Assalamu’alaikum Indonesia
Mestinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling makmur di seluruh jagad raya ini. Ini bukan sekadar pujian atau nyolu, namun fakta karena modal untuk menuju baldatun thoyibatun warabbun ghafur sudah sangat jelas. Modal pertama adalah kesungguhan para pejabat pengelola negeri ini yang sangat religius karena setiap langkah dan ucapan (pidato) mereka selalu disertai bacaan basmalah dan “salam” ucapan assalamu’alaikum. Lihat saja dalam setiap acara apapun di negeri ini, baik dari tingkat RT, RW, desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai tingkat negara, pasti disertai paling tidak tiga sampai empat sambutan, dan setiap membacakan sambutan, para pejabat kita selalu mengucapkan assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh dengan begitu takzimnya. Alangkah bahagianya rakyat memiliki pemimpin seperti ini.
Salam ini bukan sekadar salam biasa seperti selamat pagi atau selamat malam, namun salam yang berdimensi “religius” mendalam. Bayangkan dengan salam itu sang pejabat sudah bertekad bulat mengucap janji akan saling menyelamatkan agar rahmat dari Allah berubah jadi barokah. Apa itu rahmat Allah? Ya jelas kekayaan alam dan kekayaan sosial budaya bangsa ini. Dari sisi kekayaan alam, ayo sebut negara lain di dunia ini yang mampu menandingi Indonesia? Coba hitung panjang garis pantai negeri ini, dan apa saja isi di dalam lautan kita? Lebih dari separuh spesies dunia (biodiversity) ada di bumi pertiwi ini. Silakan sebut jenis tambang apa saja yang ada di dunia ini, lalu coba hitung berapa yang ada di perut bumi negeri kita? Sekadar contoh, Arab dan Brunei yang hanya punya tambang minyak saja mampu membuat mereka kaya raya, mestinya bumi pertiwi itu lebih kaya dari mereka karena jenis tambang kita tidak hanya minyak. Soal kekayaan budaya? Coba sebut jenis kebudayaan (seni) di satu kecamatan kita saja, maka kita akan menemukan: wayang, ketoprak, klenengan, laras madyo, cokekan, ludruk, jatilan, nini towok, tayub, keroncong, campur sari, dangdut koplo, band, rap, lengger, dst. Sekarang badingkan dengan satu negeri seperti Belanda atau Jerman misalnya, ada apa di ranah seni budaya mereka? Bandingkan jenis masakan dan minuman yang dapat diciptakan nenek moyang kita dan bandingkan pula dengan negara lain?
Soal kecerdasan estetis, silakan orang Arab, Amerika atau Eropa (apalagi Jepang dan Korea yang cedal), cobalah disuruh nembang Dhandhanggulo. Apalagi disuruh menarikan Bedoyo Ketawang, tarian Kraton Surakarta yang sangat lembut yang berdurasi berjam-jam itu. Sebaliknya dilatih sebentar saja, hampir semua orang Indonesia akan sangat fasih menyanyi jazz, rock, blues, qiroah, menari ballet, dst. Ayo orang Amerika sanggup main kuda lumping atau jathilan?
Soal bahasa, di satu kecamatan di Papua saja misalnya, di situ akan dijumpai belasan jenisnya. Di Jawa juga lebih hebat lagi karena betapa kayanya kosa kata Jawa. Soal ukuran fisik bangsa ini? Kita juga pantas bersyukur karena Allah menciptakan kita “yang sedang-sedang saja”. Tinggi badan rata-rata orang Indonesia sedang-sedang saja, tidak terlalu tinggi seperti bangsa Eropa, namun juga tidak terlalu pendek seperti bangsa Nepal atau Tibet. Kulitnya juga tengah-tengah, tidak hitam legam seperti Afrika, namun juga tidak putih “nglenyih” (Bahasa Jawa) seperti orang Korea, Cina atau Jepang. Rambut bangsa kita juga tidak keriting semua seperti Afrika, atau lurus semua seperti Cina atau Jepang, namun beragam, ada yang berombak rapi, ada yang keriting, ada pula yang lurus.
Lalu soal kenyamanan hidup? Suhu udara negeri ini juga tengah-tengah. Tidak ekstrem dingin di bawah nol derajat celcius seperti di negara-negara Skandinavia, namun juga tidak panas menyengat seperti musim panasnya di Arab Saudi yang kadang sampai 45 derajat celcius. Di negeri ini tidak ada bencana ekstrem seperti badai Katrina atau hujan salju seperti di Amerika. Tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu, kata Yon Koeswoyo.
Singkatnya, mana ada negara di dunia ini yang ditumpahi rahmat yang bertubi-tubi seperti Indonesia? Tidak ada! Rahmat adalah kasih sayang Allah yang meluas, yang diberikan kepada siapa saja, tidak saja kepada orang yang taat kepada-Nya hingga dahinya hitam karena rajin sujud, namun Allah juga melimpahkannya kepada para koruptor, maling, bandit, copet, mucikari, ciblek dst. Artinya Allah “tidak pandang bulu” dalam menaburkan rahmat-Nya. Namun soal “barokah” adalah soal lain, karena barokah hanya diberikan Allah kepada orang yang siap menyediakan dan memiliki “piring-cangkir” yang bersih, yang nantinya akan dijamin “kesehatannya” lahir maupun batin.
