Maiyah dan Pak Tani
Entah ini skenario Allah SWT atau tidak, tentu hanya DIA lah yang paling tahu, mengapa ada “rentetan” peristiwa seperti berikut ini. Beberapa bulan di akhir tahun 2011 dan awal 2012 ini, ratusan petani di Mesuji Lampung bentrok dengan para pemilik modal yang disokong oleh “preman” berseragam. Sebelum itu, puluhan peristiwa seperti itu juga menghiasi pelataran bumi pertiwi ini. Belum genap satu bulan peristiwa itu terjadi, tepatnya tanggal 22 Januari 2012, Cak Nun dan KiaiKanjeng (CNKK) diundang oleh keluarga besar Russ Dilts (RD) untuk memperingati seratus hari wafatnya sosok yang gigih memberdayakan kaum tani tersebut. Belum genap satu minggu, lhadalah, kok ada perempuan gendut mabuk yang menabrak sembilan orang pejalan kaki hingga tewas di patung Tugu Tani di Jakarta.
Apakah berbagai peristiwa ini kebetulan atau memang ada keterlibatan Allah? Para jamaah maiyah (JM) tentu tidak boleh kagetan dan gumunan, lho apa hubungannya CNKK dengan Pak Tani, dengan Russ Dilts yang notabene orang Amerika? Apa “kurang kerjaan” mereka? Pertanyaan seperti ini tentu hanya hadir di benak mereka yang memahami Islam hanya dari sisi ritual formal, serta tidak paham nilai esensi Islam. Hanya orang awam yang membayangkan Islam hanya pada sosok orang bersurban sedang sujud, atau orang berpeci membawa tasbih dengan latar belakang masjid.
Sebaliknya jika melihat langsung seorang petani yang bersimbah lumpur sedang sibuk mencangkul tanah dengan sesekali mengucap Allahu Akbar karena takjub dan bersyukur atas karunia hamparan tanah yang subur dari Allah, dianggapnya bukan (simbol) Islam. Demikian pula jika melihat (misalnya) seorang tukang becak yang berpeluh sambil mengayuh becak di tengah terik sinar matahari, yang setiap kali menggenjot pedal becak selalu bergumam alhamdulillah, dianggapnya bukan sedang berjihad atau sedang “berniaga di jalan Allah”. Seorang pengamen siter tua yang mengalunkan gending Jawa dengan tema syair tentang kebesaran Allah dan keindahan alam, dianggapnya tidak sedang menyanyikan lagu “religi”. Yang dianggap lagu “religi” hanya lagunya Opick, Bimbo, Nasyida Ria, atau GIGI yang kebetulan menyanyikan lagu Perdamaian, atau yang harus memuat penggalan-penggalan syair Bismillah, Alhamdulillah, Allah, dst.
Dengan kata lain, orang hanya menganggap sesuatu bernada religi atau Islami hanya dari syair, ucapan, gambar atau simbol-simbol yang berkaitan dengan tulisan Arab, surban, ucapan Alhamdulillah, dst. Sahabat JM mestinya paham bahwa tauhid bukan “men-satu-kan” Allah, karena sudah jelas bahwa DIA adalah satu. Tauhid adalah proses menuju penggerakkan diri untuk menggabung ke Allah SWT. Setiap orang yang bekerja — apa saja — asal itu merupakan puncak “ekstase” untuk menggabung ke Allah yang Maha Akbar, dan selalu akan rindu kembali ke “ekstase-ekstase” berikutnya, maka orang itu sedang berjihad di jalan Allah.
