Saking Madinah With Love
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat serta salam atas baginda Rasulullah. Pada kesempatan kali ini, kita akan menyimak kisah tentang pengalaman haji salah seorang jamaah maiyah beberapa saat lalu. Haji memang kaya akan cerita. Setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda ketika berada di sana. Bagi setiap orang, ada setiap cerita. Tempat mungkin sama, apa yang dilihat juga sama, tapi pengalaman hidup yang dialami senantiasa berbeda satu dengan lainnya.
Mas Kaji, kita sebut saja begitu Jamaah Maiyah tadi, berbagi cerita tentang pengalamannya di Makkah. Rupanya, hampir setiap hari di dekat Masjidil Haram ada sekelompok jamaah yang melantunkan shalawat di tempat Syekh Ahmad. Luar biasanya lagi, apa yang mereka lantunkan adalah sama persis dari segi isi dan lagu dengan shalawatan yang kita lakukan dalam Maiyah Shalawat ini. Suasana ini cukup membuat mas Kaji terobati kerinduannya akan shalawatan di tanah air. Dalam hati, mas Kaji juga membatin, alhamdulillah, ono kancane le shalawatan. Ayo konco-konco maiyah, podho tambah semangat shalawatane nang Indonesia.
Beralih ke Madinah. Kisah paling menarik namun juga menyesakkan dada adalah ketika Mas Kaji melantunkan srakal di Raudhah sembari berdiri menuju pusara Kanjeng Nabi. Beberapa jamaah haji lainnya, entah dari Turki, Iran, India, turut berdiri dan mendendangkan shalawat kepada kanjeng Nabi. Petugas keamanan yang berada di depan makam Rasul dengan sigap menghalau rombongan pencinta Nabi ini dan meneriakkan haram, haram! Saya tidak mempunyai cukup keberanian dan pengetahuan untuk sampai pada pernyataan bahwa petugas-petugas penjaga di sekitar Raudhah ini adalah orang yang membenci orang yang mencintai Nabi. Yang menjadi soal bagi saya adalah mengapakah perasaan cinta yang demikian besar dan membara ini tidak boleh diungkapkan dengan cara shalawat yang demikian ini? Anehnya lagi, justru ketika Mas Kaji ini mundur karena dihalau petugas yang di depan, ia malah disuruh maju dan berdoa di dekat makam oleh petugas haji lain yang berada di belakangnya. Aneh bin Syu’aib tenan iki.
Saya melihat betapa banyak situs-situs peninggalan sejarah Islam yang dibiarkan terbengkalai tidak terawat, bahkan ada juga yang memang sengaja disingkirkan dan sebisa mungkin disembunyikan dari khalayak muslim dari seantero dunia. Mulai dari makam sahabat, tempat-tempat tertentu yang bersejarah dalam perjalanan Islam awal, masjid-masjid, dan sebagainya. Sebuah tempat, sebuah peninggalan, akan membangkitkan kenangan. Dan kenangan, pada gilirannya akan membangkitkan semangat dan cinta kepada apa yang dikenang. Apakah mengucap salam langsung di depan pusara Kanjeng Nabi akan sama rasa dan getarannya dibanding dengan mengucap di sembarang tempat di muka bumi ini?
Saya tidak ingin mencurigai bahwa upaya-upaya “penyembunyian” itu adalah juga merupakan suatu usaha terstruktur yang rapi untuk menghilangkan rasa persambungan kita atas situs-situs yang pernah digunakan Rasulullah dalam menyebarkan Islam. Dengan tujuan agar kelak menghilanglah gelora dan getar cinta kita kepada Rasulullah dan pada apa yang dibawanya. Mungkin saat ini Rasulullah masih sering kita sebut-sebut dengan penuh haru dalam lidah dan mulut kita. Namun siapa yang tahu, bahwa dengan amat perlahan ia mulai menghilang dari hati dan kesadaran hidup kita.
Cinta yang Berkalang Dusta….
Saya menyadari satu hal setelah beranjak dewasa ini. Cinta saya kepada kanjeng Nabi Muhammad lebih besar ketika saya kecil ketimbang setelah saya dewasa. Dunia anak-anak saya memang tidak bisa dikatakan masa kecil kurang bahagia. Jika membayangkan kehidupan anak zaman sekarang, kala itu, berbagai tawaran dunia belum menyentuh lingkungan hidup saya.
Ibu bapak mengajarkan pada saya untuk mencintai Kanjeng Nabi, mengisahkan perjuangan-perjuangan beliau, jasa-jasa beliau, akhlak-akhlak terpuji beliau. Semua itu bisa dengan mudah menumbuhkan perasaan cinta dalam diri saya yang masih kecil dan belum mengerti apa-apa tentang godaan dunia. Saya pun melihat sosok Muhammad yang agung, penuh kasih, lembut, yang kemudian memicu rasa kekaguman tertentu kepada beliau.
