Mei”.
“Dari Tugu ke rel kereta, namanya Jalan Mangkubumi. Dulu nama aslinya adalah Margo Utomo, Jalan Keutamaan. Kemarin KiaiKanjeng mengaransir dari Tugu ke keraton dengan 4 nomor lagu yang auranya disesuaikan dengan tahap-tahap perjalanan 4 itu tadi, yaitu ketegasan Alquran di dalam wataknya”.
“Yang pertama adalah Keutamaan, tapi keutamaan bukanlah yang utama dalam hidup manusia karena masih ada 3 yang lain. Jalan dari rel ke perempatan yang ada toko batik Terang Bulan, itu namanya Malioboro. Dari perempatan Terang Bulan sampai ke kantor pos namanya Margomulyo, Jalan Kemuliaan. Jadi kemuliaan itu 2 tingkat di atas keutamaan. Dari Kantor Pos menuju Keraton melewati tengah alun-alun yang ada 2 beringin kembar itu namanya Pangurakan. Urak itu artinya mengusir. Pangurakan itu kesanggupan manusia untuk memegang dunia di tangannya. Dia tidak lagi diselipkan oleh dunia di genggaman dunia itu. Dia sudah enteng memandang dunia. Dia tidak ingin menjadi presiden 2014. Dia tidak berebut apapun, tidak urusan sama popularitas. yang nikmat adalah ketika mampu mengusir dunia dari kehidupannya. Maksudnya mengusir dunia, padatan-padatan yang rendah itu dari rohmu yang sangat lembut sehingga kamu akan masuk ke keraton Malikul Mulki, kerajaan dirimu sendiri di mana rajamu adalah engkau sendiri.”
“Dalam bahasa Jawa ada pattern. Kalau ada perintah dari orang tua “Dirikanlah warung”: “Marungo!”, “Jadilah kambing”: “Medhuso!”, “Jadilah wali”: Malio (Jadilah penikmat jazz, jadilah pelaku pengembaraan ruhani, jadilah pengejar kemungkinan-kemungkinan, jadilah pemburu cakrawala). “Sing ngumboro artinya yang selalu mengembara”.
“Kita bukan sedang sekadar mendengarkan musik, tapi sedang mengalami sesuatu. Anda semua adalah pemain jazz, walaupun tidak selalu dalam suluk nada, irama, pentatonis, diatonis. Contohnya Kartolo, dia tidak pernah ngomong yang bukan jazz.”
Ada sebuah cerita ketika Rasulullah thawaf, di depannya ada orang Badui yang juga sedang thawaf. Si Badui menyebut satu sifat Allah saja, yaitu “Ya Kariim..Ya Kariim..Ya Kariim”. Rasulullah senang sampai kemudian menirukan di belakangnya. Si Badui menoleh, dan memperingatkan Rasulullah untuk tidak menirukannya. Rasulullah tetap menirukan tapi lebih pelan. Setelah 3 tahap ditirukan, si Badui merinding dan menoleh sambil berkata “Wahai kamu orang Arab, kalau tidak karena aku memandang wajahmu yang penuh cahaya, sebenarnya aku benar-benar marah kamu tirukan aku dan akan aku laporkan kepada Muhammad!”
Rasulullah bertanya, “Kamu kenal Muhammad?”
“Aku berkeliling mencari-carinya ,tapi bahkan sampai saat ini aku belum juga bertemu dengannya”, jawab si Badui.
“Ya Badawi, aku ini Muhammad nabimu”.
Orang Badui itu langsung memeluk Muhammad, mencium tangannya. Ketika itu datang Jibril, menyampaikan salam dari Allah untuk Muhammad dan juga menyampaikan pertanyaan dari Allah untuk si Badui.
“Apakah engkau mengira bahwa Allah tidak akan menghisab dosa-dosamu dengan wirid Ya Kariim Ya Kariim?”
Orang Badui itu menjawab, “Apa? Allah akan menghisab saya? Kalau Allah berani-berani menghisabku, aku akan ganti menghisab Dia”.
Jibril kembali menyampaikan pertanyaan Allah kepada si Badui, “Ya Muhammad, Allah menitipkan pertanyaan bagaimana caranya kamu menghisab Allah padahal Allah lah yang berposisi menghisabmu?”
“Kalau Allah menghisab dosaku, maka aku akan menghisab ampunan-Nya kepadaku. Kalau Allah menghisab kelalaian hidupku, salah-salahnya sikapku, maka aku akan menghisab kedermawanan-Nya padaku.”
Allah menyuruh Jibril berkata pada Muhammad untuk menyampaikan kepada si Badui, “Tidak usah kamu menghisab-hisab Allah, karena Aku tidak akan menghisab kamu!”
“Jadi Tuhan itu Maha Jazz. Mudah-mudahan dari sini Anda punya cakrawala yang luas dan mengetahui bermacam-macam kemungkinan dalam kehidupan sehingga Anda tidak tertekan oleh apapun saja. Orang jazz adalah orang yang lulus dari segala macam tekanan. Dia tidak tertekan oleh aturan-aturan musik apapun. Jazz itu tertinggi karena dia sudah menari-nari di atas seluruh aturan.”
“Kalau kita lihat foto Sultan: kiri tombak, kanan bokor, (tempat buah) alas kain putih hitam kotak-kotak seperti papan catur seperti pakaiannya Bima. Kalau kata Sabrang, yang paling mudah dilakukan manusia tanpa bekal ilmu apapun adalah melihat keburukan orang lain. Tapi buah kehidupan yang sesungguhnya ada di sebelah kanan, susah sekali untuk melihatnya”.
Yang terpenting adalah alasnya. Bima adalah simbol atas kebenaran, di mana yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Presiden paling tinggi adalah Bima, dan harus Bima. Musik pop dan yang lain adalah hitam-putih, sedangkan jazz telah menginjak hitam dan putih. Hitam dan putih sudah dielaborasi. Karena ujung dari seluruh pengembaraan manusia adalah cinta di dalam ruang. Maka kalau Sultan sudah mengatasi hitam-putih itu dia menjadi Prabu Puntadewa. Dia jauh lebih kuat daripada Soeharto. Soeharto adalah adik satu bapak dengannya. Dia buka penyelewengan 1 Maret tapi ngalah demi menghindari konflik yang lebih besar.
Dalam jazz sudah tidak penting masuk televisi atau tidak, terkenal atau tidak, karena yang nikmat adalah yang sudah mereka lakukan sekarang.
“Wahai Indonesia, tidak usah engkau menghisabku, karena aku juga tidak akan menghisabmu. Kamu tidak usah menghitung KC, karena bagi KC kamu juga tidak terhitung. Sebab ada yang jauh lebih besar dalam pengembaraan kami, di mana Indonesia hanya bagian sangat kecil dari itu semua.”
Sesuai permintaan Cak Nun, pada akhir acara Cak Kartolo dan Cak Sapari satu panggung dengan Beben Jazz. Pada awalnya Cak Kartolo mengaku kebingungan bagaimana mempersatukan kedua hal yang sangat berbeda itu. Beliau sangat mahir dalam ngidung, tapi jazz?
Namun pada perjalanannya, Beben Jazz dengan sangat luwes mengikuti Cak Kartolo dan Cak Sapari. Jamaah tertawa terpingkal-pingkal menikmati sajian itu.
Menjelang pukul tiga pagi, Cak Nun mengajak jamaah berdiri dan berdoa bersama, dipimpin oleh Ustadz Nursamad Kamba.