“Kupluk Cak Nun” di Tanah Suci
Kupluk, kopyah atau peci alias songkok sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak lama. Selama ini orang memakai kupluk dengan berbagai alasan, namun kebanyakan ya karena sudah menjadi adat kebiasaan saja. Umumnya orang Indonesia pakai kupluk tebal berwarna hitam. Banyak orang Indonesia, terutama yang muslim nampak kurang percaya diri jika tidak pakai kupluk hitam. Kupluk warna hitam ini sangat dikenal di tanah suci Mekah, karena sudah menjadi identitas khas orang Indonesia, terutama sejak Bung Karno meneriakkan kebangkitan Negara-negara Asia Afrika di tahun 1955 hingga periode Ganefo pada tahun 1960-an. Bahkan di Mekah ada pohon yang dinamakan Sukarno.
Sampai sekarang, orang Indonesia yang pergi haji dan memakai kupluk hitam, selalu menjadi sasaran orang Arab untuk diminta. Tapi dasar orang Arab, umumnya mereka pelit, maunya ambil kupluk kita, namun kupluk atau sorbannya tidak mau ganti diberikan kepada kita. Untung masyarakat Indonesia justru bangga, karena merasa mendapatkan “kehormatan” jika kupluknya diminta orang Arab. Si Arab kegirangan dan berteriak “Terima kasih, syukron haji-haji… Indonesia-Indonesia”.
Meski kupluk sudah menjadi identitas kaum muslim, namun tidak berarti setiap orang yang pakai kupluk hitam pasti muslim sejati. Sederhana saja, DN Aidit tokoh PKI juga pakai kupluk hitam, bahkan orang yang sedang adu jago atau teplek kartu domino juga sering pakai kupluk hitam meski kadangkala memasangnya melintang seperti si Kabayan.
Berbeda lagi dengan orang yang sudah berhaji. Ketika pulang kampung mereka umumnya mengganti kupluk hitamnya dengan kupluk putih. Harapannya itu simbol haji, dan dipanggil Pak Haji. Meski ibadah haji bukan ibadah untuk mencari gelar, namun tak jarang orang yang sudah berhaji tetap masygul hatinya jika tidak dipanggil Pak Haji. Jika kurang mantap, dapat juga ditambah pakai sorban kafiyeh mirip Yaser Arafat atau bahkan baju gamis. Dikiranya gamis atau sorban itu identitas Islam. Padahal ia sendiri juga melihat, tukang makelar HP di Arab pun juga pakai gamis. Demikian pula Abu Lahab dan Abu Jahal juga pakai jubah dan sorban khas Arab.
Singkatnya orang kadang tidak dapat membedakan mana sebenarnya nilai Islam dan mana yang budaya Arab. Karenanya banyak umat Islam yang kadang salah kaprah ketika mengamalkan ajaran Rasulullah, yakni antara Muhammad SAW sebagai Rasulullah dan Muhammad SAW sebagai orang Arab. Orang kemudian dengan gagah berani sering mem-bid’ah-kan muslim yang lain hanya berdasar definisi “melakukan sesuatu yang tidak dicontohkan Rasulullah”.
Kupluk Cak Nun
Nah diantara 250.000 jamaah haji asal Indonesia, nampaknya hanya saya pribadi yang kupluknya lain dari yang lain. Kalau umumnya mereka memakai kupluk hitam atau putih, saya memakai kupluk ala Cak Nun. Yakni kupluk berwarna putih di sekeliling kepala dan yang di atasnya berwarna merah serta dapat “melar” jika dipakai.
Saya tidak menyadari jika ternyata kupluk ala Cak Nun ini menjadi satu-satunya kupluk, tidak saja diantara 250.000 jamaah Indonesia, bahkan satu-satunya kupluk diantara jutaan jamaah haji lainnya, baik ketika di Madinah maupun di Mekah! Dengan kata lain, kupluk ala Cak Nun itu tidak ada yang menyamai. Alhasil, kupluk ini banyak menarik perhatian bangsa lain. Ketika sholat di Masjid Nabawi, misalnya, ada jamaah dari Somalia, Turkey, dan Uzbekistan yang mau minta kupluk ini. Demikian pula di Mekah, ada orang Arab, Bahrain, dan Yaman yang juga mau minta kupluk saya, bahkan termasuk jamaah haji dari Sulawesi yang juga tertarik.
Tentu saja saya tidak mengizinkan. Bukan karena pelit namun ada dua alasan. Pertama, saya hanya membawa satu kupluk ala Cak Nun ini, sehingga saya tidak memiliki ganti. Kedua, kupluk ini ternyata sangat “bermanfaat” bagi isteri saya dan rombongan saya. Mengapa? Ya karena berbeda dengan yang lainnya, maka isteri dengan sangat mudah menemukan saya jika mencari saya di kerumunan orang. Tinggal lihat kepala warna merah, maka ketemulah saya.
Jadi jika pas sholat di Masjidil Haram, kami harus berpisah. Isteri ada di shaf wanita dan saya di barisan laki-laki. Nah ketika pulang kami janjian nanti ketemu di pintu King Abdul Aziz. Namun karena banyak orang, tentu susah jika hanya mengandalkan penglihatan wajah saja. Dengan ciri khas kupluk putih merah, isteri saya dengan mudah menemukan saya, apalagi ukuran tubuh saya juga relatif tinggi sehingga mudah dikenal. Sekali lagi karena kupluk ini sampai hari terakhir Tawaf Wada’, tetap tidak ada yang menyamainya!
Selain isteri, rombongan saya juga terbantu dengan warna kupluk ini, sehingga jika mereka mencari saya juga hafal. Ada jamaah Maiyah asal Mandar dan Sidoardjo serta Kang Tobib di Jeddah yang kebetulan juga melaksanakan ibadah haji bareng saya. Mereka sangat penasaran ingin ketemu saya lewat dan mengirim SMS. Maka dengan enteng saya jawab: “OK, ya habis Jumatan kita ketemu di King Abdul Aziz Gate. Saya pakai kupluk ala Cak Nun”. Dan mereka pun paham serta malahan bertanya “Bawa berapa kupluknya mas, saya mau minta”. “He he he”, jawab saya juga dengan SMS.
Tak ketinggalan, di lain kesempatan, Pak Kiai pemimpin rombongan, juga penasaran, dan tanya kepada saya “Mas, beli kupluknya di mana?” Saya hanya tersenyum dan menjawab dengan bercanda. “Ini kupluk limited edition dari Cak Nun kok pak kiai”. Lalu pak Kiai mengangguk dan berucap: “Ooo… Ainun Nadjib dari Jakarta ya”. Saya hanya senyum saja tanpa meralat, karena memang Cak Nun ada dimana saja.
Itulah sekelumit cerita kupluk ala Cak Nun selama di Arab Saudi. Saya merasa bangga memakainya, meski dari rumah tidak saya duga bahwa manfaatnya akan sebesar ini. Yang jelas kupluk ini menjadi ciri khas orang Maiyah dan dikagumi banyak orang, atau setidaknya jadi bahan pertanyaan orang. Karenanya harapan kita adalah, bukan hanya kupluknya yang jadi perhatian dan dicari orang, namun isi kepala yang “di-kupluk-i” yang dicari dan diamalkan orang, yakni isi kepala nilai-nilai Maiyah. Amin.