Empat “Iblis”
Ternyata untuk menyatakan cinta kepada hambaNya, Allah SWT itu juga lebih suka mengajak “berteater” dengan “acting” seni tingkat tinggi, yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang sudah menyatu denganNya. Misalnya saja, ketika teman-teman SMS saya untuk segera hadir di acara Gambang Safaat (GS) tanggal 25 September 2012 ini, saya sudah bertekad bulat akan mohon ijin untuk tidak hadir. Bukan apa-apa hanya karena leher saya ini “tengeng” (Jw) hingga untuk menengok sakit sekali. Rencananya pagi harinya, Rabu, saya akan pergi ke tukang pijat urat syaraf agar rasa sakit ini tidak terbawa ke tanah suci pada hari Sabtu berikutnya.
Kata orang angin malam akan menambah parah sakit leher tersebut, dan saya sangat paham bahwa acara maiyah-an itu sering “overdosis” sampai tujuh jam lamanya. Namun ketika teman-teman GS mengatakan bahwa Cak Nun, Mas Sabrang, Pak Mustofa, Kiai Tohar, Kiai Budi, bahkan rekan-rekan Bangbang Wetan seperti Cak Priyo, Haris, Rudd Blora, dst akan hadir ke acara ini, saya jadi merasa malu, masak hanya sakit leher saja jadi cengeng. Bandingkan teman-teman tersebut yang harus naik kendaraan umum dari Yogya dan Surabaya, toh tetap setia menghadiri acara maiyah-an ini.
Untuk menunjukkan bahwa saya sedang sakit, saya sengaja membaluti tubuh ini dengan balsam yang menyengat — yakni obat yang saya benci baunya sejak kecil, tujuannya agar tercium oleh Cak Nun, karena saya malu mengatakan sakitnya. Dengan cara ini saya berharap didoakan diam-diam oleh beliau. Entah beliau tanggap ing sasmita atau tidak, kenyataannya, menjelang acara naik ke panggung, mendadak rasa sakit yang sudah saya idap dua hari yang lalu itu hilang seketika! Ajaib!
Bahkan sampai pulang ke rumah meski belum sempat tidur, tapi badan ini tetap segar dan dengan semangat 45, langsung mengetik esai ini. Padahal sepanjang pagi hingga siang sebelum acara GS, saya mengajar penuh, menghadiri pelantikan Kepala BKKBN Provinsi Jawa Tengah, dan Rabu pagi ini menjadi pimpinan sidang membuat Grand Design pembangunan kependudukan Jawa Tengah atas SK Gubernur. Benar-benar Allah SWT mengajak “gojegan” (Jw) lagi dengan saya!
Kejutan lain dari Allah adalah, biasanya acara GS ini hanya saya, Pak Ilyas, Pak Anis dan Om Budi yang menggawangi, kali ini yang jadi pengantar diskusi komplit seperti yang saya tulis tersebut. Ternyata Allah SWT masih ingin bermesraan lagi dengan para jamaah, sambil untuk menunjukkan kembali rasa cinta pada hambaNya, dengan jalan mengirim sekaligus empat “utusan” sebagai penanya untuk memantik diskusi GS.
Yang menarik, pertanyaan keempatnya bernada sama, yakni kecemasan anak muda yang sedang mencari Tuhannya. Penanya pertama datang dari IAIN Walisongo. Orang akan menyangka pertanyaan ini tentu seputar syariah atau masalah Fiqh karena ia adalah mahasiswa yang setiap hari memeluk Al Qur’an. Kita pasti akan menyangka bahwa ia adalah mahasiswa fanatik. Tapi ternyata dugaan itu keliru! Justru ia adalah sosok yang sedang galau — pinjam istilah anak muda sekarang — dengan kebenaran Qur’an, bahkan ragu-ragu terhadap keberadaan Tuhan.
Serunya lagi, penanya kedua sampai keempat juga sama nada pertanyaannya, yakni meragukan keberadaan Tuhan, kuasa Tuhan, janji-janji Tuhan, termasuk tidak percaya kalau Qur’an itu kalamNya. Ibarat pertandingan tinju, para narasumber — terutama Cak Nun — menghadapi petinju kelas berat, setidaknya dari bobot pertanyaannya.
Dari sinilah Allah akhirnya jadi lebih dalam mengajak bermain teater. Cak Nun saya lirik meski kelihatan tenang, tapi saya yakin beliau akan “terpancing” untuk meladeni pertanyaan kelas berat ini dengan berapi-api — kalau tidak boleh dikatakan “emosi”. Benar, dari pertanyaan pemantik diskusi ini mengalir ulasan yang sarat dengan masalah-masalah ketuhanan atau diskusi yang bersifat filosofis-teologis. Barangkali ini sebuah bahan kuliah yang belum tentu hadir di tingkat S3 di IAIN sekalipun.
