RAYYA dan Bangsa Yang Kalah
Di tengah-tengah kondisi masyarakat yang terus dijejali sinetron atau film “hiburan”, alhamdulillah film Rayya selesai dikerjakan dan tanggal 20 September 2012 ini siap hadir di berbagai gedung bioskop di tanah air. Rayya adalah salah satu fenomena “aneh” di tengah-tengah para produser atau penulis skenario film tidak mau dibuat pusing oleh misi untuk membawa pencerahan bagi masyarakat penontonnya.
Bahkan dilihat dari judulnya saja, Rayya juga “tidak komersil”, atau “ora kemedol” (Jw), dibanding misalnya judul-judul “Goyang Karawang”, “Tali Pocong”, “Janda-janda Genit”, “Salome”, “Nafsu Besar Tenaga Kurang” dst. Demikian pula di TV TV swasta, rating tertinggi juga dipegang sinetron opera sabun yang hanya bermodalkan shooting di satu ruangan mewah, dengan para bintang pria ganteng dan perempuan seksi, serta alur cerita semaunya. Pokoknya yang penting memperlihatkan kemewahan, kemolekan, dan dialog-dialog yang datar, karakter tokoh ditampilkan secara hitam-putih, seperti ada tokoh kelewat jahat dan ada tokoh kelewat baik, dan semuanya yang tidak masuk akal.
Dialog baru dianggap lucu dan menghibur ketika ada artis menghina bentuk tubuh seperti bentuk gigi tonggos lawan main misalnya. Dialognya — kata Orang Jawa — juga cenderung “cengegesan” atau “clometan”. Pertanyaanya, inikah potret masyarakat kita ataukah ini kepiawaian para produsernya yang paham kondisi “kejiwaan” masyarakat yang kini kalah di segala bidang kehidupan?
Mereka kini dikibuli para penguasa dan politisi, sehingga kehidupan rakyat sehari-hari untuk makan saja susah, apalagi untuk bayar SPP anaknya bahkan beli rumah. Rakyat kini bagai anak yatim piatu sehingga yang mereka butuhkan kini hanya satu kata: “hatinya senang”, dan karenanya film, musik atau sinetron yang “ngepop” saja yang mudah menghiburnya.
Jangankan masyarakat bawah, mereka yang berpendidikan tinggi pun kini juga banyak dilanda stres dan frustrasi akibat marginalisasi tersebut. Lihat saja data BPS (2010), para pencari kerja yang berpendidikan di negeri ini terus meningkat sepanjang tahun sebagai mana dicatat di beerbagai kantor Depnaker.
Di Semarang misalnya, kalau pada tahun 2004 para pencari kartu kuning hanya sekitar 5.000 orang, pada tahun 2007 jumlah tersebut menjadi 27.026 orang, dan 10.568 orang diantaranya lulusan sarjana. Ini data yang tercatat resmi, dan hampir dapat dipastikan yang tidak resmi akan lebih banyak lagi. Data penganggur terbuka di Kota Semarang yang berpendidikan sarjana mencapai angka 85.249 orang (BPS,2008).
Secara umum akhirnya masyarakat mengalami marginalisasi aktif dan marginalisasi pasif. Yang disebut pertama adalah mereka tidak mudah mendapatkan akses, bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar sekalipun, baik akibat kelangkaan lapangan kerja, pertumbuhan penduduk yang tinggi, kerusakan lingkungan yang parah, maupun karena sumberdaya alam dikorupsi para pejabat sehingga negeri ini melarat.
Kondisi ini akan diikuti oleh keadaan yang kedua, berupa marginalisasi pasif, yakni ketika rakyat yang sudah mengalami kesulitan hidup tersebut, juga mulai tidak mendapatkan perhatian sehingga sulit untuk mengekspresikan kebutuhan yang paling asasi, berupa hak atas hidup, pilihan hidup, karena sikap dan perasaannya terus diaduk-aduk oleh kenyataan politik dan struktur kekuasaan yang menindihnya, sadar atau tidak.
Kesumpekan hidup, frustrasi, dan kemiskinan serta di sisi lain gaya hidup terus di “brain washing-kan” lewat TV swasta, bisa jadi yang muncul adalah agresivitas. Kaum muda marginal terus tertawan dalam stigma negatif, seperti malas, kehilangan oto-aktivitas, kreativitas, inisiatif, dan sebagainya. Karenanya dalam berbagai kelompok, misalnya klub suporter Boneks, mereka merasa mendapatkan “teman senasib seperjuangan” (sense of community), dan teman untuk mengekspresikan kefrustrasiannya — sadar atau tidak.