Jihad di jalan Allah dengan demikian bukan peristiwa di permukaan saja, seperti dengan gagah berani mengobrak-abrik minuman keras yang dijual pedagang kecil di warung remang-remang pinggiran jalan, atau demo besar-besaran tentang isu lemak babi di kuah bakso atau bumbu masak, sementara terhadap kasus penggundulan hutan atau kasus korupsi lainnya dia diam saja. Sahabat JM mesti paham dengan nilai-nilai Islam yang sejati. Ketika CNKK memperingati 100 hari wafatnya Russ Dilts, jangan kita lantas cengeng, ada apa urusannya dengan orang bukan asli Indonesia tsb? Apa itu urusannya Islam dengan para petani? Islam itu ya mengurus masjid atau zakat dan infaq, dan bukannya mengurus hal-hal “remeh” seperti itu. Sahabat JM mesti paham CNKK sedang menunjukkan satu nilai penting dalam ber-Islam, terutama yang berhubungan dengan muamallah. Rasulullah ketika di Madinah juga sangat aktif mendirikan perkumpulan koperasi, menggarap sektor pertanian, irigasi, dan seterusnya, dan karenanya jika orang seperti RD hidup di Madinah di zaman Rasulullah waktu itu, tentu ia merupakan orang yang paling sibuk menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam tindakan nyata.
Kesusahan Kaum Tani
Berbagai peristiwa konflik agraria di negeri ini menunjukkan bahwa masalah pertanahan sudah hampir mencapai titik kulminasi, dan ini berarti demo di depan Gedung DPR kemarin, mestinya tidak dianggap angin lalu. Orang Jawa bilang “sedhumuk batuk, senyari bumi”. Tanah bukan hanya “to have”, namun sudah “to be”. Tanah bukan sekadar benda materi, namun sudah menjadi benda sosial yang”hidup” bersama kehormatan.
Kapitalisme global tampaknya sudah mencengkeram negeri ini hingga para petani sudah masuk dalam “perangkap pangan” (food trap), karena dari hulu sampai hilir dikuasi MNCs (multinational corporations) dan akibatnya tingkat urbanisasi meningkat (BPS, 2000, 2010). Misalnya saja, kini industri perbenihan dikuasai MNCs seperti: Syngenta, Monsanto, Bayer Crop, dsb (40 miliar US). Industri pengolahan dikuasai MNCs: Nestle, Kraft Food, Cargill, Unilever (490 miliar US). Di tingkat pengecer dikuasai MNCs: Carrefour, Wal Mart, Tesco dan Metro Group (1.091 miliar US) (Infobisnis,11/9/2008).
Reformasi agraria bukan sekadar bagi-bagi lahan, namun juga membenahi capital reform, ketimpangan perdagangan (term of trade), ketimpangan nilai jual, penciptaan lapangan kerja di perdesaan, pelatihan kewirausahaan, dan perbaikan infrastruktur lainnya.
Undang-undang Pokok Agraria pada dasarnya adalah alat untuk meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi rakyat, terutama kaum tani agar terwujud masyarakat adil makmur. Namun setelah lebih dari 50 tahun, kini produk hukum pertanahan mengalami kekosongan. Padahal kata Kepala BPN (2010), diperkirakan ada 6,2% orang Indonesia yang menguasai 56 aset nasional, dan sekitar 62-87% aset itu berupa tanah. Wajar jika sampai saat ini ada sekitar 7.491 sengketa tanah.
Pertanyaannya kini, jika ada 2,5 juta lahan tak termanfaatkan, mengapa hal ini tidak dapat direformasi? Dengan distribusi yang adil, diharapkan kepemilikan lahan masyarakat tani akan meningkat dari 0,87 hektar menjadi 1,11 hektar. Lahan yang akan diredistribusikan meliputi sisa lahan obyek landreform tahun 1961, tanah kehutanan yang dikonversi dan tanah yang ditelantarkan. BPN memperkirakan ada 7,3 juta hektar lahan yang ditelantarkan pihak perusahaan besar.
Reformasi agraria juga harus memperbaiki mutu lahan, misalnya harus memiliki kesesuaian agroklimat, status kepemilikan jelas, infrastruktur, serta ada SDM, ada akses petani untuk faktor produksi non lahan yang produktif. Pada sisi lain, konversi lahan pertanian terus terjadi. Selama 2003-2005 ada seluas 121.000 hektar dan 27.000 hektar (2008-2009) lahan subur dikonversi.
Saat ini luas lahan daratan kita 188 juta hektar, dan yang sesuai untuk pertanian hanya 29 juta hektar dari jumlah ini 8 juta hektar belum dimanfaatkan. Jika lahan 8 juta hektar ini dibagi kepada 24 juta kepala rumah tangga petani maka akan diperoleh masing-masing 1,2 hektar. Saat ini ada 127 juta orang Indonesia yang pendapatannya kurang dari 2 dollar AS per hari.