Dengan kata lain, pertemuan GS ini jadi istimewa karena terjadi diskusi panjang tentang pencarian Tuhan. Karenanya, saya mengucapkan banyak terima kasih — dan juga jamaah lainnya, karena berkat pertanyaan gila ini dialog dan diskusi menjadi menarik. Terus terang saya pun ketika masih seusia mereka, nampaknya tidak sanggup dan tidak berani menanyakan masalah itu, bahkan barangkali kecerdasan saya juga belum sejauh itu.
Karenanya saya menyebut mereka sebagai “iblis”. Bukankah iblis itu diciptakan Tuhan untuk berdialektika dengan manusia — kalau tidak boleh dikatakan menggoda — agar manusia dapat naik kelas kualitas keimanan dan keberagamaannya? Untuk itu, iblis “rela” diberi cap makhluk jahat oleh manusia.
Nah keempat penanya tadi dalam padangan saya, juga sedang berperan sebagai “iblis”. Sederhana saja, yakni karena mereka bersedia “berkorban” untuk dicap gila, bahkan atheis, gara-gara melontarkan pertanyaan tentang keberadaan Tuhan dan kebenaran Al Qur’an tersebut. Akibatnya, berkat “pengorbanan” mereka itulah jamaah yang lainnya mendapatkan ilmu dahsyat dengan cara yang unik, yakni Allah menciptakan skenario teater Agung ini.
Bayangkan saja jika keempat penanya itu masing-masing mengajukan pertanyaan, misalnya: 1). Yang saya hormati Cak Nun, mohon ijin untuk bertanya, bagaimana pandangan panjenengan kalau wanita pakai cuttex di kukunya, jika ia berwudlu, apakah sah wudlunya? Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya 2). Jika pada hari raya Natal, apakah umat Islam boleh mengucapkan selamat Natal? 3), Bagaimana hukumnya sholat di pesawat ruang angkasa? dan 4). Mohon maaf, kalau boleh tahu, jika Cak Nun sholat subuh pakai qunut atau tidak?
Apa jadinya acara GS jika pertanyaan seperti itu? Tentu saja, dialog menjadi tidak menarik, bahkan mungkin saja ada jamaah yang marah, misalnya ada yang berkomentar: wong wis mahasiswa kok Islame isih “play group” terus, atau bahkan ada yang ekstrem mengumpat: asu tenan, takon kok rak mutu babar blas koyo ngono, dst.
Permainan teater ini menunjukkan betapa cinta Dia kepada kita, dan Allah maha pengajar bagi mereka yang belum tahu. Dengan model teateran ini mestinya empat penanya tersebut, bahkan jamaah lainnya jadi ngeh bahwa beginilah kekuasaan Allah ditunjukkan, sekaligus sembari menjawab keraguan mereka tentang keberadaan dan kasih sayangNya.
“Reformasi” Pengajaran Agama?
Munculnya pertanyaan seperti yang saya sebut di atas boleh jadi memang karena kekritisan mereka sudah lebih baik, misalnya berkat informasi yang semakin terbuka, bisa juga karena pengaruh pihak lain, namun bisa juga karena kesalahan para pemuka agama, ustadz, kiai atau apapun namanya dalam memperkenalkan Islam. Mereka sangat malas mencontoh Rasulullah yang mengenalkan Allah dan Islam kepada umatnya dengan cara penuh kasih dan keteladanan yang konkret.
Sekarang bandingkan dengan pengajaran agama kita sejak SD hingga perguruan tinggi, maka nampak jelas betapa agama hanya diajarkan secara syariat fiqh belaka, mulai dari pelajaran tentang rukun Islam, rukun Iman, tata cara ibadah formal, sampai masalah halal-haram, dst. Bukan berarti pelajaran ini tidak perlu, namun agama jangan diajarkan monoton. Belum lagi jika yang mengajar memiliki mashab tertentu, maka makin bingunglah anak.
Harus diakui banyak para pemuka agama yang salah dalam mengajarkan agama kepada anak didiknya. Pelajaran agama (religiusitas) dan pelajaran “tentang agama”, tidak dapat dibedakannya. Pengajaran-pengajaran tentang agama hanya berhenti pada tataran ritual-formal, tanpa bisa membangkitkan kesadaran religius sang anak didik. Akibatnya sering ditemui ironi-ironi, seorang pemuka agama yang mengajarkan bahwa “kebersihan itu sebagian dari iman”, misalnya, namun dalam tataran prakteknya, lingkungan tempat ia tinggal sangat kotor, bahkan tempat ibadah umum yang ia kelola baunya pesing, sampah berserakan, dan sebagainya.
