Beragama Di Kala Duka
Kalau tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri Anda, kemudian orang tersebut minta dibelikan baju, sepatu, atau bahkan kendaraan, bagaimana kira-kira tanggapan Anda? Padahal orang itu hanya Anda kenal di jalan, atau paling kalau berpapasan hanya saling mengangguk tanpa tegur sapa yang panjang, apalagi bincang-bincang penuh kemesraan? Selanjutnya jika Anda bersahabat dengan seseorang, dan orang itu tiap hari senantiasa menunjukkan kehangatan cinta kepada Anda, berbincang ria dalam suka dan duka, dan tiba-tiba orang itu mengalami kesulitan, kira-kira apa yang akan Anda lakukan terhadap orang itu, meski dia tidak mengungkapkannya langsung kepada Anda?
Kalau Anda orang normal pasti tanpa disuruh pun akan membantunya, bahkan mungkin lebih dari yang ia butuhkan. Mengapa? Jawabnya sederhana, yakni karena ada hubungan cinta yang mesra. Demikian juga jika ini menyangkut Allah. Bagaimana mungkin Allah akan mengabulkan atau setidaknya memberkahi kita kalau kita tidak rajin menyapa-Nya? Jarang bertemu dengan-Nya? Tidak pernah menempatkan-Nya di hati kita setiap saat? Benar dan pasti Allah memang maha rahman, yakni mencintai umat manusia dan segala ciptaan-Nya. Namun kali ini kita sedang berbicara soal dialektika cinta dengan-Nya. Cinta Allah memang meluas (rahman), namun juga mesti diingat, bahwa Ia akan memberi barokah hanya kepada orang-orang yang memang sudah menyiapkan hati dan jiwanya untuk tempat persemayaman-Nya. Hanya orang-orang yang rajin menyapa Allah saja yang akan menerima barokah ini. “Sialnya” kita selama ini hanya diajarkan untuk selalu “meminta” kepada-Nya, seakan Allah itu hanya sesosok “sinterklas”. Padahal Allah sangat ingin bermesraan dengan kita dan Ia juga sangat ingin manusia bermanja-manjaan dengan-Nya.
Mengapa hal ini saya tanyakan? Sederhana saja, dalam kehidupan keseharian, kita perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah kita selama ini sudah “menjalin” cinta yang “mesra” dengan Allah SWT? Fenomena menjelang ujian nasional (misalnya) menunjukkan, bahwa dunia pendidikan juga alpa membentuk pondasi kemesraan dengan Allah sebagai pendamping hidup dan sistem nilai untuk “mengoperasikan” ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Menjelang ujian nasional terlihat banyak sekolah yang menyelenggarakan “istighosah” massal yang melibatkan seluruh siswa peserta ujian nasional, guru, bahkan orangtua siswa. Umumnya istighosah diselenggarakan pada malam hari, mengundang “kiai khos” atau ulama yang dianggap “sakti” untuk memimpin dan “menodong” Allah lewat acara tersebut. Siswa, guru, dan semua orang tua siswa, larut dalam “rengekan cengeng” yang dikemas secara “religius”, dengan jalan berdoa massal yang disertai tangisan sesenggukan. Di tingkat nasional juga setali tiga uang, istilah dzikir akbar atau doa nasional, dst sering diselenggarakan. Bahkan yang hadir seluruh jajaran pimpinan nasional, ulama khos, masyarakat dan tamu undangan. Mereka terlihat sangat “religius” dengan baju dan peci putih, seakan manusia yang suci. Dari kejauhan Jibril dan para malaikat (barangkali) hanya geleng-geleng saja dan bergumam, “Ono-ono ae arek-arek iki. Nyenengke tenan urip neng Indonesia” (Ada-ada saja anak-anak ini. Menyenangkan hidup di Indonesia). Sementara dari kejauhan pula para setan dan iblis berucap singkat, “asuuu…” (mengingat kerja keras mereka dalam menjerumuskan manusia Indonesia malah berakhir pujian dari Jibril dkk).
Istighosah, zikir akbar, doa nasional, mujahadah, dst, terlepas apapun alasannya merupakan kegiatan yang sangat baik. Masalahnya dalam “kasus” istighosah menjelang ujian nasional, ada satu pertanyaan penting: apakah benar ujian nasional itu “meneror” sedemikian berat dan kelak akan berhubungan dengan pengadilan Allah, sehingga anak-anak harus diajari “bertobat” kemudian “menodong” Allah. Bukankah ujian — apapun namanya — hanya peristiwa biasa yang harus dialami para siswa. Ujian adalah tahapan untuk memahami apakah siswa sudah dapat mencapai standar kompetensi tertentu dalam menerima pelajaran.
