Ibunda Hj. Chalimah dan Padhang Rembulane
Saya tidak tahu pasti mengapa selalu memiliki energi yang lebih dahsyat jika berkaitan dengan teman Jamaah Maiyah. Bayangkan seluruh energi badan ini telah terkuras, akibat sehari semalam hampir tidak tidur karena menempuh perjalanan Semarang-Jombang untuk menghantar Ibunda Hj. Chalimah ke pangkuanNya, toh baru menginjakkan kaki di Semarang pagi ini, energi itu terhimpun kembali, bahkan lebih dahsyat (tanpa harus minum suplemen yang diiklankan Ustadz Uje yang populer di TV itu). Padahal setelah semua badan ini pegal-pegal, capek, ngantuk, mata merah dan sedikit pening, dst, maunya langsung tidur nyenyak. Namun baru mata mau terpejam, hati memberontak dan tangan ini gatal juga untuk segera mengetik tulisan ini.
Saya juga tidak tahu pasti apa mauNya, sehingga IA punya skenario khusus untuk saya. Terus terang semenjak mendengar pengajian Padhang Mbulan di Menturo Jombang beberapa tahun yang lalu, saya sangat kepengin datang untuk sekadar mendengarkan. Bagi saya saat itu — hingga sekarang — pengajian ini sungguh sebuah “skenario” yang Agung dari Allah SWT. Mengapa? Ya kalau bicara saat ini, pengajian ini tampak biasa saja, namun siapa yang bisa memahami ketika Padhang Mbulan lahir pada saat Orde Baru masih “ganas-ganasnya” terhadap setiap geliat organisasi kemasyarakatan?
Karena saat itu program pembangunan ekonomi dijadikan sebagai panglima, dan keamanan politik menjadi prasyaratnya, maka tidak mengherankan jika rezim saat itu begitu super peka terhadap setiap derap langkah dan denyut nadi “gerakan” organisasi. Nah Padhang Mbulan kalau tidak salah, di awal berdirinya juga harus rela setiap saat dikitari para intelijen negara. Itulah yang membuat saya penasaran ingin menghadirinya hingga detik Sabtu 1 September 2012 kemarin.
Ternyata kerinduan saya itu didengar dan dituruti dengan “skenario” aneh dari Allah SWT. Saya membaca BBM teman-teman bahwa tanggal 1 September 2012 waktu Padhang Mbulan diselenggarakan, hari itu tepat pada hari Minggu Wage dengan wuku 9, dan kata teman-teman di BBM, waktu tersebut merupakan awal yang baik. Saya memang tidak percaya “klenik”, meski kebetulan weton saya juga Minggu Wage. Karenanya beberapa hari menjelang Padhang Mbulan ini saya terus membayangkan akan bisa datang ke Menturo, dan bahkan beberapa teman Bangbang Wetan menyarankan saya mengirimkan tumpeng agar “di-Fatekhah-i” pada weton saya tersebut.
Nah ketika saya sedang tiduran di rumah, serombongan teman-teman Gambang Safaat menyambangi rumah saya dan langsung “menculik” saya untuk diajak ke Menturo, katanya Ibunda Hj. Chalimah dipanggil ke hadiratNya. Inilah yang saya sebut “skenario” Allah SWT karena saya tidak sedikitpun ada usaha untuk ke Menturo saat itu. Namun karena ada peristiwa tersebut akhirnya Allah me”mi`raj”kan saya ke Menturo tanpa “usaha yang berarti”. Saya langsung dibawa tepat di hari “kebahagiaan” ibunda karena Allah SWT mengakhiri kerinduanNya untuk segera bertemu kekasihNya. Karenanya, bagi kaum sufi, peristiwa kematian bisa jadi malah di-syukuri dengan kata-kata Alhamdulillah.
Hanya kita orang awam yang meratapi kematian, bahkan ungkapan innalillahi wa inna ilaihi roji`un sering “dikonotasikan” musibah atau kesedihan. Kematian hanyalah tidur panjang kata Ebiet, dan bagi para sufi, kematian adalah kegembiraan karena bertemu Allah SWT.