Pada tahun 2003 saja jumlah petani gurem (petani yang berlahan kurang dari 0,25 hektar) meningkat 2,6% per tahun. Yakni dari 10,8 juta petani pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta pada tahun 2003. Jumlah lahan petani menurun dari 0,5 ha/petani pada tahun 1993 menjadi hanya 0,3 ha per petani pada tahun 2003. Padahal sektor pertanian menyerap 43 juta orang tenaga kerja yang merupakan 45% dari total tenaga kerja di negeri ini.
Wajar jika kisah swasembada pangan itu kini juga hanya menjadi dongeng menjelang tidur, karena menurut BPS (2008), pada tahun 2007 Indonesia harus mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand, masing-masing senilai 335,6 juta US dollar dan 122,4 juta US dollar. Kalau dilihat besarannya, maka pada tahun 2004 Indonesia mengimpor 250 ribu metrik ton, tahun 2005 sebanyak 225 ribu metrik ton, tahun 2006 sebanyak 495 metrik ton dan melonjak tajam menjadi 1.495 ribu metrik ton pada tahun 2007.
Pengalaman Jepang dalam reformasi agraria selepas Kongres Land-Tenure pada tahun 1951 dan 1977 pantas dicermati, karena berbarengan itu pula perubahan struktural di kawasan perdesaan juga dilakukan. Program literasi ditekankan sejak Restorasi Meiji pada abad XVIII sehingga perubahan sosial perdesaan juga berjalan baik.
Di Jepang, landreform sudah dimulai sejak Kaisar Tenko pada masa Tokugawa mengeluarkan kebijakan Hanseki Hokan yakni pengembalian tanah feodal dari “daimyo” atau tuan tanah kepada kaisar, dan kemudian digunakan untuk kepentingan rakyat. Dengan kata lain, revitalisasi pertanian tidak sederhana. Persoalan-persoalan seperti: lemahnya permodalan para petani kecil, menyusutnya pemilikan tanah, ketidakpastian harga, timpangnya nilai tukar petani dengan produk industri (term of trade), sulitnya akses informasi dan teknologi (tepat guna) bagi para petani, terputusnya jaringan produksi antara petani dengan industriawan, dst, merupakan sederetan contoh betapa lemahnya para petani. Dengan kata lain, revitalisasi pertanian juga menyangkut pembenahan capital reform maupun pranata di lembaga-lembaga perdesaan.
Menelusuri Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), orang akan makin paham bahwa di dalamnya terdapat berbagai kekurangan, mulai dari banyak pasal dalam UU tersebut yang belum dibuatkan aturan pelaksanaan sampai masih pluralnya hukum-hukum pertanahan. Konsekuensi logis yang mengekorinya, banyak hak-hak rakyat atas tanah — terutama hak-hak ulayat — sempoyongan karena rapuh kepastian hukumnya. Banyak terjadi delegitimasi hak-hak rakyat atas tanah.
Kendala dalam reforma agraria adalah bahwa UUPA kini hanya direduksi menjadi semacam UU sektoral yang mengatur pertanahan. Padahal kata Maria Sumardjono (2010) sejatinya UUPA itu dimaksudkan untuk mengatur sumberdaya alam (SDA). Namun sejak tahun 1971 muncul UU sektoral di bidang kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, pengairan, dll, yang kesemuanya tanpa merujuk kepada UUPA.
Celakanya UU sektoral tersebut tumpang tindih sehingga keadilan dan kepastian hukum di bidang SDA benar-benar dipertaruhkan. Wajar kini SDA rusak parah dan nyaris dikuras habis. Apalagi kini terjadi transformasi besar-besaran dalam konstruksi politik ekonomi negara — dalam pengertian ekspansi industrial — dengan dukungan “policy agricultural squeeze” dan meluasnya korporatisme negara.