Dalam sistem pendidikan kita banyak kerancuan terjadi. Pendidikan dipahami hanya sebatas peristiwa pengajaran, itu pun hanya yang paling dangkal. Guru masih bermental mengajar, sehingga jarang tampil sebagai fasilitator atau motivator, apalagi sebagai penggugah atau penantang yang membuat murid gelisah sehingga mereka tertantang untuk lebih rajin “iqro” agar kelak lebih dahsyat dari gurunya. Para guru lupa mengingatkan kepada muridnya bahwa Allah hanya akan meninggikan beberapa derajad orang yang berilmu pengetahuan. Sialnya yang dikejar murid dan dianjurkan oleh sistem pendidikan umumnya hanya untuk mencari sesobek ijazah dan bukan ilmu pengetahuan. Wajar Allah akhirnya tidak memberi derajad kepada mereka. Dengan kata lain, pendidikan hanya dimaknai sebatas mencari ijazah untuk bekal menjadi bagian yang sangat patuh di sekrup birokrasi atau kapitalisme, tanpa humanisme, apalagi religiusitas yang mendalam.
Akhirnya pendidikan banyak mereduksi kreativitas dan daya juang siswa karena dibatasi pagar-pagar birokrasi dan sistem ujian atau kurikulum yang justru malah melemahkan potensi unggul yang sebenarnya diberikan Allah (ahsan taqwim). Istighosah — sadar atau tidak — akhirnya hanya menunjukkan ada tawar menawar yang bersifat pragmatis belaka, dan bukan sebuah peristiwa religiusitas atau hubungan kemesraan antara Allah dan hamba-Nya.
Kalau tudingan saya ini benar, maka berarti hal ini adalah bagian kelemahan dari sistem pendidikan nasional. Dalam dunia persekolahan tidak diajarkan bagaimana murid mampu menemukan Tuhan, bahkan lewat pelajaran agama sekalipun. Pelajaran agama banyak yang diarahkan hanya kepada pemahaman hafalan fiqh, itu pun yang sangat dangkal, dan tidak diajarkan menemukan Allah, atau menanamkan cinta agar Allah menjadi tuan rumah di hati para murid. Pelajaran agama menjadi hanya pelajaran tentang agama, dan tidak lebih dari itu. Murid hanya dikenalkan hitungan untung rugi dalam beragama, pahala-dosa, surga-neraka, halal-haram, dst. Tentu saja saya sedang tidak mengatakan bahwa pelajaran itu tidak penting. Saya hanya ingin menandaskan bahwa jika materi pelajaran itu sudah mendominasi, maka pelajaran agama akan tidak banyak berarti untuk membentuk pribadi murid menjadi manusia yang ahsani taqwim, makhluk yang hanya mencintai dan meletakkan Allah dan Rasul-Nya di hati mereka. “Kasus” fenomena istighosah seakan menunjukkan bahwa murid hanya “dipertemukan” kepada Allah sekali setahun saja, yakni menjelang ujian nasional, itupun dalam hitungan untung rugi. Kita hanya menjadi pihak yang meminta saja tanpa memberi kepada Allah.
Ada satu kerancuan yang serius dalam dunia pendidikan, yakni seakan masalah “agama” atau “ketuhanan” hanya diserahkan kepada guru agama, sehingga guru mata pelajaran yang lain, seperti Fisika, Matematika, Kimia, dst, tidak berkewajiban “mengenalkan” Tuhan kepada para murid. Padahal melalui pelajaran Fisika misalnya, para guru sekaligus juga dapat menanamkan religiusitas dan rasa cinta kepada Allah. Ketika guru Fisika menerangkan sub pokok bahasan pelajaran tentang tata surya misalnya, guru juga dapat secara langsung menghubungkannya dengan kebesaran Allah, atau kalau itu di sekolah “Islam”, langsung dapat dikaitkan dengan ayat-ayat di Al Qur`an yang demikian komplit mengabarkan ilmu astronomi. Ini berarti mata pelajaran yang dianggap “sekuler” seperti Fisika, Kimia, Matematika, Biologi, dst dapat digunakan sebagai “media” untuk menanamkan rasa cinta siswa kepada Allah. Ini adalah salah satu cara yang paling mengena agar siswa mendapatkan pondasi ketuhanan yang kuat.
Mengapa hal ini saya tekankan? Sederhana saja, usia SD, SMP, dan SMA adalah usia yang paling “kritis” untuk “ditanami” religiusitas. Kehancuran dan kemunduran negeri ini bermuara dari kealpaan para pemimpin yang benar-benar menempatkan Allah dan Rasulullah di dalam hatinya. Para pemimpin, ilmuwan, birokrat, pedagang, pengusaha, dst, adalah pilar bangsa yang harus meletakkan Allah dan Rasul-Nya di dalam hatinya. Jika ini alpa, yang terjadi adalah malapetaka karena negara dan masyarakat tidak berada dalam jalur menuju jalan-Nya. Dalam Maiyah ada pandangan bahwa tujuan kita adalah ilaihi rojiun, semua kembali kepada-Nya melalui ibadah di dunia ini. Dus, ilmu yang diperoleh dari dunia pendidikan adalah “metoda” untuk beribadah agar kita menjadi khalifah yang rahmatan lil alamin.