Sudah lama Barington Moore (1978) bilang bahwa kepatuhan atau perlawanan kaum muda banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial atau kekuasaan, pembagian barang dan jasa. Apalagi kini hirarkhi-hirarkhi baru yang terbentuk akibat proses industrialisasi ini membentuk kelompok kaum muda marginal yang tidak mampu berperan dalam proses ini, hingga mengancam stabilitas sosial.
Dalam masyarakat industrial, nasib manusia seolah-olah tidak ditentukan oleh Tuhan, namun oleh tertib sosial buatan manusia. Dalam sastra Eropa, alienasi psikologis senantiasa digambarkan manusia yang terpecah jiwanya, mengalami keputusasaan terhadap kemungkinan kelestariannya sendiri (Murchland, 1971). Dalam metanarasi postmodernism, maka akan terlihat bahwa keseluruhan sistem sosial terus berubah, dan berujung kesia-siaan masyarakat moderen untuk membangun “sangkar” yang aman. Orang terus tenggelam dalam perasaan krisis (entzauberung).
Panggung politik negara menjadi tidak nyaman dan berubah makna oleh otonomisasi dan sekularisasi, sehingga rasa aman lenyap. Kini para kaum muda marginal ini berada dalam hukum rimba belantara Indonesia. Ini bukan kiasan, namun kenyataan. Matinya hukum di negeri ini, sebagaimana ditunjukkan kasus mafia hukum, penjara “berbintang lima”, kasus suap, kasus Century, dst, menunjukkan bahwa hukum rimba itu benar adanya, siapa kuat maka ia akan menang.
Korupsi dan berbagai skandal para pejabat baik di tingkat pusat (apalagi) di daerah akibat otonomi tersebut makin menunjukkan, bahwa egoisme atau apa yang disebut Thomas Hobbes bahwa manusia itu serigala bagi sesamanya makin nampak nyata. Ujungnya, kebersamaan nilai goyah karena liberalisasi atau protes individual.
Manusia akan terpecah jiwanya, mengalami keterasingan, mereka tidak takut menerjang siapa saja karena logikanya sederhana saja: “Tidak akan kehilangan apa-apa jika ia mati”. lnilah barangkali gambaran masyarakat marginal, mereka kalah di mana saja. Jangankan untuk masa depan hidup, sekedar untuk makan tiga kali sehari saja mereka harus siap berkelahi dengan siapapun. Sebagian ada yang tetap bermartabat, namun sebagian besar lagi larut dalam konsumtivisme dan beretos intant, serba mau terima langsung jadi, kalau perlu tidak usah kerja namun kaya raya.
Rayya, Etos Bangsa dan Spiritual-Etik
Sesungguhnya etos bangsa adalah totalitas kebiasaan yang terwujud dalam segala sikap dan kelakuan manusia. Etos ini perlu diarahkan ke realisasi eksistensi bangsa agar tidak hanya meningkat taraf hidupnya, namun juga mempertinggi kualitas hidup dan martabatnya.
Dulu para sesepuh kita sering menasehati bahwa untuk mencapai sesuatu cita-cita yang luhur harus melalui “laku” atau jalan panjang yang disertai usaha “prihatin”. Dalam bahasa ilmiahnya harus ada “etos kerja” yang mengacu kepada inner-worldly orientation (orientasi kepada dunia batin) dan this-worldly orientation (duniawi-material). Jika dua hal itu diseimbangkan maka akan muncul self-fulfillment dan self realization, yakni kepuasana batin.
Maraknya budaya instant lewat dunia maya sebagaimana dilakukan Sinta dan Jojo, Udin, Briptu Norman dengan goyang Indianya, dst misalnya, menunjukkan bahwa “laku” sebagaimana dinasehatkan para sesepuh itu tidak ada, dan kalaupun nampak hanya “laku” sekedarnya saja. Dulu orang agar bisa terkenal harus memperlihatkan performance dengan jalan yang berliku dan panjang. Seorang artis seperti Rachmat Kartolo, Koes Plus, Lenny Marlina, WD Mochtar, Lilies Suryani, dan sebagainya, harus melalui jalan yang berliku untuk dapat mencapai puncak karier sebagai seniman.
Bandingkan dengan Sinta-Jojo, Udin atau Briptu Norman. Mereka hanya mengandalkan “seni” seadanya, langsung “meledak” dan diundang kesana — kemari, bahkan Sinta-Jojo langsung masuk dapur rekaman dan bintang iklan. Tentu saja ini bukan salah mereka, karena dunia pers dan dunia rekaman juga ingin “memanfaatkan” momen ini, dan karenanya soal kemampuan acting atau bekal suara bagus bukan suatu masalah.
