Sentono Arum
Beberapa hari setelah kepulangan Ibunda Chalimah ke Hadirat-Nya, para peziarah terus mengalir berdatangan bak air bah saja. Cak Nun dalam satu kesempatan mengatakan kepada saya: “Siapapun boleh berdoa dengan caranya masing-masing. Yang mau tahlil silakan, yang tidak suka tahlil juga silakan, bahkan hanya mau duduk-duduk saja di sekitar makam juga dipersilakan, semuanya hanya Allah yang akan menilai”. Apa yang dikatakan Cak Nun ini nampaknya juga sejalan dengan cita-cita dan perjuangan ibunda, yakni jihad nilai dan progresivitas “politik”.
Dengan kata lain, Ibunda tidak mengajarkan “baju” atau “penampilan”, tapi mengajarkan “ruhani” dan “nilai”. Tidak peduli apapun mazhab-mu, kamu boleh NU atau Muhammadiyah, HTI, FPI, Tarekat, Syiah, Sunni atau bahkan Islam KTP, yang penting “output” sosialmu nampak dalam kehidupan keseharian.
Dalam bahasa Cak Nun, ibarat sebuah warung, kita tidak peduli seperti apa bentuk dapur warung tersebut, yang penting masakan yang dihidangkan sehat dan enak. Jauh hari Rasulullah Muhammad SAW juga sudah mengatakan bahwa kelak umat Islam itu akan terpecah menjadi 73 golongan. Dari sejumlah itu hanya satu yang tidak sesat. Sialnya sampai saat ini setiap kelompok keyakinan dalam Islam merasa dalam golongan yang satu itu, dan 72 kelompok di luar dirinya adalah sesat. Bagaimana mungkin orang dapat mengklaim bahwa dirinya tidak sesat padahal ia belum pernah mati dan belum pernah bertanya langsung kepada Allah SWT? Kalaupun itu atas dasar keyakinan atau tafsirnya, siapa yang menilai bahwa keyakinannya paling benar?
Sahabat dan senior saya Toto Rahardjo dalam pengajian Maiyah di Mocopat Safaat sebulan yang lalu berseloroh: “Saat ini banyak ustadz yang sudah berpengalaman di akherat”. Maksud beliau adalah, mereka berani meng-klaim bahwa dirinyalah yang paling benar karena sudah bertemu langsung dengan Tuhan.
Bagaimana sebuah keyakinan diklaim paling benar, padahal tidak ada bukti “ilmiah”? Di titik inilah bentrokan akan terjadi. Agama atau sistem kepercayaan pada dasarnya adalah pengalaman batin seseorang yang sifatnya subyektif karena penuh tafsiran (inner state or subjective experience). Permasalahannya daya dorong atau daya himbau ajaran agama yang sudah ditafsirkan tersebut selalu saja menumbuhkan fanatisme sehingga para pengikutnya akan berusaha “mati-matian” untuk mengobyektifkannya di dunia nyata.
Padahal Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa dirinya diutus untuk menegakkan dan memperbaiki akhlak, dan Islam adalah rahmatan lil alamin. Islam diturunkan untuk keselamatan seluruh alam, dan bukan untuk yang satu golongan bahkan satu agama saja. Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, yang beliau lakukan juga hal-hal yang konkret yang menyentuh nasib umat (bukan hanya Islam saja).
Bandingkan umat Islam kita yang fanatik tersebut, mereka merasa pengikut Muhammad, namun tidak meniru akhlak beliau. Mereka merasa berjihad jika bisa membakar dan membunuh saudaranya sendiri yang tidak seagama dan bahkan tidak sealiran dengannya. Mereka selalu berteriak lantang soal lemak babi di dalam kuah bakso, namun diam saja menyaksikan pembabatan hutan, pembalakan tambang-tambang, atau menyaksikan tetangga kiri kananya kesusahan tidak bisa sekolah atau makan.
Al Quran justru mengajari untuk mengasihi kelompok lain yang tidak sealiran bahkan yang tidak seagama (lakum dinukum waliyadin, bagiku agamaku dan bagimu agamamu). Islam tidak mengajarkan untuk membunuh dan menyerbu kelompok lain yang tidak sepaham. Bahkan Rasulullah SAW selalu menghormati orang yang tidak seagama ,misalnya pernah menyuapi wanita Yahudi setiap pagi dan menghormati jenazah Yahudi. Beliau tidak pernah menggunakan pedang untuk membunuhi yang bukan Islam.
Sentono Arum
Kembali kepada jihad nilai yang diajarkan Ibunda Chalimah. Barangkali kita baru tersadar bahwa pemikiran ”wanita desa” nan sederhana ini ternyata tidak kalah dengan pemikir-pemikir Islam — bahkan yang mengaku berlabel internasional. Pemikiran dan perjuangan Ibunda sudah melampaui jamannya. Kalau dalam bahasa sekarang barangkali dapat disebut: “Think globally, act locally atau berpikir global, bertindak lokal (yang berdampak global)” ….
Jika Arnold dalam bukunya yang ia beri label The Corrupted Sciences (1992) bilang bahwa (pemahaman) agama masa depan adalah agama yang inklusif, humanis, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip antropis dan hukum alam, dst, Ibunda sudah mempraktekkannya pada tahun 60-an dan 70-an, bahkan jauh hari sebelum itu. Kalau Arnold dalam bukunya tersebut menyebut secara khusus keberagaman kaum sufi atau esoterisme Tao sebagai contoh agama masa depan, Ibunda sudah mempraktekkan bahwa manusia sebagai subyek sentral sekaligus memiliki kekuatan spiritual yang tinggi, sehingga ia akan menjadi khalifah. Ibunda sangat paham bahwa manusia harus menjadi sosok yang memanajemen bumi dan isinya untuk kemaslahatan bersama, dan karenanya, bersama Sang Suami tercinta Muhammad (Ayahanda Cak Nun bersaudara), beliau mengajarkan perjuangan dan mempraktekkanan pengabdian sosial.