Dengan demikian, anak usia remaja tersebut mesti menjadi bidang garapan yang serius untuk disiapkan menjadi pemimpin yang paham, tidak saja paham betul tentang negara, ilmu pengetahuan dan teknologi, namun juga paham dan tahu kepada “dari mana asalnya saya ini”, “untuk apa hidup ini”, “mau kemana setelah mati”, dst. Singkatnya, pelajaran di sekolah — apapun namanya — harus sanggup menanamkan tiga hal sekaligus: 1). Keterampilan hidup; 2). Nilai-nilai hidup dan pandangan hidup; 3). Religiusitas
Para murid mestinya selalu dibimbing dan diarahkan untuk tidak salah dalam menyikapi hidup ini dan jangan sampai keliru, agar mereka kelak tidak menciptakan tuhan baru dalam hidupnya. Jika kita mampu mendidik siswa dengan benar, maka Insya Allah “sekularisasi” bakal terhindar. Di Maiyah sudah berkali-kali diserukan bahwa yang disebut sekular bukan hanya orang yang mengurusi dunia melulu tanpa memperhatikan akhirat dan atau agama. Artinya: dunia ya dunia; kerja ya kerja; politik ya politik, jangan kita hubungkan dengan yang namanya agama. Agama itu bersifat privat antara kita dengan Tuhan.
Dalam Maiyah, yang dinamakan sikap sekular/sekularisme adalah tidak hanya sikap/pandangan hidup yang memisahkan antara dunia dengan agama saja tetapi sikap yang memisahkan antara agama dengan dunia juga merupakan sikap sekular. Jadi kalau ada orang yang kelihatannya alim, sholeh, bekerjanya ibadah saja tanpa memperhatikan dunia atau lingkungannya (yang selama ini kita anggap orang yang seperti itu bersikap religius), ternyata itu juga merupakan orang sekuler karena tuntunan agama memerintahkan kita harus seimbang antara dunia dengan akherat/agama. Antara meninggi dengan meluas. Antara vertikal dengan horizontal.
Untuk menggambarkan bahwa sejak dulu pemisahan antara iptek dan humaniora juga sudah terjadi, apalagi dengan Tuhan. Dahulu para praktisi bengkel seperti Graham Bell, James Watt, Edison, Wright bersaudara, dst, seolah mengejek sistem pendidikan di Inggris yang sangat elitis dan aristokratis, serta tidak membumi. Para praktisi bengkel tersebut yang mengubah dunia melalui Revolusi Industri. Hasil-hasil penemuan James Watt dkk tersebut langsung diterapkan dan menggerakkan roda industri hingga saat ini. Sementara para aristokrat di universitas-universitas bergengsi hanya ada di awang-awang dan sangat arogan dengan ilmu yang hanya berupa “kelangenan” itu (Lord CP. Snow, The Two Cultures and the Scientific Revolution, 1959). Para ilmuwan hanya asyik berdebat memamerkan keunggulan masing-masing antara ilmuwan sains dan ilmuwan humaniora.
Bagi Snow, tujuan pendidikan adalah: 1). Menghasilkan ilmuwan yang supra cumlaude sebanyak mungkin; 2). Melatih ilmuwan agar dapat membuat penelitian, membuat perencanaan, dan pengembangan; 3). Melatih ilmuwan dan ahli teknik lainnya; dan yang lebih penting 4). Melatih politikus (termasuk pemerintah), pegawai, dan seluruh lapisan masyarakat untuk memahami ilmu pengetahuan sehingga dapat memahami apa yang dikehendaki para ilmuwan.
Ilmu dan teknologi hanya know how atau keterampilan teknis, dan ini belum ada tujuan, baru sebuah potensi. Adalah amat membahayakan jika menyerahkan kekuasaan yang besar ini kepada yang tidak mengetahui cara menerapkannya. Know how adalah kalimat belum selesai dan belum merupakan sebuah kebudayaan. Sains tidak dapat melahirkan ide yang dapat digunakan untuk hidup. Demikian pula Koestler dalam Act of Creation, mengatakan bahwa “untuk memperoleh kenikmatan dari seni penemuan (ilmiah) sebagaimana seni lainnya, para konsumen — dalam hal ini (maha)siswa — harus dibuat menghayati kembali dalam batas tertentu, proses kreatif”.
Pernyataan ini belum cukup. Di Maiyah ada pernyataan bahwa kalau bangsa ini ingin kembali kepada “kejayaannya”, maka menggarap sistem pendidikan yang komplet sebagaimana cara pandang Maiyah tersebut di atas sangat penting artinya. Tentunya Vertikal dan Horisontal, Keatas dan Menyamping mempunyai berjuta makna tergantung siapa yang menafsirkannya. Untuk menemukan “aku sejati” dan “menemukan Tuhan” mau tidak mau harus menjadi kurikulum yang tak terpisahkan dengan pelajaran “sekuler” lainnya seperti ilmu pengetahuan dan teknologi.
Artinya kita ingat Tuhan tidak hanya pada saat “berduka”, namun Tuhan selalu ada di hati kita (sohibu baiti). Sudahkah dunia pendidikan merancang kurikulum komplet seperti ini? Jika tidak, kegagalan Revolusi Industri di atas akan semakin parah lagi dampaknya di masa mendatang, sebab Tuhan hilang dari “peredaran” dan tidak hadir dalam setiap perancangan dan perencanaan pembangunan (nasional maupun global).