Beragama tapi “Atheis”
Beberapa Jamaah Maiyah Gambang Syafaat bertanya kepada saya, “Mas mengapa orang-orang yang pengetahuan dan praktek beragamanya sudah tinggi namun masih juga korupsi?” Saya cukup kaget mendengar pertanyaan tak terduga itu, apalagi teman-teman juga menunjuk bahwa tersangka koruptor wanita kini juga gemar pakai jilbab. Teman-teman ini tidak mau menunjuk nama para koruptor yang kini disorot media tersebut, namun mereka bilang bahwa para koruptor itu juga ada yang pernah nyantri (jadi “mantan” santri, batin saya), ada yang pernah jadi ketua kelompok perkumpulan organisasi Islam, mereka juga banyak memiliki nama yang juga sangat “Islami”, rajin umroh, rajin berkhotbah, dahinya hitam tanda lebih lama bersujud, bahkan ketika masih menjadi mahasiswa/ketika nyantri merupakan orang yang paling keras berteriak soal korupsi. Namun ketika kini masuk lingkaran kekuasaan, mereka ternyata juga orang yang paling kuat menginjak amanah rakyat dan rajin mencuri dan merampok kekayaan negara. Fenomena apa ini?
Atas pertanyaan “berat” tersebut, saya juga mengeluh, apa salah dan dosa saya hingga harus menerima pertanyaan seperti ini, apalagi saya juga dituntut mampu memberikan jawaban kepada mereka. Tak tahukah mereka bahwa saya ketika mau diajak menemani para jamaah juga hanya karena “kebetulan” saja? Namun bagaimanapun juga saya harus menjawab. Jawab saya yang masih awam pengetahuan agamanya hanya sederhana: mereka (para koruptor) baru sebatas menjalankan syariat agama. Mesti dipahami, beragama saja tidak menjamin akan dapat membersihkan jiwa. Syariat agama seperti sholat, puasa, zakat, haji, dst, baru sebatas “metoda” dan bukan tujuan. Sialnya orang sudah merasa beragama dan merasa mendapat tiket surga jika ia sudah melaksanakan “metoda” tersebut. Meski tetangganya kiri kanan kelaparan, ia masih asyik rajin ber-umroh dan mendirikan masjid di berbagai tempat. Tentu bukan berarti menjalankan umroh atau mendirikan masjid tidak penting, namun ia harus sampai kepada tataran adil dan proporsional.
Orang beragama yang masih korup, berarti ia belum tauhid. Tauhid bukan berarti meng-Esa-kan Tuhan, namun sebuah upaya untuk menggerakkan diri menggabung ke Tuhan. Kalau ia belum mampu menggabungkan diri ke Tuhan, maka ketika ia berwudlu — misalnya — maka ia juga belum sadar bahwa wudlu itu mestinya tidak saja berarti membersihkan kotoran badan, namun juga harus sampai membersihkan kotoran jiwa. Dalam sholat, umat muslim (apalagi pejabat negara) sudah berjanji: “Sholatku, hidup matiku, ibadahku, dst… hanya untuk Allah semata”. Ketika membaca Al Fatehah dalam sholat, ia juga selalu memohon: “Ya Allah tunjukkan aku ke jalan yang lurus (menegakkan)”, dan permohonan ini dilakukan setidaknya 17 kali setiap hari. Kalau anda menjamu seorang tamu dan ia meminta segelas air, dan anda memberinya, tapi tak dimunum sampai 17 gelas, bahkan lebih, maka kira-kira bagaimana sikap anda terhadap tamu itu? Anda pasti akan mengumpat, orang ini gila. Meminta minum, sudah diberi 17 gelas masih juga tidak diminum dan (lebih gila lagi) ia masih meminta terus. Lalu kira-kira bagaimana sikap Allah ketika umat-Nya dalam sholat minta ditunjukkan jalan yang lurus tapi tetap saja korupsi (misalnya)?
Bukankah dalam sholat kita juga bersumpah tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah? Boleh dan logiskah kita yang mengakui adanya Allah namun menyakiti ciptaan-Nya (memakan harta rakyat, merusak hutan dan tambang, dst)? Bukankah dalam sholat kita juga berjanji akan saling menyelamatkan untuk mengubah “rahmatullah” menjadi “barokah”? Orang juga mesti paham bahwa rahmat Allah akan ditumpahkan kepada siapa saja termasuk para koruptor, namun barokah hanya milik orang yang memiliki “piring dan cangkir” yang bersih. Dengan kata lain, baru mengamalkan satu kalimat seperti: syahadat, assalamualaikum, alhamdulillah, bismillah, dst saja kita tidak mampu, apalagi mengamalkan sebagian besar isi Al-Quran.
