CakNun.com

Gambang Syafaat dan Maiyah 2013

Nampaknya ada yang perlu dijelaskan dalam tulisan saya pada waktu menyambut Ulang Tahun Gambang Syafaat 25 Desember 2012 yang lalu yang dimuat di website CakNun.com. Dalam tulisan itu (di alinea pertama dan kedua), tidak sadar saya “mbagusi” seakan hanya saya dan Pak Ilyas yang paling dominan di acara GS (Gambang Syafaat, red) dan melupakan peran yang lain. Saya khilaf tidak mencantumkan periode waktu, karena yang saya ceritakan itu adalah GS pasca “gonjang-ganjing”.

Untuk kilas balik perlu saya ceritakan kenapa saya bisa masuk lingkaran maiyah GS. Menurut saya, kejadian ini merupakan skenario Allah SWT. Bagaimana mungkin saya yang saat itu sedang tiduran leyeh-leyeh di rumah, tiba-tiba didatangi tak kurang 10 aktivis GS dan kemudian ramai-ramai menggotong saya untuk menggantikan Kiai Budi. Apa salah dan dosa saya sehingga saya mendapat beban seberat ini? Tidak tahukah mereka bahwa ditilik dari segi nama saja, nama saya sudah “tidak islami”, bahkan terkesan lebih cocok masuk “aliran kepercayaan”. Ilmu agama juga tidak punya, apalagi membaca Al Qur’an juga tidak jejeg.

Yang jelas dengan ditunjuknya saya untuk mengisi acara di GS merupakan beban yang maha berat. Demi Tuhan, setiap kali akan tampil di acara GS, saya stress berat karena menanggung beban ini. Terlebih lagi saya juga harus menata hidup agar nanti jika ketemu jamaah di jalanan atau di mal atau di mana saja, misalnya, saya cukup pantas menerima amanah ini. Untuk mensiasati kekerdilan, kekotoran jiwa, dan cupet-nya pengetahuan, maka dalam setiap acara GS saya selalu bilang kepada para jamaah bahwa kita ini tengah “sinau bareng”, kita sama-sama masih kotor. Dengan cara ini saya merasa “aman” sehingga jika saya salah dalam menyampaikan gagasan atau ide di forum GS, saya bisa berkelit bahwa kita masih belajar bersama.

Terus terang berbicara di forum maiyah itu berbeda dengan berbicara di forum manapun, bahkan di forum birokrasi resmi. Bagi saya lebih berat berbicara di forum maiyah dibandingkan dengan berbicara di forum birokrasi. Untungnya saya sudah mengenal JM GS sejak acara GS ini digelar pertama kali pada tahun 1999, dan saya selalu hadir. Waktu itu saya hanya membayangkan dapat kenal dengan para aktivis (termasuk yang di Padhangmbulan), dan terlebih kalau bisa dapat berkenalan dengan Cak Nun. Ternyata angan saya diwujudkan oleh Allah SWT dengan cara yang aneh, karena saya merasa tidak ada usaha sedikit pun untuk — misalnya — nyolu-nyolu para aktivis dan mendekati base camp mereka di Ikamaba Masjid Baiturrahman Semarang.

Untungnya, sebelum ditunjuk menemani JM GS, saya punya bekal sedikit tentang maiyahan, karena saya selalu mengikuti setiap ceramah Cak Nun di berbagai tempat, terutama yang di Yogya dan Semarang, setidaknya sejak tahun 1983 yang lalu ketika saya duduk di tahun kedua di Fakultas Teknik UGM Yogya. Dengan bekal ini saya sedikit lebih PD ketika diamanahi untuk menenami para JM GS di Semarang. Meski demikian, sejujurnya saya sering berencana untuk menemani para JM GS sekali dua kali saja, setelah itu saya di belakang layar saja. Namun melihat semangat para JM GS yang rela duduk hingga jam 3 dini hari, saya juga tidak tega meninggalkan mereka. Alhasil, saya justru ketagihan hingga detik ini, meski setiap tanggal 25 saya stress.

