Gambang Syafaat, Mau Apa?
Tanggal 25 Desember 2012 ini, Jamaah Maiyah Gambang Syafaat (GS) “merayakan” ulang tahunnya yang ke 13. Jika diumpamakan manusia, maka usia ini tentu masih kanak-kanak. Berbeda dengan “Sang Kakak” seperti Padhang Mbulan dan Mocopat Syafaat yang hampir selalu ditemani Cak Nun, Jamaah Maiyah GS sering harus merangkak sendiri dengan tertatih-tatih untuk menggali cakrawala keilmuan dan pemikirannya. Namun bukan berarti ini sebuah “musibah”, tapi bisa jadi malahan “berkah”, tergantung cara pandang kita.
Justru dengan hanya ditemani oleh “cendekiawan medioker” seperti saya dan Pak Ilyas, para jamaah malahan “tahan banting”, “merangkak” dan “meraba” bersama-sama untuk menggali samudera ilmu yang maha luas yang ditawarkan Islam. Kami kadang tertawa bersama jika sudah “menthok” tidak dapat memecahkan satu masalah, karena Cak Nun pas tidak hadir. Alhasil, kesimpulan pada malam hari itu hanyalah hikmah “kebingungan” bersama. Ini adalah metode sinau bareng yang kami terapkan. Saya dan Pak Ilyas, kadang dengan Habib Anis, memang tidak memposisikan sebagai “narasumber”, namun hanya sekadar menemani mereka, karena selain kerdilnya pengetahuan kami, juga latar belakang para jamaah sangat beragam.
Kami kadang GR dengan sabda Rasulullah bahwa keberagaman itu sebuah berkah, maka dalam menyikapi hidup dan kehidupan, para jamaah juga beragam cara pandang dan persoalaan yang dihadapinya. Uniknya, hampir setiap acara, pasti ada “orang gila” baik dalam arti konotatif maupun denotatif. Hayo cari pengajian lain yang “umatnya” juga orang gila sungguhan! Nampaknya itu hanya ada di acara maiyahan. Entah ini skenario Allah atau tidak, namun kehadiran orang gila itu memang “menguntungkan”.
Kita menjadi lebih sareh memahami Islam, sekaligus sareh menghadapi orang lain yang gila maupun yang berpikiran gila. Ada jamaah yang bertanya soal adanya Tuhan, soal Rasul, bahkan soal pribadi mereka, seperti bagaimana menyikapi temannya yang mau “kawin” dengan sesama jenis, problem keluarga, persoalan pekerjaan, pengangguran, dst. Sekali lagi, adakah pengajian yang dihadiri orang-orang gila semacam ini selain acara Maiyahan?
Dengan kata lain, terlepas tema pengajian ini “ngalor-ngidul”, namun ilmu hikmah itu yang dapat kami syukuri, baik bagi para jamaah atau kami yang menemani. Kalau di pengajian lain barangkali yang diperoleh hanyalah “kesombongan” bahwa kelompoknya lah yang paling benar dan berhak masuk surga, justru di GS kami semua merasa paling kotor dan hina, sehingga selalu “merengek” dan “menghiba”, meminta pertolongan Allah dan Rasulullah.
Kalau pada pengajian lain dengan semangat berapi-api, dan dengan bersusah payah mendalami Islam, namun yang didapat hanyalah konflik kilafiyah, kesombongan, atau ilmu-ilmu fiqh yang tidak membumi, sebaliknya acara GS yang “hanya” dengan “guyonan”, Insya Allah sanggup mendapatkan ilmu hikmah. Justru dengan semakin mendalami Islam dan memahami diri, yang diperoleh rasa “minder” bahwa kita adalah yang paling bodoh dan kotor, serta paling pesimis menjadi golongan yang satu (dari 73 golongan) yang berhak masuk surga.
Kami para jamaah GS justru paling memahami, bahwa kalau hanyalah sekadar mendapatkan pengetahuan halal-haram, dosa-pahala, surga-neraka, maka kami tidak perlu kumpul-kumpul setiap bulan sampai semalam suntuk, bahkan kami masih pula berkeliling ke “saudara tua” yang lain ke Yogya atau Jombang. Sederhana saja, tanpa harus beragama pun, suku-suku primitif, justru lebih “islami” dari kita. Mereka paling sensitif mencintai ciptaan Allah dengan cara merawat alam dengan kesungguhan hati, merawat kejujuran dan kasih sayang tanpa harus ditakuti soal surga neraka.
Sebaliknya kita yang merasa paling islami, seringkali justru gagal — sadar atau tidak — hanya sekadar memahami tugas kekhalifahan kita. Sekadar contoh, suku bangsa Maya, tanpa disentuh Qur’an, ternyata sangat canggih membaca (iqro’) gejala alam hingga melahirkan ilmu astronomi, astrologi, dan penanggalan hebat lainnya. Sementara kita yang selama ini merasa paling islami, dengan indikator katam Qur’an dan pergi haji puluhan kali, sering hanya terhenti pada umat yang beku, dan tidak memiliki ruh kecendekiawanan.