Fakta ini diperkirakan akan makin membawa negeri ini ke arah konflik pertanahan yang makin tajam di masa-masa mendatang. Keluarnya Perpres No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Negara menunjukkan beberapa hal: 1). Negara (baca: juga pemodal) seolah-olah pihak yang paling membutuhkan tanah atas nama”pembangunan” ; 2). Tanah seolah-olah hanya dipandang sebatas materi belaka, tanpa konsekuensi lain di belakangnya seperti ekonomis, politis, magis, dan psikologis.
Sopir Perempuan Mabuk di Patung Tani
Lalu apa hubungannya dengan perempuan gendut yang mabuk yang menabrak sembilan orang hingga tewas di Patung Tugu Tani Jakarata? Sahabat JM tentu bebas menafsirkan, atau bebas berpikir “zig-zag” dan tidak berpikir “linier” saja. Orang boleh menafsirkan bahwa kalau mengemudikan apa saja, harus dalam keadaan sehat, mahir dan berkompeten, memiliki SIM dan surat lainnya, serta menjalankan kendaraan untuk mengantarkan penumpangnya selamat sampai tujuannya. Kalau untuk sekadar mengemudikan kendaraan saja harus seperti itu syaratnya, apalagi “mengemudikan” desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, negara, atau bahkan PBB. Orang yang menjadi “sopir” tersebut harus sehat jiwa raganya, mahir, diamanahi, serius (tenanan) dan memiliki “SIM” alias legitimasi politik. Last but not least, tentu saja ia harus memiliki jiwa yang amanah, memiliki jiwa “jihad” sebagaimana disketsakan di awal tulisan ini.
Sopir model ini harus senantiasa rajin menyapa Allah untuk memohon pertolongan agar “kendaraannya” selamat mengantar “penumpangnya” sampai tujuan. Pertama, ia mesti benar dalam memilih nilai-nilai hidup sehingga paham fitrahnya sebagai khalifatullah (untuk memanajemeni alam/negara/provinsi/kabupaten/kecamatan/desa, dan seterusnya yang diamanahkan rakyat kepadanya); Kedua, nilai-nilai hidup dan tindakannya sangat otentik karena dituntun oleh Allah dan bukan oleh (misalnya) parpol, isteri, anak, keluarga atau pemilik modal dan pengaruh keduniawian lainnya. Ia mesti sadar bahwa hidup itu untuk beribadah, dan kata ibadah itu luas maknanya, terutama bagaimana dirinya dapat memaksimalkan potensinya agar bermanfaat bagi alam semesta ini dan dapat memenuhi amanahnya
Ketiga, semua yang ia lakukan dilandasi penuh kesungguhan karena ini bukan saja sekadar pilihan hidup, namun perintah hidup. Ia menjalankan amanah berlandaskan moral atau akhlak dan bukan kesungguhan karena paksaan syariat atau ancaman dosa-pahala, apalagi hanya taat karena ada aturan hukum belaka (yang untuk ini saja sering tidak dapat ia penuhi). Keempat, kesungguhan itu harus dibuktikan dalam waktu yang lama, dan ini berarti harus ada nilai kesetiaan, dan kelima, keikhlasan menjadi kata kunci yang sangat penting, karena apa arti kesungguhan jika tidak bertahan lama dan selalu menggerutu?
Sahabat JM tentu boleh berfantasi tentang sopir gendut yang mabuk tersebut, misalnya: 1). Mengapa menabrak di Tugu Tani dan bukan Tugu Pahlawan misalnya?; 2). Siapa yang ditabrak? ; 3). Siapa yang ikut dalam mobil tersebut?; 4). Mengapa menabraknya di trotoar yang jelas-jelas memang diperuntukkan bagi pejalan kaki dan bukan di tengah jalan?; 5). Menabraknya dari muka atau belakang?; 6). Apakah tersedia sistem hukum untuk mengadili si penabrak agar rasa keadilan terpenuhi? Dst.
Tentu sahabat JM akan makin asyik berfantasi seperti ini, apakah sopir mabuk tersebut ada di alam yang lebih luas, atau memang benar terjadi dalam tata kehidupan berbangsa, bermasyarakat, bernegara dsb, ataukah ini hanya sekadar Allah “gojegan” pada kita dengan “skenario-skenario drama” yang tidak ada artinya.
Wallohu’alam.