Menuju Alam Kesejatian
Beberapa hari yang lalu, Kang Rohanan, salah seorang anggota Jamaah Maiyah Gambang Syafaat, mengakhiri kerinduannya untuk bertemu Allah SWT. Kang Rohanan mengalami kecelakaan lalu lintas ketika pulang dari ibadah mencari nafkah untuk anak dan isterinya. Saya tidak tahu pasti, ini kebetulan atau tidak, yang jelas Kang Rohanan meninggalkan kita ketika bus yang ia tumpangi, terguling karena ada truk pasir yang lepas kendali, mundur tanpa pengemudi.
Yang saya maksud kebetulan atau tidak adalah, nama bus itu adalah “Palagan” yang artinya medan juang. Bus itu terguling di Desa Bergas Karangjati Kabupaten Semarang. “Bergas” artinya sehat kuat dan tangkas, sedangkan Karangjati adalah “jati” yang “keras” seperti karang, atau “kesejatian”.
Perlu diketahui, Kang Rohanan adalah anggota Jamaah Maiyah Gambang Syafaat yang paling istiqomah. Ia sangat rajin dan disiplin menghadiri setiap acara maiyahan. Ia sangat “bergas”, sehat dan luar biasa energinya karena setiap kali hadir ke acara Gambang Syafaat, ia selalu memboncengkan isterinya beserta anaknya yang masih bayi (sekali lagi: masih bayi merah) dengan sepeda motor, dari Ungaran Timur ke Semarang. Bahkan pernah ada acara maiyahan di Kendal dan Demak, Kang Rohanan, juga dengan “bergas” memboncengkan mereka. Kini anak itu baru belajar berjalan.
Hebatnya, meskipun ketika itu masih bayi, bocah itu tak pernah merepotkan orang tuanya, dan jamaah lainnya, karena saya belum pernah mendengar ia menangis atau rewel! Padahal bayi itu hanya “digletekke” (Jawa) di atas tikar tipis, sementara di kiri kanannya aroma asap rokok membumbung terus dan menyelimuti gedung maiyahan sampai pagi hari! Gedung menjadi panas dan pengap, namun anak itu malahan tertawa riang, atau tertidur pulas.
Setiap kali saya tanya: “Mas kenapa sih kok nekad memboncengkan anak dan isteri ke acara maiyahan to, apa tidak capek dan berbahaya?”. Jawabnya hanya singkat: “Maaf Pak Saratri, justru dengan cara ini, kami merasa menabung energi yang dahsyat. Kami merasa mendapat limpahan barokah dan rahmad yang luar biasa. Karenanya, bagi kami, jarak 30-50 km biasa saja pak. Bukankah yang membikin berat sesuatu adalah pikiran kita sendiri yang tidak ikhlas?”. Saya hanya bengong saja mendengar jawaban orang hebat ini. Kalau orang yang sehari-hari saja hidupnya masih susah, dan hanya punya motor untuk menghadiri maiyahan, tentu mereka yang kaya raya, memiliki mobil dan terjamin hidupnya, mestinya akan lebih istiqomah melebih Kang Rohanan.
Perjalanan hidup Kang Rohanan bagaikan berada di “Palagan” atau medan juang untuk menegakkan diri di jalan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Maiyahan baginya adalah medan juang kebersamaan untuk selalu menempatkan Allah dan Rasulullah di hatinya. Karenanya, energi baru selalu saja muncul, dan ini yang membuatnya selalu “bergas”, tidak saja lahir, namun juga batiniah. Nama Rohanan juga bisa berarti, “rohani”, sebuah jalan untuk “meniadakan diri”, atau dematerialisasi, deindividualisasi, sebagai salah satu prasyarat menuju “kesejatian” (ingat ia meninggal menumpang bus Palagan, di Desa Bergas, Karangjati). Tiga kata kunci penting adalah: “palagan”, “bergas”, dan “sejati”.