Karenanya keluarga Ibunda Hj. Chalimah tidak meratapi peristiwa tersebut, namun justru malahan tetap melangsungkan pengajian akbar Padhang Mbulan. Lewat momen inilah kembali Allah menunjukkan kebesaraanNya dengan tidak saya sadari, saya dilemparkan ke panggung lewat panggilan dari Cak Nun untuk berbicara di tempat yang saya bayangkan beberapa tahun yang lalu dengan penuh kekaguman. Di hadapan para kekasih Allah di Padhang Mbulan, saya jadi demam panggung, grogi, gagap, tidak bisa berbicara lancar. Logika berpikir saya seakan lenyap dan tidak sambung dengan lidah, karena rasa “terkejut” oleh hadiah teristimewa dari Allah.
Saya tidak sedang sombong. Saya terbiasa berbicara di hadapan para bupati/walikota, gubernur, pejabat negara, bahkan menghadap pejabat setingkat menteri. Saya berpidato di hadapan mereka dengan PD dan tanpa takut sedikit pun mengkritik mereka. Namun jika sudah berbicara di hadapan para Jamaah Maiyah, seringkali mulut ini seperti gagap, karena belum kuatnya jiwa saya berhadapan dengan ribuan aura suci mereka. Saya tidak sedang mengatakan aura para pejabat tidak suci, namun ini sebuah “demam panggung” yang sering saya alami.
Karenanya saya bisa paham jika Cak Nun dan para suadaranya tetap saja enjoy menyelenggarakan Padhang Mbulan meski bagi sebagian orang awam dianggap tidak “ilok” (Jw) karena baru saja “bersedih” atas wafatnya sang ibunda. Bagi saya, orang yang berpendapat demikian masih belum paham bahwa seperti yang saya katakan, peristiwa ”tindak-nya” roh ibunda menuju cahaya Allah SWT juga setara dengan pengajian Padhang Mbulan.
Sederhana saja, pengajian Padhang Mbulan juga sebuah prosesi pertemuan Agung dengan Allah SWT. Mereka yang hadir di pengajian tersebut hampir dapat dipastikan sosok-sosok yang hatinya diliputi kerinduan yang luar biasa untuk dapat bertemu dengan Allah SWT. Mereka pasti datang dengan keikhlasan tingkat tinggi. Bagaimana tidak ikhlas jika untuk mendatanginya ada yang sangat “heroik”, bersepeda motor dari Blora, Jogja, Solo, Surabaya, Semarang, dst. Menghadiri pengajian Padhang Mbulan jelas berbeda “rasanya” dibandingkan dengan jika mereka menghadiri pengajian seorang ustadz dari Jakarta yang sering tampil di TV, dengan bayaran puluhan juta rupiah.
Pengajian Padhang Mbulan, Mocopat Syafaat, Bangbang Wetan, Gambang Syafaat, Majelis Baradhah, dst, adalah sebuah peristiwa kerinduan agung yang sejati untuk (belajar) bertemu Allah dalam kesucian dan kebeningan jiwa, sementara pengajian dengan ustadz berbayar mahal tersebut barangkali hanyalah sebuah peristiwa “dagang” biasa. Yang satu butuh uang, dan yang satu hanya butuh hiburan karena kelucuan dan kepopuleran sang artis (eh sang ustadz).
Kekuatan pengajian ala Jamaah Maiyah tersebut barangkali seperti digambarkan oleh HR Gibb yang menyebutnya “Islam is indeed much more than a system of theology, but it is a complete civilization”.
Pengajian Jamaah Maiyah selalu bergerak menuju cahaya, dan selalu berusaha menjaga konsistensi untuk kembali ilaihi roji`un. Ini berarti sebuah gerak menuju ke-fitri-an, kembali ke kesucian, sehingga dalam keseharian pikiran, ucapan dan tindakan kita benar-benar untuk kebaikan. Sebuah gerak thawaf yang tidak mudah karena kebanyakan hampir setiap umat yang baru saja sekesai melaksanakan ibadah ritual, selalu terjebak kembali ke “watak” aslinya. Kita kembali menjadi manusia remeh yang menomorsatukan kepentingan pribadi di dunia dan keserakahan lainnya. Padahal ia baru saja selesai sholat atau selesai menjalankan ibadah puasa ramadhan misalnya.