Sebagai sosok yang mengajarkan agama dengan intens. Kegagalan para pemuka agama menanamkan religiusitas (dan bukan pengajaran tentang agama), berbuah ironis. Indonesia yang mengaku bangsa yang Pancasilais, namun kenyataannya juga banyak merusak lingkungan. Korupsi, ketidakdisiplinan, ketidaktertiban dan perusakan lingkungan banyak terjadi di negeri ini. Gunnar Myrdall menyebutnya sebagai bangsa yang lembek (soft state). Fakta inilah yang menyebabkan penanya pertama ”trauma” terhadap orang Islam, dan sialnya ia samakan dengan Islam.
Ini tantangan bagi para agamawan. Mestinya pendekatan para pemuka agama dalam mengajarkan agama juga dibarengi dengan pendekatan kultural. Selama ini yang terjadi keasyikan mengajarkan ritual-ritual agama. Sejak dini anak-anak di TK, keluarga, pondok pesantren, TPQ, dst, diajarkan hal-hal yang konkret tentang kedisiplinan, ketertiban, kebersihan, keindahan, kreativitas,gotong royong, saling menghargai, dst, baru kemudian diterangkan dasar-dasar ayatNya.
Keasyikan mengajarkan ritual dan dalil-dalil membawa anak-anak menjadi hanya sekadar tahu “tentang agama”. Akibatnya ketika ia sudah dewasa tidak bisa membumikan nilai-nilai agama itu. Ini ironis. Yang terjadi adalah fanatisme kepada ajaran agama, dan bukan fanatisme menjalankan dan membumikan nilai-nilai agama. Padahal suku-suku primitif yang tidak tersentuh agama-agama besar, demikian taat menjalankan aturan adat karena ia diajarkan sejak awal apa artinya merawat alam semesta ini.
Banyak ustadz atau kiai yang mengenalkan Tuhan kepada anak didiknya dengan cara yang tidak benar. Allah SWT digambarkan sosok yang kejam, suka menghukum, dan ancaman-ancaman neraka lainnya. Awas lho kalau melanggar hukum Allah, maka akan diseterika punggungmu di neraka kelak. Ini bukan kata saya lho, tapi kata Allah di Qur`an, demikian khotbah yang sering kita dengar. Bukan hal ini tidak penting, namun ini adalah soal pendekatan yang pas.
Banyak pemuka agama yang hebat ilmu agamanya, namun minim pengalaman spiritualitasnya atau minim pengetahuan umum lainnya. Sebaliknya banyak ilmuwan-saintis yang hebat pengetahuan keilmuannya, namun minim pengalaman spiritualitas dan pengetahuan tentang agama.
Padahal kunci penting keberagamaan adalah “kesalehan sosial”. Istilah ini merujuk kepada peminggiran “egoisme” para agamawan untuk “masuk surga sendirian”. Ia tidak hanya sibuk berzikir dan menjalankan ritual agama, mengurung diri di tempat ibadah, namun bersedia turun memeriksa denyut nadi masyarakat di sekitarnya. Ia tidak terjebak bahwa ritual agama adalah “tiket” ke surga, namun ia sadar bahwa sebenarnya agama diturunkan untuk kebaikan di dunia, dan perkara surga itu “hanya risiko” dari amal manusia di dunia.
Dalam term yang lebih luas, mestinya kesalehan pribadi itu harus diimbangi dengan kesalehan sosial dan kesalehan profesional. Inilah yang disebut kesalehan kaffah. Sudah saatnya pemuka-pemuka agama kultural, menggerakkan umatnya untuk menjalani kehidupan di dunia ini melalui kesadaran beragama yang telah ia ajarkan secara formal.
Alhamdulillah, acara GS kali ini menunjukkan bahwa model maiyah-an seperti ini adalah bentuk yang paling sesuai untuk mencerahkan semua pihak, karena dalam acara ini tidak ada guru dan murid, tidak ada kiai dan umat, dst, namun yang ada hanyalah mitra dialog sejajar yang sama-sama mencari Allah dan Rasulullah.
Buktinya, meski keempat penanya tadi bukan orang ahli agama, bahkan ragu tentang Islam, toh Allah “mengangkat” mereka menjadi pemantik yang melahirkan “ilmu dan pemahaman” dahsyat tentang Tuhan dan Ketuhanan.