Fragmen Manunggal
RUWAT SENGKOLO
Dari Sabang sampai Ternate…. Berjajar pulau-pulau….
KI JANGGAN
Apa itu, apa itu, kok gitu…. Coba ulang, ulang….
RUWAT SENGKOLO
Dari Sabang sampai Ternate…. Berjajar…. Maaf Guru….
KI JANGGAN
Kok Ternate?
RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru, saya mendengar Irian Jaya sedang terancam. Kalau kita nggak serius menjaga Negara, dia bisa lepas dari tangan kita seperti Timor Timur dulu.
KI JANGGAN
Justru karena itu lirik lagunya harus tetap “Dari Sabang sampai Merauke”. Kamu sebagai generasi penerus harus meneguhkan nasionalisme.
RUWAT SENGKOLO
Siap Guru! Hidup matiku untuk NPKRI!
KI JANGGAN
Lho kok NPKRI?
RUWAT SENGKOLO
Negara Persatuan dan Kesatuan Republik Indonesia, Guru
KI JANGGAN
NKRI!
RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru. Selama ini Guru mengajariku berpikir utuh. Persatuan dan Kesatuan tidak bisa dipisahkan. Pidato semua pemimpin kita tidak pernah menyebut persatuan dan kesatuan secara terpisah. Persatuan harus kesatuan, kesatuan harus persatuan.
KI JANGGAN
Ya ya ya…. Kamu berpikir utuh dan logis, tapi tidak lazim, tidak umum. Yang lazim dan konstitusional itu NKRI. Negara kesatuan dari beragam-ragam suku dan golongan.
RUWAT SENGKOLO
Siap Guru! Bhinneka Manunggal Ika….
KI JANGGAN
Bhinneka Tunggal Ika!
RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru, yang Tunggal itu hanya Tuhan. Kalau manusia itu Manunggal, menyatu, nyawiji kata orang Jawa.
KI JANGGAN
Sudah terlanjur Tunggal Ika, jangan macam-macam.
RUWAT SENGKOLO
Tunggal itu “satu-satunya”, “the only”…. Tuhan Yang Maha Tunggal. Bukan Tuhan yang Maha Esa. Kalau Esa itu bisa diteruskan ke Dua, Tiga…. seperti bahasa Tagalog: Esa, Dalawa, Tatlu, Apat, Lima, Anip, Pitu, Wolu, Sanga, Sampoh…. Kalau Tunggal, tidak ada Dua-nya, tidak ada Tiga-nya….
GASPOL
Saya Gaspol. Saya petugas kepolisian.
Saya penjaga konstitusi dan penegak hukum.
NKRI itu harga mati. Yang menentang NKRI, harganya: mati!
Sudah jelas cetho welo-welo, kata NKRI itu disebut secara tegas dalam Teks Proklamasi 1945 dan UUD-45.
Barang siapa melawan, berhadapan dengan: Gaspol!
RUWAT SENGKOLO
Itulah sebabnya, Guru, sila pertama adalah Tuhan yang Maha Tunggal.
KI JANGGAN
Apa-apaan kamu. Sila pertama itu Ketuhanan Yang Maha Esa.
RUWAT SENGKOLO
Ampun, ampun. Guru mengajarkan kepadaku berpikir jernih.
Ketuhanan itu sifat. Tuhan itu subyek, maha subyek. Yang disembah oleh seluruh bangsa kita bukan hanya sifat Tuhan, tapi Tuhan itu sendiri.
KI JANGGAN
Ruwaaat! Pikiranmu berbahaya dan semakin sesat.
RUWAT SENGKOLO
Kita menyembah Tuhan, bukan ketuhanan. Bendera kita Merah Putih, bukan kemerahan dan keputihan….
Terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh.
Pak Jangkep entrance. Tertatih-tatih pakai tongkat.
PAK JANGKEP
Keputihan…. Keputihan…. Sembelit….
KI JANGGAN
Mohon maaf Pak Jangkep, saya merasa salah telah menjadikan Ruwat seperti anak yang salah didik.
PAK JANGKEP
Salah asuhan. Saya juga salah dalam mengasuh anak saya ini.
KI JANGGAN
Saya tidak pernah mengajarkan semua yang dia omongkan tadi.