Dua kombinasi yang juga unik, yang satu perjuangan dan pengabdian sosial, yang satu lagi mengajarkan jihad nilai. Ibu mengajarkan “Qul shadaqallah (juz 4)”, “Tabarok”, “Ar-Rahman”, dll, dan karenanya, “Nikmat dari Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan?”. Spiritualisme ini penting, karena meski output agama adalah duniawi juga, namun jika masalah ukhrowi terlupakan, maka akan terjadi ketidakseimbangan. Ajaran agama apapun menuntun umatnya agar ingat akherat. Hidup ini hanya sementara atau orang Jawa bilang bahwa urip mung mampir ngombe. Ajaran ini menegaskan bahwa ketika dunia ada “di hadapannya” kita tidak serta merta “mengenyamnya”.
Kalau ajaran ini berhasil diserap umat manusia, maka ia akan menuju posisi pembebasan dari sisi-sisi keduniawian dan dilepaskan di hadapan Allah. Ini adalah proses “dematerialisasi” atau “deindividualisasi”, karena yang penting adalah Allah. Dunia dan isinya hanyalah “sarana” atau “metoda” dan dimanajemen sepenuhnya untuk menuju Allah. Dengan kata lain, produk-produk duniawi tetap penting bahkan dianjurkan untuk dicari mati-matian secara halal dan toyib, namun “harus dimanajemen” untuk menuju Allah SWT!
Tuntutan ini tidak mudah karena menurut hasil penelitian para ahli psikologi (Hidayat,1994), kapasitas penalaran manusia itu yang teraktualisasikan tidak melebihi angka 13%. Bahkan mayoritas manusia masih di bawah 5%. Dengan kata lain, cara pandang manusia terhadap alam, terhadap dirinya, terhadap warisan sejarah dan faham agama yang dianutnya, akan selalu mengalami evolusi bahkan lompatan paradigma.
Berbeda dengan hasil penelitian itu, “Duet” Ayahanda Muhammad dan Ibunda Chalimah telah melampaui 100%. Keduanya meneladani Rasulullah yang mengaktualisasikan Islam dengan membangun pertanian, penguatan usaha mikro dan usaha kecil menengah, serta koperasi ketika di Madinah. Sebagian besar harta beliau diwakafkan untuk urusan ini. Dengan kata lain, di Madinah, Islam adalah agama “action” untuk keperluan kesejahteraan bersama, dan bukan memperbesar perbedaan penafsiran dan aliran, apalagi menjadi konflik.
Dalam tradisi Rasulullah, seperti disusun Athar Hussein dalam The Message of Muhammad (1983, Sahidah, 2012), masjid bukan hanya ruang untuk membicarakan ibadah, tetapi juga muamalah (sosial). Setelah menyampaikan yang pertama, Rasulullah menanyakan kesejahteraan umatnya. Di tahun 60-an dan 70-an ketika masyarakat di sekitar rumah beliau di Menturo banyak yang mengalami kesulitan pangan, Ibunda selalu berkelililng untuk menanyakan kepada tetangga kiri kanan apa yang sedang mereka masak. Jika ada kesulitan tak segan beliau berdua turun tangan membantu dengan penuh keikhlasan.
Demikian pula sebagai guru mengaji, Ayahanda Muhammad pasti paham bahwa potensi khotbah adalah untuk perubahan sosial, yakni mendorong pengkhotbah mengangkat persoalan bersama jamaah. Tentu, peran intelektual sangat penting, dalam pengertian Ali Syariati adalah mereka yang berbicara dengan bahasa masyarakatnya, untuk memasok gagasan. Pendek kata, setelah Jumatan (pengajian) usai, mereka bisa duduk bersama untuk merumuskan tindakan pembangunan desa misalnya. Karena itu, mungkin saja kandungan khotbah mempersoalkan masalah setempat, misalnya : apakah kita harus gotong royong bikin jalan dan jembatan, mengapa harga panenan terus merosot, bagaimana mengajarkan bercocok tanam yang baik, siapa yang kesulitan untuk makan dan bayar SPP anaknya, dst.
Praktek dari Ayahanda Muhammad ini sekarang banyak ditinggalkan. Dalam banyak khotbah, yang sering kita temukan hanyalah ajakan menggelorakan permusuhan kepada orang lain, tidak menekankan pada musuh yang sesungguhnya, yaitu kemiskinan, kebodohan, serta penyakit masyarakat.
Alhamdulillah, cita-cita beliau berdua kini tercapai. Padhang Mbulan telah melebar dan “ngremboko” (Jw), baik yang ada di Kenduri Cinta, Gambang Safaat, Mocopat Syafaat, Bangbang Wetan, Majelis Baradhah, dsb. Bahkan kini beliau tetap bisa “momong” para jamaah di pelataran tersebut yang diberi nama “Sentono Arum” oleh para Jamaah Maiyah.
Sentono Arum jelas berbeda dengan Astana Giri Bangun milik Alm Pak Harto yang sudah dirancang jauh hari di sebuah bukit megah dan elok sebagai simbol kebesaran, sebaliknya Sentono Arum “hanyalah” sebuah gubug kecil yang sangat sederhana yang tidak dirancang khusus, kecuali hanya untuk “menunggui” putra-putrinya mengaji, yang suatu saat nanti kita baru akan terperanjat dari dampak yang dahsyat dari “mengaji” ini.