Setelah dewasa, saya tahu bahwa banyak hal yang juga mengagumkan dan menggoda di dunia ini. Betapa menggodanya kekayaan dunia, betapa menggiurkannya gadis yang menjadi pujaan jiwa, dan betapa enaknya kesenangan yang ditawarkan dunia kepada kita. Semua ini lambat laun mengalihkan saya dari cinta yang mendalam kepada baginda Nabi. Mungkin dalam pengakuan hidup sehari-hari, saya tetap menyatakan cinta kepada Rasul adalah yang utama. Tapi, apakah benar demikian adanya? Bukankah saya lebih bersemangat ketika melakukan kegiatan yang menghasilkan kekayaan daripada mengerjakan pekerjaan yang akan membangkitkan senyum kanjeng Nabi. Saya lebih bergairah dan bergembira ketika bertukar kata dengan sang kekasih daripada ketika mendendangkan lagu cinta kepada Nabi. Saya lebih senang menikmati hiburan-hiburan yang ditawarkan televisi, komputer, video game, ketimbang mencari penghiburan dalam meneladani tindak laku Nabi.
Demi cinta kepada Rasulullah, gunung kan kudaki, laut kan kuseberangi, tapi hanya karena hujan gerimis saja, saya sudah absen menyatakan cinta kepada Kanjeng Nabi. Alhasil, cinta saya kepada Nabi ini adalah cinta yang indah kabar dari rupa. Hanya sebatas bicara, dan hanya sebentuk pengakuan dusta.
Cinta Kami Padamu, Ya Rasul…. Cinta Ethok-Ethok
Dan ingatkah kita akan kisah Romeo dan Juliet? Perjuangan mereka dalam menggapai cinta sejati mereka akan terus dikenang oleh manusia. Tinta para penulis tak pernah kering menggoreskan duka lara mereka, mata kamera tak letih-letihnya mengabarkan tangis pilu mereka.
Kisah cinta Romeo dan Juliet bukanlah kisah yang berakhir seperti di buku-buku cerita dan dongeng: akhirnya mereka pun berbahagia untuk selama-lamanya. Bukan, kisah mereka berdua adalah kisah tentang duka dan air mata. Di akhir kisah, Romeo terkapar di pangkuan Juliet. Dan malangnya, Juliet mengira Romeo telah mati. Tanpa Romeo, apalah arti hidup bagi Juliet. Diambilnya racun oleh Juliet dan diteguknya perlahan. Begitu botol racun itu diteguk setengah isinya, mendadak mata Romeo membuka. Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditendang. Semuanya sudah terlambat bagi Juliet. Dengan berderai air mata, Juliet hanya bisa memandang sang penyangga hatinya itu dengan tatapan penyesalan dan kepedihan.
Romeo yang telah menyadari apa yang sedang terjadi, mengambil botol racun yang masih berisi setengah itu dari tangan Juliet. Botol itu Romeo dekatkan ke bibirnya. Dengan hidmat ia meminum racun dari botol tersebut.
Siapa yang tak tergetar oleh kisah cinta mereka berdua? Siapa yang tak merinding menyimak kisah memilukan tersebut? Saya sendiri selalu bergidik bila mengetahui betapa besar pengorbanan yang sanggup dilakukan oleh manusia demi cinta. Saya selalu kagum tiada terkira kala membaca atau mendengar kisah perjuangan manusia dalam menanggung lara dan nestapa atas nama cinta. Dibandingkan dengan Romeo dan Juliet, cinta kita kepada Rasul itu adalah cinta yang masih ethok-ethok. Beranikah kita berkata, “Apalah arti hidup ini tanpamu, ya Rasul,” dan kemudian mengambil sebotol racun sebagaimana Juliet? Sanggupkah kita memilih kematian daripada harus berpisah dan menyakiti Rasulullah?
Terima kasih mas Kaji, njenengan telah menyampaikan salam saya dan Jamaah Maiyah semuanya kepada Kanjeng Nabi. Mungkin cinta saya kepada Nabi belum sebesar cinta Romeo kepada Juliet, belum sedahsyat kasih Qais kepada Laila, belum semegah bangunan Taj Mahal yang menjadi ungkapan cinta kasih Syah Jahan kepada isterinya, Mumtaz. Tapi setidaknya, saya dan kawan-kawan maiyah telah mulai melangkahkan kaki menuju jalan panjang menggapai cintamu, ya Rasul. Ulurkan lenganmu ya Nabi Allah. Bimbinglah kami semua dalam perjalanan cinta ini.