PAK JANGKEP
Kalau mikirmu seperti itu, lama-lama kamu bisa jadi Teroris, Ruwat.
RUWAT SENGKOLO
Guru pernah mengajarkan bahwa pikiran kita memerlukan terror, supaya dinamis dan kreatif
PAK JANGKEP
Maksudku bukan terror pikiran, tapi terror…. Yaaa terornya teroris itu lho!
KI JANGGAN
Pak Jangkep bapakmu ini was-was, Ruwat, jangan sampai kamu melanggar hukum. Negara kita ini Negara Supremasi Hukum.
RUWAT SENGKOLO
Ampun Guru. Hukum itu mutlak penting, tapi letaknya paling bawah. Kalau kita tidak menolong orang yang menderita, tidak dipersalahkan oleh hukum. Koruptor harus dihukum, tetapi kalau petugas hukum tidak menghukum koruptor, atau pura-pura tidak tahu bahwa atasannya terlibat tipikor, petugas itu tidak dihukum oleh hukum.
PAK JANGKEP
Kamu ini sekolah kebatinan kok ngomong hukum.
KI JANGGAN
Kamu ini sedang menuduh ada petinggi yang korupsi tapi bebas hukuman, begitu?
RUWAT SENGKOLO
Bukan, Guru. Yang saya bicarakan ini soal supremasi. Yang berpikir Supremasi Hukum itu petugas Negara. Kalau rakyat dan wakil-wakilnya berpikir supremasi keadilan. Kalau masyarakat dan guru-guru bangsa berpikir supremasi moral. Atau kalau bangsa dan negara kita mau dewasa, ya semua warganegara berpikir 3 supremasi itu sekaligus. Soalnya, hukum itu cuma salah satu anaknya keadilan saja. Anak lainnya masih banyak.
PAK JANGKEP
Oalah Ruwaaat Ruwat…. Kamu ini penganggur, makan saja sering masih minta-minta, kok sempat-sempatnya mikir hukum….
KI JANGGAN
Justru karena ndak punya kerjaan maka murid saya ini pikirannya ngomyang ke mana-mana, Pak Jangkep.
RUWAT SENGKOLO
Bahkan, seharusnya, Jaksa jangan hanya pandai mencari kesalahan: Jaksa juga harus pinter mencari kebenaran.
PAK JANGKEP
….Jaksa kok disuruh cari kebenaran. Terus isi tuntutannya apa….
KI JANGGAN
Mungkin maksudnya Ruwat, Jaksa ke Pengadilan tidak hanya menyeret terdakwa kejahatan, tapi bisa juga terdakwa kebaikan. Kalau terbukti jahat, Hakim menghukum. Kalau terbukti baik, Hakim memerintahkan kepada pemerintah agar memberinya hadiah.
RUWAT SENGKOLO
Aslinya memang begitu. Hakim di Pengadilan, modal utamanya bukan pasal-pasal hukum, melainkan rasa keadilan dan keteguhan moral. Sangat mungkin manusia melakukan kesalahan yang belum ada pasal hukumnya. Buah catur saja yang jumlahnya hanya 32, punya 114 juta kemungkinan langkah. Lha kalau buah caturnya sebanyak penduduk Indonesia, 235 juta, berapa trilyun probabilitas pelanggaran hukumnya? Maka Hakim harus selalu siap menciptakan pasal-pasal baru berdasarkan kejujuran nuraninya, rasa keadilan dan keteguhan moralnya.
GASPOL
Ini Negara Supremasi Hukum. Jangan ditambah-tambah dengan supremasi-supremasi macam-macam lainnya. Hukum thok saja sudah repot!
Saya anggap, semua yang di luar Supremasi Hukum adalah pelanggaran hukum.
Dan saya akan bertindak tegas.
Hukum itu tidak pandang bulu, hukum itu buta kulit, buta warna, bahkan kalau perlu buta huruf….
Tidak perduli apakah Syiah, Si-B, Si-C, Silalahi, Sikeas — kalau diduga melanggar hukum, akan saya panggil, saya periksa….
Siapa kere-kere ini? Ati-ati. Jaga kelakuannya. Nanti saya sortir siapa yang cocok dituduh sebagai teroris di antara kalian….