CakNun.com

Mereka Tak Mau Cintanya Kepada Nabi Muhammad Diputus

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 3 menit
Maiyah Andong Boyolali. Foto oleh Adin Progress. Dokumentasi Progress.
Maiyah Andong Boyolali. Foto oleh Adin Progress. Dokumentasi Progress.

Bertempat di area depan Masjid Darussalam Kecamatan Andong Boyolali, 16 Desember 2012, Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir di tengah-tengah masyarakat Boyolali dalam acara Peresmian Gedung NU Center dan Pelantikan GP Ansor Kecamatan Andong Boyolali. Peresmian dilakukan oleh Bupati Boyolali Seno Samodra. Dalam sambutannya yang jauh dari cara bicara formalistik, kaku, dan berjarak, Bupati Seno Samodra yang menyebut dirinya “abangan” ini menyampaikan pesan-pesan yang sangat dialogis yang mencerminkan kedekatannya dengan masyarakat Boyolali, khususnya warga NU Kecamatan Andong.

Selepas prosesi peresmian, dan qiroatul Quran, Cak Nun dan KiaiKanjeng dipersilakan naik ke panggung. Pertama kali Cak Nun yang tadi menyimak sambutan Pak Bupati, langsung segera merespons bukan saja apa yang Bupati kemukakan melainkan juga gaya penyampaiannya. “Sambutan beliau, juga gayanya, itu mencerminkan bahwa beliau dan masyarakat Boyolali sangat dekat,” kata Cak Nun.

Setelah itu Cak Nun merespons hal pengakuan abangannya Pak Bupati. Menurut Cak Nun istilah abangan itu berasal dari guneme (omongan) masyarakat yang sudah ada sejak zaman Brawijaya V. Seorang antropolog Amerika Serikat bernama Clifford Geertz kemudian meneliti kehidupan keagamaan di Jawa berikut lapisan-lapisan sosial di balik masyarakat (dengan sampel masyarakat Pare Jawa Timur) lantas menemukan tiga kategori yang sangat terkenal dalam ilmu sosial yaitu santri, abangan, dan priyayi. Tetapi dalam pandangan Cak Nun, secara substansial sesungguhnya Islam tidak mengenal istilah abangan. “Abangan itu bukan terminologi Islam. Sebab Islam itu tidak mengajarkan orang untuk ngaran-ngarani (menghakimi), atau nyondro-nyondro (menilai-nilai) orang lain,” tutur Cak Nun. “Tetapi, kalau istilah abangan ini dipakai untuk menyebut diri sendiri boleh jadi malah baik, sebab abangan ini kan term untuk menggambarkan orang yang jauh dari tradisi keagamaan, jarang pengajian, nggak bisa membaca al-Quran dan lain-lain yang selama ini menjadi penanda orang alim. Nah ketika menyebut diri abangan itu sebenarnya satu bentuk kerendahan hati,” jelas Cak Nun.

Untuk mengantarkan jamaah memasuki nomor-nomor shalawat, sekaligus merespons kegelisahan para penyelenggara acara terkait dengan derasnya arus puritanisme keagamaan, Cak Nun menguraikan sejumlah hal penting. Cak Nun yang malam itu mengenakan busana putih-putih dan peci Maiyah menjelaskan bahwa yang paling ditakuti oleh Iblis adalah Nabi Muhammad Saw. Iblis bukan hanya takut tetapi juga ta’dhim kepada Nabi Muhammad. “Rasulullah adalah orang besar. Tidak ada nama orang yang disebut sebanyak nama Nabi Muhammad dari dulu hingga sekarang di pelbagai belahan dunia.” Nabi Muhammad mendapatkan limpahan cinta yang tak ada habisnya. Allah memerintahkan para Malaikat dan orang-orang beriman untuk bershalawat kepadanya, dan Allah sendiri terlebih dahulu bershalawat kepadanya. “Jadi, musuh-musuhnya Nabi Muhammad pekerjaannya adalah melarang-larang shalawatan. Gerakan utama global bukanlah bertujuan memusuhi Islam, atau menghancurkan Indonesia, tetapi memutus hubungan batin umat manusia — bukan hanya umat Islam — kepada sosok agung Muhammad Saw. “Kalian mau diputus cinta kalian kepada Rasulullah?” tanya Cak Nun kepada jamaah yang memenuhi pelataran masjid serta jalan di kanan-kiri panggung, dan langsung dijawab serempak, “Mboten puruuuun (tidak mau).”

Demikianlah Cak Nun menjelaskan substansi di balik gerakan-gerakan yang anti tradisi keagamaan di mana bukan tradisi itu sendiri yang diserang tetapi hubungan batin manusia dengan Rasulullah itulah yang tidak disukai oleh para perancang dan penguasa desain global internasional. Tak lupa Cak Nun juga mengajak para jamaah untuk belajar kembali memahami pengertian bid’ah, musyrik, dan lain-lain secara proporsional dan ilmiah.

Sesudah memberikan paparan-landasan itu Cak Nun mengajak semua hadirin untuk melantunkan shalawat Ya Rasulallah Salamun ‘alaik aransemen baru KiaiKanjeng. Para jamaah mengikuti dengan khusyuk. Begitu pun pada nomor-nomor selanjutnya. Kemeriahan dan kemesraan acara ini juga berlangsung ketika Pak Bupati mau diajak naik ke panggung lagi oleh Cak Nun untuk membawakan satu-dua nomor lagu diiringi dan didampingi KiaiKanjeng.

Selain tentang cinta kepada Rasulullah, Cak Nun juga menguraikan pentingnya mengerti bukan saja nasab ilmu melainkan juga nasab lagu atau karya-karya yang baik yang telah berkembang di dalam masyarakat sehingga kita tahu kepada siapa kita harus meng-alfatihahi. Kurang lebih menjelang pukul 24.00 acara telah dipuncaki dengan indal-qiyam dilanjut dengan do’a yang dipimpin langsung oleh Cak Nun untuk kerukunan, kesejahteraan, dan gemah ripah loh jinawinya Boyolali. Acara malam ini juga dihadiri sejumlah tokoh masyarakat Boyolali di antaranya Ketua PCNU Boyolali Drs. KH. Masruri, Rois Syuriah PCNU Boyolali KH. Abdul Hamid, mantan Wabup Boyolali KH. Habib Masturi, Danpomdam V Diponegoro Kolonel Sudirman, dan lain-lainnya.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik