CakNun.com

Maiyah “Bernyanyi”

Saratri Wilonoyudho
Waktu baca ± 5 menit

Logikanya dikaruniai bakat menyanyi seperti Whitney Houston, Michael Jackson, Elvis Presley, dst, akan sangat membahagiakan hati. Bagaimana tidak, hanya bermodalkan suara bagus, mereka dipuja karena menyenangkan banyak orang, serta dibayar dengan mahal. Dapat dibayangkan sekali pentas, bayaran mereka setara dengan kerja seorang sopir bus selama beberapa tahun, bahkan melebihi gaji seorang presiden.

Karenanya, ketika Whitney Houston (juga Elvis Presley, Michael Jackson, Jimmy Hendrix, Kurt Cobain, dst) ditemukan tewas (di hotel) akibat overdosis, orang jadi tersadar, justru hidup yang “overdosis” kekayaan dan ketenaran seperti itulah, menyimpan energi dahsyat untuk merusak diri. Orang-orang seperti itu adalah orang yang mengingkari rasa syukur kepada Allah. Bakat yang luar biasa dan harta yang melimpah tidak disyukuri, namun dijadikan untuk foya-foya dan tidak ingat yang memberi, yakni Allah.

Kasus para artis tenar mengajarkan bahwa sesungguhnya, bernyanyi itu hanya ditujukan untuk menyatakan cintanya kepada Allah dan Rasulullah. Kalau para artis hanya melangkah di panggung musik, apalagi sudah memposisikan dirinya di hadapan logika industri musik dalam perspektif peradaban keserakahan dan kekanak-kanakan, maka kehancuran akan menyapanya, cepat atau lambat.

Kalau bernyanyi untuk Allah dan Rasulullah dapat kita lakukan di mana saja. Sebaliknya bernyanyi kepada Allah dan Rasulullah adalah sebuah proses dinamika rohani. Nada, musik, suara, dst, diciptakan, dikeluarkan dan dibunyikan dalam sebuah estetika budaya yang “me-religius”. Semuanya adalah bentuk keindahan gerak (rohani) yang terus menerus menuju dan menyatakan rasa cinta kita kepada Allah. Tentu saja syair yang ditulis tidak harus berbahasa Arab, bernuansa musik Arab (yang sering dikonotasikan secara salah kaprah sebagai musik Islam), namun yang penting adalah bahwa rohnya adalah rasa cinta kepada Allah berikut ciptaanNya. Singkatnya, siapa saja yang menyanyikan dan mendengarkan, akan tergerak hati dan rohaninya ke haribaan Allah dan Rasulullah. Boleh pakai organ, kendang, gamelan, piul, bahkan hanya ecek-ecek saja, asal semuanya bermuara kepada pernyataan cinta kepadaNya.

Menyanyi hanya kepada Allah bukan berarti Allah “gila” hormat, dan berhitung untung rugi dalam bingkai kapitalisme kita, namun hanya sebuah dialektika cinta. Allah tetap akbar walau seluruh alam semesta ini ingkar dan bikin orkestra bernyanyi bersama untuk menghujatNya. Allah tetap pada ada-Nya, tidak meratap oleh keingkaran syukur atas karunia suara merdu yang ia berikan kepada penyanyi atau artis. Bernyanyi kepada Allah hanyalah wujud eksistensial pertemuan agung nan rahasia antara makhluk dan Khaliknya, sebuah perjumpaan rohani yang sangat mengasyikkan dibandingkan mendapat applauss jutaan pasang mata atau mendapatkan Grammy Award, BASF Award atau Piala Citra puluhan kali. Ini perniagaan yang sejati.

Kalau Whitney Houston bernyanyi sampai lima oktaf, itu yang memekik sebenarnya Allah. Demikian pula lengkingan gitar maut dari Jimmy Hendrix, maka sesungguhnya yang bermain gitar adalah Allah. Mestinya para artis hebat ini mengembalikan sesuatunya kepada pemilik yang sejati, suaranya yang sampai lima oktaf, lengkingan gitar, hentakan kaki rock n’roll Elvis Presley, tarian maut Michael Jackson, bahkan suara fals Mbah Surip, dst, semuanya adalah milik Allah.