Padahal laku batin itu dalam istilah Gordon Allport dan David Reisman, adalah motivasi kuat untuk meraih cita-cita (inner-directed), membawanya kepada perasaan penuh optimisme. Manusia adalah the center of human action yang mencurahkan segala energinya untuk mewujudkan mimpinya itu. Lihat saja setiap ada audisi untuk menjadi artis, entah itu “Indonesia Mencari Bakat”, “Indonesia Idol”, dan kontes menyanyi dan melawak, pesertanya membludak sehingga membuat kewalahan panitia.
Yang dipermasalahkan dalam tulisan ini bukan soal suka atau tidak perilaku itu, namun sebuah pertanyaan, apakah ini merupakan representasi etos kerja bangsa yang kini kian memudar? Pertanyaan ini penting sekali dijawab karena dalam segala bidang kehidupan, unjuk kerja atau performance bangsa kita nampak kalah. Di level pemerintahan misalnya, sudah tidak ada unjuk kerja yang melayani rakyat sebagaimana dicerminkan tingginya angka korupsi dan ngotot-nya anggota dewan untuk meraih keuntungan materi.
Di level olahraga juga tidak nampak prestasi yang membanggakan. Demikian pula di dunia pendidikan. Di negeri ini amat sunyi karya-karya tulis intelektual yang indikatornya ditunjukkan oleh rendahnya buku-buku yang diterbitkan. Negara Dunia Ketiga sekelas India saja sudah menghasilkan pemenang Nobel untuk karya tulis sastra, sedangkan kita belum apa-apa. Demikian juga di tingkat Asia Tenggara saja, jumlah buku terbitan di negeri ini masih jauh tertinggal.
Dari titik inilah kembali bicara soal etos bangsa kita jadi pesimis karena dunia informasi — utamanya media TV — yang notabebe menjadi “panutan” masyarakat, terus “mem-brain washing” masyarakat lewat iklan atau berita yang membawa kepada pelemahan etos bangsa karena bernuansa budaya instant dan hedonis.
Media elektronik lewat sinetron opera sabun hanya sibuk menjual kekonyolan (lewat lawakan yang tidak cerdas, kebanci-bancian, dst), sinetron menjual air mata, hedonisme, nafsu amarah, konsumtifisme, dst, yang terus mengajak masyarakat untuk menirunya. Dalam tayangan iklannya juga setali tiga uang, terus memompakan bahwa yang ideal itu ialah yang cantik, berkulit putih, rambut panjang, memiliki kartu kredit, pakai mobil ini-itu, dst.
Film Rayya nampaknya ingin mengajak bangsa ini tercerahkan sekaligus terhibur. Meski tidak diberi simbol dan label “religi”, film ini tidak mengembangkan “industrialisasi pikiran”, namun jika ditonton dengan hati dan jiwa yang jernih, maka pemahaman dimensi spiritualitas-etik akan nampak dan tercium “aromanya”. Sebagian masyarakat banyak yang sudah merasa berpegangan kepada pemuka agama, politisi, ustadz atau bahkan kiai, padahal banyak diantara mereka yang juga menjelma dalam bentuk-bentuk yang palsu, karena sesungguhnya mereka hanyalah pedagang yang haus menghisap darah rakyat, sadar atau tidak.
Jika diibaratkan sebuah bangunan, Rayya juga tidak sekedar dibuat kokoh dan kelihatan modern, namun sebuah bangunan yang didasari filosofi yang dalam berdasarkan ajaranNya, sehingga setiap orang yang memasuki dan menempatinya akan terangsang emosi religinya, atau tumbuh semacam kesadaran kealamsemestaan dari jiwa yang paling dalam. Bandingkan misalnya kita masuk masjid yang dibuat dengan arsitektur dan bahan moderen sekadarnya serta masjid yang sudah berusia ratusan tahun dan dibiarkan tidak diubah, maka akan terasa bedanya letupan emosi kejiwaannya.
Demikian pula jika kita menonton film jenis “hiburan” dan film yang dibuat dengan “spiritual etik” yang tinggi. Ketika menonton yang disebut terakhir ini, meski barangkali tidak memahami dengan baik dialognya misalnya, maka ia tetap akan tergiring masuk ke dalam lingkaranNya tanpa ia menyadarinya. Ini adalah obat yang paling mujarab bagi mereka-mereka yang kalah, baik yang sudah terseret arus atau karena keadaan diri yang terus dikepung oleh dajjal-dajjal dunia yang menjelma dalam berbagai bentuk, baik di lingkup politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan dalam lingkup agama sekalipun.