Karenanya jika selesai sholat kita korupsi atau menyakiti tetangga, apakah ini berarti kita telah mendirikan sholat? Jawabnya jelas tidak. Dari konstruksi inilah menjadi jelas bahwa mengapa Indonesia yang hampir 96 % penduduknya memeluk Islam, dan bahkan 100 % pejabatnya pernah pergi haji, ternyata juga tetap menjadi negeri paling korup di dunia, dan sebaliknya Swedia dan negara-negara Skandinavia lainnya — meski tidak beragama Islam — namun dicap sebagai negara paling bersih di dunia. Padahal Islam mengajarkan kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang, moral, akhlak, dan sebagainya, namun sayang tidak dapat diamalkan oleh umatnya. Kalau baru tingkatan akhlak saja belum sampai, bagaimana kita mau sampai kepada tingkatan taqwa?
Demikian pula ketika seorang pejabat negara yang ketika berhaji melontar jumroh — misalnya. Ia mestinya juga sadar bahwa ia tidak sekadar melempar tugu sebagai benda yang mati, namun harus sadar bahwa ia sedang melempari syetan. Karenanya ketika kembali ke tanah air dan ke kantornya, ia juga tetap harus melempari syetan yang mengajaknya korupsi. Artinya harus mampu menolak segala kebatilan dan kejahatan yang menjauhkan dirinya dari Allah dan Rasulullah. Seorang pejabat yang sangat rajin sholat, tentu harus ingat bahwa ketika sujud, ia merendahkan mukanya, dan justru pantatnya yang lebih tinggi dibanding mukanya. Padahal muka adalah lambang kemartabatan. Namun toh ia masih memuji Allah yang maha tinggi. Tentu jika ia mengamalkan sujud tersebut dalam keseharian, ia akan malu jika martabatnya tercoreng karena korupsi.
Orang beragama yang sudah sampai kepada Allah, pasti akan menggerakkan seluruh ibadah “mahdhoh-nya” untuk menuju kesadaran sejati mengabdi kepada Allah. Setelah sholat misalnya, ia akan menyiapkan segala indranya untuk Allah. Melalui Rasulullah, Allah telah bersabda: “Ketika AKU mencintai seorang hamba, Aku Tuhan adalah telinganya sehingga dia mendengar dengan AKU, aku adalah matanya sehingga ketika melihat dengan AKU, dan aku adalah lidahnya sehingga dia berbicara dengan AKU, dan AKU adalah tangannya sehingga dia mengambil dengan AKU”.
Kalau seseorang telah mampu “menggabungkan” diri ke Allah (tauhid), maka ia juga akan dapat memantulkan 99 nama Allah itu dalam perilaku kehidupannya. Seorang pejabat negara yang sudah sampai taraf ini, ia akan lebih mudah mengamalkan sifat Allah, misalnya al-Adl, yakni adil dalam setiap tindakan. Keadilan adalah titik sentral dari “lingkaran asma Allah”. Kalau dia adil, pasti dia juga akan rahman dan rahim, cinta yang meluas sekaligus mendalam. Tidak mungkin tanpa rahman dan rahim ia akan mampu berbuat adil. Apalagi jika sudah sampai al-mukmin, maka ia harus menjadi indikator utama, bahwa kalau ada dia (sang pejabat itu), maka rakyat akan aman hartanya, jiwanya, dan martabatnya.
Kita juga tidak dapat menyalahkan seratus persen para pejabat yang korup. Semua tentu ada akar masalahnya. Kalau pencurian yang dilakukan rakyat kecil barangkali disebabkan kemiskinan, dan ini berarti ada struktur yang tidak seimbang, maka barangkali, para pejabat yang suka mencuri juga adalah “korban” dari sistem dunia yang cenderung tidak adil dan menghisap. Untuk menjadi pejabat (misalnya) harus disponsori kapitalis (asing), karena biaya politik amat mahal. Ini berarti ada semacam dosa-dosa yang struktural sifatnya. Hanya masalahnya, mengapa para pejabat sebelumnya begitu percaya diri mengaku siap memimpin?