Lalu apa tidak boleh mendapatkan honor atau bayaran? Tentu saja boleh jika itu hanya sekadar “efek samping” dari nyanyian kita, dan bukan tujuannya. Dengan kata lain, honor atau bayaran hanya sekadar “kewajiban moral atau akhlak” dari orang yang “membayar” kita atau penghormatan atas jerih payah dalam menciptakan nada-nada indah yang tertuju kepada Allah. Singkatnya, seorang penyanyi atau pemusik, hanyalah pekerja budaya, dan ketika ia bersama Allah, maka ia sedang “mereligiuskan” perilaku budaya. Bernyanyi selain wujud dari pernyataan cinta kepadaNya, mestinya juga sebagai wujud syukur yang beriringan dengan idznillah dan qudratillah yang mengajak kepada alam semesta untuk “bernyanyi” bersama-sama, bertasbih dan bersujud rame-rame dihadapanNya. Bukankah gesekan daun, nyanyian katak, desir angin, dst pada dasarnya juga nyanyian kepada Allah? Mengapa manusia yang ditugasi sebagai khalifatullah dan diberi akal tidak melakukannya?

Karena para penyanyi atau para artis umumnya mencari ketenaran, kehebatan, dan uang, maka yang mereka hasilkan justru sebaliknya. Mengapa? Jawabnya sederhana, bahwa kehebatan dan uang itu hanya milik Allah. Karena yang dicari uang dan kehebatan dan bukan hubungan baik dengan Allah, maka yang terjadi kehancuran. Mengapa? Karena mereka tidak “membayar royalti” kepada Allah yang memiliki 100 persen saham atas suara indah mereka. Apa “bayaran” kepada Allah? Ya jelas hanya taqwa (menjadikan Allah tuan rumah di hati kita) dan tawakal (mengusahakan terus menerus untuk memantapkan taqwa) kepadaNya. Jika ini dipenuhi maka Allah akan menaburkan rezekinya dan memantulkan kehebatanNya untuk si penyanyi tersebut. Rezeki tidak harus berujud uang atau materi, namun justru kasih sayang Allah, ketenteraman, kesehatan, kebeningan hati, dan sebagainya. Uang dan materi hanyalah sekadar salah satu alat untuk hidup dan bukan tujuan hidup.

Kemudahan mencari uang dari dunia artis yang tidak diimbangi jalinan hubungan dengan Allah, pasti akan membinasakannya. “Overdosis” kekayaan yang hanya ditumpuk dan tidak dibelanjakan di jalanNya, akan membawa kepada kesesatan. Rasulullah berkali-kali berkata: sebaik-baiknya perkara yang sedang sedang saja. Demikian pula sabda lainnya dari beliau: makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Ini adalah manajemen kehidupan dalam arti luas. Overdosis kekayaan dan ketenaran (semu) ternyata diimbangi hanya menghasilkan cara hidup yang glamour sehingga juga mudah habis. Banyaknya teman main, teman bekerja yang cantik atau ganteng, membikin mereka mudah selingkuh. Kesibukan mencari popularitas dan uang menyebabkan hidup mereka “kemrungsung” dan jauh dari kehidupan religiusitas (meski mereka juga mengaku beragama).

Kini tidak hanya artis, namun nyaris setiap orang atau remaja yang hidup dalam alam kebebasan, terus tergilas oleh kenikmatan duniawi. Mereka dilenakan oleh kemajuan teknologi, dan impian untuk selalu hidup yang “happy”. Tidak mengherankan jika tawaran-tawarn mimpi lewat berbagai audiensi seperti “Indonesia Idol”, AFI, Indonesia Mencari Bakat, KDI, dan berbagai kontes ratu-ratuan lainnya, laris manis diserbu para remaja kita.

Hidup dibuai kemewahan meruapakan dambaan setiap remaja, karena dengan uang dan popularitas, segalanya dapat dibeli. Kini aneka tawaran kemakmuran terus ditebarkan lewat iklan, mal-mal, pusat hiburan, dan aneka barang haram seperti narkoba. Mental para remaja sudah dicemari oleh sikap seperti ini, maka segala cara mereka tempuh. Di ujungnya, rasa malu itu hilang, karena untuk mencapai segalanya tersebut berbagai cara akan dijalani. Seorang artis dengan bangganya menjawab pertanyaan wartawan: “telanjang ya saya jalani mas kalau ini tuntutan skenario”! Jadi ukuran moralitas itu ada di skenario sinetron dan bukan dalam dirinya.

Kejenuhan modernisme menjauhkan manusia dari dimensi spiritualitas-etik, dan pertemuan-pertemuan Maiyah pada prinsipnya hendak mendekatkan keseimbangan yang telah lama hilang karena manusia moderen telah mengalami reduksionisasi. Diskursus dalam setiap pertemuan kita hendak mengajak ke hakikat kehidupan, dan ini dapat dilakukan jika manusia melakukan transendensi terus menerus. Ini adalah metode untuk menghadapi kehidupan yang sudah direndahkan oleh peradaban ultra-kapitalistik yang telah meremukredamkan nilai-nilai kemanusiaan.

Enam Tingkatan

Sketsa Whitney Houston dkk, termasuk artis tanah air kita, setidaknya mengajarkan atas keterputusan kita sebagai khalifatullah yang harus terus bergerak menyatu denganNya (ilaihi rojiun). Jika diri masih egoistik maka ia masih dalam tingkatan paling rendah. Setidaknya ada delapan tingkatan akhlak yang mesti dilalui.

Pertama adalah tingkatan “Diri yang menguasai”. Tingkatan ini sifatnya masih fisikal dan egoistis. “Diri” belum terkontrol sehingga nafsu senantiasa diumbar dan bergentayangan. Hal inilah yang dilakukan para artis dan industriawan musik saat ini; Kedua adalah tingkatan “Diri penuh penyesalan”. Tingkatan ini lebih sulit karena jika tingkatan pertama belum dikuasai, maka ia pasti tidak memiliki kepekaan. Jika tingkatan kedua dikuasai, maka meski ia masih berbuat dosa, namun penyesalan akan ia lontarkan, dan ini adalah awal dari pertaubatan. Suatu usaha untuk mengubur kejahatan dan nafsu. Ia memang belum mampu berubah, namun sudah mulai sadar;

Ketiga adalah tingkatan “Diri yang terilhami”. Pada tingkatan ini, kenikmatan beribadah langsung kepada Allah sudah ia rasakan. Ada sesuatu yang terasa dalam jiwanya, sehingga nafsu jahat akan perlahan menghilang. Orang ini sudah tidak lagi pada tingkatan “fiqh”, yakni tidak berbuat jahat hanya karena takut ancaman, atau sebaliknya berbuat pahala hanya karena diperintahkan dalam hukum fiqh, namun sudah pada tingkatan akhlak.

Keempat adalah tingkatan “diri yang puas atau senang”. Pada tingkatan ini ego pribadi telah pergi. Jika ia menerima kesulitan, ia tetap puas sama halnya jika ia mendapatkan kemudahan. Ia sudah mulai berada dalam diri yang utuh dan bagian dari alam semesta yang universal ini; Kelima adalah “Diri yang disenangkan”. Ia tidak saja ikhlas menerima segala penderitaan, namun bahkan sudah sampai pada tahap senang.

Suatu hari seorang Sultan berbagi ketimun dengan seorang pelayannya. Ketika menggigit buah tersebut ternyata terasa pahit dan sultan lalu memuntahkannya. Sebaliknya sang pelayan terus lahap memakan buah ketimun tersebut. Sultan heran dan bertanya: “Hai pelayan, bukankah timun itu pahit? Mengapa engkau masih juga memakannya?” Maka jawab sang pelayan kalem: “Sultan yang saya hormati. Saya selama ini begitu banyak menerima kebaikan dan hadiah dari paduka. Karenanya, apapun yang Sultan berikan kepada saya, rasanya tetap manis”.

Coba kita bayangkan jika Sultan ini diganti dengan “Allah”, maka jelaslah bahwa nikmat Allah tidak terhitung. Di surat Ar-rahman Allah bahkan lebih dari 30 kali menanyakan: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang engkau dustakan?”

Keenam adalah tingkatan “Diri yang menyenangkan Tuhan”. Ini adalah manunggaling kawula gusti. Ini adalah tauhid ilahiyah yang sekaligus tauhid ba-syariyah. Kesatuan dan kebulatan batin yang otentik dan puncak dari ini adalah sahadat, yakni tiada Tuhan selain Allah. Tidak ada siapa-siapa selain Allah. Ini adalah prinsip ber-Maiyah yakni membangun diri untuk mencegah segala tindakan yang dapat menjauhkan diri dari Allah dan Rasulullah. Jika sampai pada titik ini, maka ia akan selalu menghadirkan Allah dan Rasulullah dalam setiap sistem, ideologi, dan segala tatanan kehidupan, termasuk ketika bernyanyi.

Saratri Wilonoyudho
Aktif Menemani Jamaah Maiyah Gambang Syafaat. Esais. Peneliti dan Dosen Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang. Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Ketua Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Jawa Tengah.
Bagikan:

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version