Yang biasanya korupsi kembali ke korupsi, yang biasanya menindas kembali lebih menindas rakyat, yang biasanya berucap kotor malahan lebih kotor lagi, yang biasanya melanggar tata tertib di mana saja kembali tidak disiplin (di jalan raya, antre tiket, telat rapat, buang sampah sembarangan dst). Ibadah mahdoh jadinya hanya menjadi semacam “kelangenan” religius yang tidak ada hubungannya dengan perbaikan kualitas keruhanian kita dalam menyikapi dunia untuk menuju akherat kelak.
Padahal mestinya ibadah mahdoh/ibadah ritual sanggup “menyatukan” kita dengan Allah. Yang ada hanyalah Allah dan kita milik Allah, sehingga hutan, lautan, gunung, harta kekayaan negara, rekening kita, kekuasaan, dst adalah milik Allah. Kalau ini disadari pasti tidak akan disalahgunakan.
Dengan kata lain, manusia yang sudah fitri dan tercerahkan, tidak anti materi atau duniawi, namun mentransformasikan apa yang ia miliki (harta, kekayaan, kekuasaan, tenaga, pikiran, dst) untuk menjadi “nur” atau cahaya yang bermakna akherat. Dalam ajaran Islam term tersebut berarti “di-Amal Saleh-kan”, karena benda materi itu tidak dapat dibawa mati.
Makna ini penting dicermati terutama bagi Jamaah Maiyah adalah, mereka mestinya adalah orang-orang terpilih yang sukses dalam menjalankan ritual prosesi pertemuan Agung. Kekuasaan dan harta bersifat sementara, dan akan “mengabadi” ketika mampu ditransformasikan menjadi nur lewat perbuatan amal saleh, atau “dienergikan” agar melembut dengan jalan didistribusikan atau diabdikan buat kebaikan bersama. Dengan cara ini, makna ibadah ritual tidak hanya berdampak terhadap diri pribadi, namun juga bagi keseluruhan kehidupan dunia ini. Karenanya benar kata Allah: ”Tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah” atau juga “Aku utus Muhammad sebagai rahmatan lil alamin”.
Lewat pengajian Maiyah dan pelajaran berharga dari prosesi pertemuan Agung Ibunda dengan Allah SWT, mestinya sanggup menghantarkan para jamaah menjadi “manusia baru”. Ibarat ular kita sudah “mlungsungi”. Pekikan “innalillahi wa inna ilaihi roji`un” harus ada buktinya di kehidupannya.
Perasaan tersebut berlainan dengan orang yang berhasil membangun “religius feeling” yang mampu mengembangkan ritual keberagamaan menjadi konkret dan mencapai “peragian rohani” dengan mengembangkan dirinya menjadi khalifah di muka bumi. Keadilan, kebenaran, cinta kasih, persaudaraan, dst terus dikembangkan.
Dalam hubungan sistemik global, posisi semacam ini memang agak rumit. Halal kah saya menjadi presiden, wapres, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, ketika pada sisi lain saya tetap berbuat haram dengan menindas dan mengkorup uang rakyat ? Halalkah saya jika dengan kedudukan senikmat itu lantas tidak berbuat apa-apa terhadap rakyat ?
Pelajaran dari prosesi Agung ibunda adalah adanya kerinduan menyatu dengan Allah SWT. Jika kita berada di dalamNya, maka hati kita juga akan lapang, jiwa tenang, sebuah kepasrahan total setelah semua daya upaya kita wujudkan dalam memayu hayuning buwono.
Ayo mumpung jembar kalangane dan padhang rembulane. Sugeng tindak ibu, kami akan meneladani ”keperkasaan”mu, setelah lebih dari 80 tahun mendidik dan membesarkan para penjaga dan pengamal ajaran Allah dan Rasulullah secara konsisten dan konsekuen. Sebuah perpaduan unik antara kelembutan hati seorang ibu dan kekerasan jiwa terhadap setiap kemungkaran kepadaNya.