Mestinya setiap hari ia akan “lari” kembali “menggabung” ke Allah jika ia terbentur tembok yang mengajak menjauhkan dari-Nya. Ia harus selalu peka mengasah “radar” jiwa dan batinnya, dan ibadah mahdhoh yang saya sebut tadi sebenarnya adalah metode yang ampuh untuk mengasah “radar” kepekaan tersebut. Ia harus rajin ber-iqra, dan rajin memaksa diri kembali kepada jati dirinya, yakni manusia yang fitri.
Kalau ia sudah beragama, namun masih korup dan berbuat kebatilan, maka ia belum kembali kepada kefitrian dan belum kembali ke rumah Allah. Islam adalah agama dunia sekaligus akherat, dan ini tidak dapat dipisahkan antara tauhid vertikal dan horizontal. Tidak bisa Allah diajak kalkulasi, kita korupsi 10 ribu, jika yang 5 ribu kita sumbangkan ke masjid maka dosa kita terhapus. Karena Islam adalah agama dunia-akherat, maka tidak ada keterpisahan. Dengan kata lain, yang ideal adalah menjalankan segala tugas duniawi (jadi guru, dosen, budayawan, tukang nggamel, pemusik, penyanyi, pejabat, bupati, gubernur, presiden, blantik sapi, tukang ojeg, pengamen, dst) untuk diarahkan selalu ke rumah Allah.
Kata Al Ghazali: “Menjadi sufi itu tidak menolak dunia ini, mereka juga tidak memandang bahwa nafsu duniawi harus dimatikan. Mereka hanya ingin mendisiplinkan keinginan-keinginan yang tidak berkesesuaian dengan kehidupan agama dan perintah suara akal. Mereka tidak melemparkan semua hal itu di dunia ini, mereka juga tidak mengikutinya dengan balas dendam. Lebih dari itu, mereka tahu nilai yang benar dan fungsi segala sesuatu di atas bumi. Mereka menyimpan sebanyak apa yang menjadi kebutuhan. Mereka makan sebanyak yang mereka butuhkan untuk tetap sehat (dan ini berarti adil terhadap dirinya sendiri). Mereka memelihara tubuh mereka dan secara simultan membebaskan hati mereka. Tuhan menjadi titik fokus yang kepadanya seluruh hidupnya terarahkan. Tuhan menjadi obyek pujaan dan perenungan mereka.”
Seorang sufi tengah berdoa dengan tenang. Seorang pedagang yang kebetulan juga memegang jabatan menghampirinya dan menawarkan satu tas berisi dinar emas kepada sufi tersebut. “Sebentar”, kata sang sufi. “Apakah uang ini sah? Apakah kamu masih memiliki lagi uang seperti ini di rumahmu?”. Jawab si pedagang “Tentu saja punya karena saya kaya raya!”. Lalu sang sufi bertanya: “Apakah kau masih mau mencari uang dan harta lagi yang lebih banyak? “Tentu saja, saya akan bekerja lebih keras untuk mencari ribuan keping emas lagi”. Mendengar jawaban itu sang sufi berkata: “Kalau begitu, orang kaya tidak boleh menerima uang dari si miskin. Aku kaya dan kamu masih miskin”. Kaget si pedagang mendengar kata sang sufi, lalu ia bertanya: “Bagaimana engkau menyebut aku si miskin sedangkan uangku segunung di rumah?”
Sang sufi menjawab “Saya adalah orang yang kaya karena aku selalu puas terhadap apa yang Tuhan berikan kepadaku. Engkau masih miskin sebab meski Tuhan telah memberikan uang segunung tingginya, engkau tidak puas dan terus mencarinya”.
Dengan kata lain, orang-orang yang beragama tetapi masih korup adalah orang sebenarnya masih percaya adanya Tuhan, namun ia tidak percaya atau setidaknya melupakan akan janji-janji Tuhan, sifat-sifat Tuhan, keagungan Tuhan, dst. Karenanya ketika disumpah di pengadilan (misalnya), bahkan di bawah kitab suci dan menyebut “demi Allah”, dia tetap berbohong, dan pulang dengan kepala tegak, senyum lebar, melambaikan tangan kepada para wartawan yang mewawancarainya ketika pulang bersaksi di pengadilan, dan esoknya berangkat Umroh!