Forum maiyah adalah forum di “palagan”, untuk berperang menundukkan kedirian, kesemuan, dan semua yang bersifat materi. Perjuangan menuju kesejatian ini hanya dapat dilalui jika orang atau jamaah mampu mentransformasikan diri, dari yang wadag menuju yang lembut. Dari yang bersifat material, menuju ke arah nur atau cahaya. Jika orang masih berada dalam kekakuan, maka ia persis mayat saja layaknya. Bukankah kekakuan itu lambang kematian? Bukankah mayat itu kaku?
Dengan kata lain, kesejatian adalah tujuan hidup setiap muslim. Muslim adalah orangnya, dan Islam adalah jalannya. Mukmin adalah orangnya, dan iman adalah jalannya. Kang Rohanan adalah muslim sekaligus mukmin, dan Insya Allah ia sudah mencapai kesejatian. Ia sudah paham bahwa jalan keselamatan atau Islam itu rizqi yang tak terkirakan, yang tidak sama dan sebangun dengan materi. Mendapatkan materi yang berlimpah belum tentu bermakna rizqi, mungkin itu awal dari kemungkaran.
Ada ukuran dunia, ada ukuran akherat. Ada mripat ndonya dan ada mripat Allah. Nampaknya Kang Rohanan sudah sampai kepada “kesejatian” ini. “Kebergasan-nya” di medan “palagan” sudah mampu mendekonstruksi kediriannya, dan mripat-nya sudah berpihak pada penilaian Tuhan. Kang Rohanan sangat paham bahwa secara material, memboncengkan anak dan isterinya malam hari hingga pagi, tidak akan mendatangkan material secara langsung. Namun ia sangat yakin Allah terlibat secara aktif-partisipatoris dalam kehidupannya. Kang Rohanan yakin, Allah berfungsi langsung sejak awal, dan bukan hanya “duduk” pasif.
Jamaah Maiyah mesti meneladani Kang Rohanan yang sebagian besar hidupnya diabdikan untuk mencari kesejatian diri, bahkan sampai ia dipanggil Allah SWT. Kesejatian yang ditujunya ialah menggerakkan diri, menggabung ke Allah SWT. Perjalanannya yang heroik setiap kali menghadiri acara maiyahan adalah salah satu “thariqat” alias methode/teknologi peribadatan sosial atau kaifiyah/kebudayaan yang mengolah proses-proses penyatuan seluruh kosmos hidupnya ini ke Tuhan. Saya tentu saja tidak tahu, bagaimana Kang Rohanan memaknai dan memberi pengertian yang tajam tentang esensi dan eksistensi Allah SWT, serta memaknai konsep syari’at-thariqat-hakekat-ma’rifat, dan lain-lain. Namun jika melihat “kebergasan-nya” tersebut saya yakin ia paham dan sudah mencapainya.
Kalau kita sering kemrungsung atau tergesa-gesa dalam melakukan perubahan-perubahan, sehingga kita merasa paling benar sendiri, maka kebenaran yang sejati sebagaimana dicapai Kang Rohanan jadi tertutup.
Sebagai penutup, kecelakaan yang ia alami karena kelalaian sopir truk pasir yang tidak mampu memaksimalkan fungsi hand remnya, sehingga truk itu “ngglondor” dan “ngunduri” bus “Palagan” yang ditumpangi Kang Rohanan. (Coba cari padanan kata “Ngglondor dan ngunduri” dalam bahasa Indonesia atau Inggris!). Ingat truk pasir, ingat doa yang mengandung kata-kata pasir.
“Ya Allah, umurku terus berkurang dari hari ke hari, sementara dosa-dosaku terus bertumpuk bagai hamparan pasir di sepanjang pantai. Sungguh aku tidak pantas berada di surgaMu bersama para kekasih-kekasihMu, namun aku juga tidak tahan akan api nerakaMu. Karenanya, ijinkan aku untuk selalu mengetuk pintu rumahMu, agar dalam diriku selalu tumbuh kesadaran bertobat kepadaMu”.
Selamat jalan Kang Rohanan. Allah SWT mengasihiMu. Amin.