Padahal jelas ada perintah di Al Qur’an yang maha penting, yakni iqro’ dan berpikir lah. Ini dua kata kunci dari kitab yang diajarkan Rasulullah SAW, yang justru kini ditinggalkan umat Islam. Karenanya, terkait dengan ulang tahun jamaah GS, dua kata kunci ini harusnya menjadi pegangan dalam memahami Islam, hidup, dan kehidupan. Jika ini terus dipompakan ke dalam alam “ideologi” para jamaah, maka insya Allah akan tumbuh para “cendekiawan” maiyah GS.
Artinya, maiyahan yang dilaksanakan di acara GS, tidak hanya berhenti pada tataran “kelangenan” belaka, namun diharapkan menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Acara maiyahan GS juga tidak hanya menghasilkan “konsumen-konsumen” pengetahuan belaka, namun mestinya juga “produsen”. Ini semua dapat terwujud jika para jamaah memahami hakekat maiyahan, yakni sebuah upaya pencarian dan penggabungan diri kepada Allah dan Rasulullah dalam sebuah cinta segitiga.
Mestinya jika ini dilaksanakan dengan baik, benar dan indah, akan berujung kepada kecendekiawanan, bahkan berujung kepada lahirnya ilmu pengtahuan. Orang yang sudah berhasil menggabungkan diri kepada Allah (tauhid), pasti akan mencintai pula ciptaanNya. Kalau sudah mencintai ciptaanNya, pasti akan tergerak akal dan pikirannya untuk memahami lebih dalam alam semesta ini. Sebagaimana dalam tradisi “ilmiah”, maka akan ada usaha “penelitian”, baik meneliti diri sendiri, maupun meneliti alam semesta ciptaanNya. Bukankah dalam tradisi ilmiah ada urutan: hipotesa, metode penelitian, metode analisis, dst, yang kesemuanya melahirkan ilmu pengetahuan?
Dari konstruksi inilah, mestinya semakin Islam seseorang, makin tinggi pula kadar kecendekiawanannya dan makin tinggi kadar keilmuannya. Dalam Al Qur’an ada istilah muthahar atau tercerahkan, dan ini adalah pemahaman yang komprehensif. Yang tercerahkan tidak hanya mental spiritualnya, namun juga intelektual dan moralnya. Ini adalah kondisi tercerahkan secara kaffah.
Dari titik inilah makin jelas bahwa tidak ada rumus bahwa makin tinggi ilmu agamanya justru makin rendah kadar ilmu pengetahuannya, atau sebaliknya, namun mestinya justru makin tinggi ilmu dan pemahaman keagamaannya makin tinggi kadar keilnuannya. Selama ini agama sering dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal jelas, Islam justru memberi tempat yang paling terhormat kepada kemajuan ipteks. Allah juga sudah berjanji akan meninggikan beberapa derajad orang yang berilmu pengetahuan, dan bukan orang yang bersekolah, berijazah, atau bergelar profesor doktor. Dalam Islam jelas bahwa dimensi ketercerahan, kecendekiawanan, keilmuan, dst, tidak berdiri sendiri namun “telu-teluning atunggal”, yakni : spiritual-intelektual-moral.
Karenannya, jamaah GS mesti menunjukkan perannya untuk menegakkan ketiga dimensi tersebut, sebab jika tidak, apa artinya kita bersusah payah ”lek–lekan” semalam suntuk dalam mendalami Islam? Setidaknya, acara maiyahan ini sanggup terwujud dalam kehidupan keseharian. Misalnya, bagi para mahasiswa, skripsi dan karya ilmiahnya mestinya lain dari yang lain para mahasiswa yang tidak ikut maiyahan.
Karya ilmiah mereka harusnya mampu menggetarkan siapa saja yang membaca dan tidak mencampakkannya di keranjang sampah. Demikian pula, bagi mereka yang bukan mahasiswa, ilmu maiyah ini juga sanggup memberi pencerahan di alam sekitarnya, tempat kerja, tetangganya, keluarganya, dan dimana saja ia berada.
Bukankah sekularisme itu tidak hanya berarti keterpisahan ilmu pengetahuan dari agama, namun juga keterpisahan agama dengan lingkungannya? Bukankah dalam surat Al Fatehah ada istilah “tahu tapi tidak mau” (sehingga dimurkai Allah), dan “mau tapi tidak tahu” (sehingga dimarahi Allah)? Mestinya jamaah GS adalah masuk golongan yang “mau dan tahu” atau “tahu dan mau”, dan jangan masuk orang-orang yang “mubazir” hidupnya. Sedangkan orang tahu tidak mau saja sudah mubazir, apalagi sudah tidak mau, sekaligus tidak tahu!
Selamat Ulang Tahun.