Nah yang saya ceritakan pada tulisan 25 Desember 2012 yang lalu adalah pengalaman transisi ini, sampai kemudian Cak Nun kerso rawuh kembali menemani JM GS karena (barangkali, sekali lagi saya GR), tidak tega melihat saya dan Pak Ilyas memikul beban berat hanya berdua (kemudian tambah Habib Anis dan Om Budi Maryono). Dari sinilah angan saya untuk lebih dekat dengan Cak Nun tercapai, juga dengan cara yang aneh pula, karena saya juga tidak berani langsung nyelonong bertemu beliau, namun lewat pertolongan Allah melalui rekan-rekan aktivis GS.

Saya merasa selalu ditolong Allah lewat energi yang meledak-ledak jika sudah berurusan dengan para JM. Sifat meledak-ledak ini di satu sisi menguntungkan, karena saya tidak mempunyai rasa capek sedikitpun jika sudah memiliki mood (misalnya) untuk menulis, namun di sisi lain, sifat itu menjadi “bencana” bagi saya ketika saya sering tergesa-gesa dan tanpa kontrol sehingga muncul tulisan pada tanggal 25 Desember 2012 yang lalu yang pada alinea pertama dan kedua saya “mbagusi” dan mengecilkan peran Cak Nun, Pak Toto, Mas Helmi, Pak Mustofa, dst yang selalu keroyo-royo datang ke acara GS dalam kondisi apapun. Sekali lagi, yang saya maksud pada alinea pertama dan kedua itu adalah pada saat masa transisi JM GS, kira-kira dua tahun yang lalu. Selebihnya Cak Nun, Pak Toto, Mas Helmi, Pak Mustofa, dst, selalu (sekali lagi: selalu) datang bergantian ke acara GS dalam kondisi apapun.

Benar, jaringan maiyah di seluruh Nusantara harusnya mandiri dan memiliki formulasi, yang nantinya mampu “mengekploitir” potensi lokal yang khas yang dapat disumbangkan kepada umat, syukur dapat memecahkan masalah bangsa dan Negara. Namun demikian, peran Cak Nun tetap sangat diperlukan. Kalau boleh mengibaratkan, beliau adalah “Presiden Maiyah”, dan para aktivis di daerah adalah “Gubernur” nya. Artinya, meski mestinya mandiri, namun tetap ada fungsi-fungsi “organisatoris” yang harus dijalankan seperti fungsi koordinatif bahkan kalau perlu ada fungsi instruktif. Tujuannya adalah agar para “Gubernur” tidak kehilangan arah, dan bisa selalu men-“charge” pengetahuan-intelektual maupun spiritual bersama beliau. Kalau diibaratkan beliau sedang melakukan peran “kenabian”, maka kami adalah para sahabat (GR lagi) yang selalu membutuhkan petunjuk tersebut, meski kemandirian berpikir juga penting.

Edaran untuk Jamaah Maiyah 2013 yang disampaikan kepada saya dan Pak Ilyas kemarin, saya pahami dalam konteks tersebut. Untuk itu, tulisan ini saya buat, selain untuk meralat dan menjelaskan tulisan tanggal 25 Desember 2012, sekaligus juga untuk minta maaf kepada siapa saja, yang tidak sadar saya kecilkan perannya, meskipun bukan itu sebenarnya maksud saya. Hal ini penting ditulis, untuk menjelaskan kepada jamaah di luar GS yang barangkali tidak tahu duduk masalahnya. Tujuannya agar tidak terjadi salah paham, bahkan salah sangka terhadap peran teman yang lain, terutama Cak Nun yang terus menyelami sirrullah dan selalu menemani acara JM GS sampai pagi hari.

Apa yang dilakukan beliau dkk, tidak lain adalah upaya transfer nilai maiyah dari Allah SWT, agar hidayahNya menyebar ke seluruh Nusantara, bahkan umat manusia. Sekali lagi, mohon maaf atas tulisan yang lalu, dan hanya dengan cara ini akan lebih ringan beban hidup saya. Mohon doa pula agar setiap kali menulis, saya selalu diliputi hidayah Allah sehingga tulisan saya terhindar dari kesombongan, fitnah atau keburukan yang lain. Terlebih lagi harapannya agar tulisan saya dapat bermanfaat bagi semua ciptaanNya. Amin.

Lainnya

Munajat Cinta di Jum’at Kedua

Munajat Cinta di Jum’at Kedua

Adanya keberadaan adalah karena hadirnya batas. Kita sebagai manusia menyadari keberadaan kita karena kita menyadari keterbatasan.