Karenanya, salam dari para pejabat kita yang ditumpahkan dalam setiap amanat dan pidatonya, sungguh mengagumkan. Hanya masalahnya, apakah mereka juga paham apa arti salam itu, dan yang lebih penting, sudahkah mereka rajin “mencuci piring” dan menyiapkan “wadah” yang bersih dan mencukupi untuk dibagikan kepada bangsanya, agar rahmat Allah yang berupa kekayaan negeri ini menjadi sebuah barokah dan setiap saat turun ke bumi pertiwi?
Kalau kenyataan menunjukkan bahwa negeri ini belum juga bangkit dari tidur panjangnya sehingga belum dapat menyejahterakan bangsanya, jangan-jangan salam tadi hanya diucapkan sembarangan, atau setidaknya tidak dihayati dengan sungguh-sungguh. Persis seperti anak TK yang pandai menghafal Pancasila. Perlu diluruskan apakah salam tersebut hanya dianggap sebagai sebuah mode (sama halnya jilbab pada umumnya, hingga para terdakwa koruptor wanita pun kini memakainya) ataukah sebagai sebuah doa sakral yang harus ditindaklanjuti si pengucap salam? Jangan-jangan yang bersungguh-sungguh ber-assalamu’alaikum itu justru bangsa yang selama ini kita anggap “sekuler” seperti Jepang misalnya? Bukankah Jepang yang tidak punya kekayaan alam namun toh pemerintah sanggup menyejahterakan rakyatnya?
Proposisi Peter L Berger dalam The Sacred Canopy pantas direnungkan. Kata Berger, ada dua kenyataan penting yang perlu dipahami yakni bahwa dunia industri dan kapitalisme adalah wilayah yang sudah “dibebaskan” dari agama, atau sering juga disebut sekularisasi. Ada dua bentuk sekularisasi lanjut Berger, yakni sekularisasi obyektif dan sekularisasi subyektif. Yang pertama menunjuk kepada sebuah fenomena adanya isolasi struktural terhadap agama, tujuannya agar agama ini tidak “terlibat” dalam urusan ekonomi, sosial, dan politik. Sedangkan sekularisasi subyektif menyangkut satu keadaan dimana agama telah terlepas dari kredibilitasnya dalam tingkat pengalaman manusia. Karenanya sanksi legitimasi agama terhadap negara sudah dianggap angin lalu.
Padahal Islam sangat intens melibatkan urusan sosial, ekonomi, politik untuk menuju rahmatan lil’alamin. Masalahnya orang banyak yang tidak percaya dengan tawaran ini. Sebagai contoh, baru “hanya” dengan mengamalkan assalamu’alaikum saja, Islam sudah menawarkan kreativitas-religius bagaimana manusia harus memanajemeni alam (dan dalam berbagai bidang kehidupan) serta bagaimana harus memanajemeni dirinya sendiri. Dengan salam singkat ini saja sudah tercakup berbagai dimensi sosial-ekonomi-budaya-politik, untuk didialektikkan dengan kreativitas dan kecanggihan pribadi untuk memanajemen alam. Buktinya, kalau kita ber-assalamu’alaikum, berarti kita sudah berjanji untuk saling menyelamatkan segala aspek kehidupan kita, mulai dari keselamatan antar individu, sampai keselamatan antar masyarakat bahkan keselamatan seluruh penghuni alam semesta ini. Makin jelas bahwa Islam adalah agama dunia-akherat. Islam tidak hanya berisi “janji-janji surga” atau sekadar “kabar gembira” yang dogmatis normatif, namun adalah agama kreatif-dinamis-praktis. Islam mengajarkan perlunya penafsiran ayat-ayat Allah yang lebih bersifat sosial-struktural daripada hanya bersifat individual. Islam menganjurkan pengubahan penafsiran dan tindakan agar tidak hanya subyektif namun juga ke obyektif. Islam bukan hanya ajaran normatif, namun juga teoritis. Bukan hanya ajaran yang ahistoris namun juga historis. Islam menganjurkan agar wahyu diurai menjadi lebih spesifik-empiris, diterapkan bukan saja secara intuitif namun juga ke arah rasional kreatif, serta dari personal ke organisatoris, dst.
Kembali kepada proposisi Berger di atas, pertanyaannya yang harus dijelaskan adalah, apakah tidak dilibatkannya agama (Islam) dalam ranah sosial-ekonomi-politik justru mengutungkan atau merugikan? Dari sketsa sebelumnya tampak bahwa jika satu ayat saja (assalamu’alaikum) ini “dilibatkan” dalam urusan ekonom-sosial-politik, maka akan terjadi perubahan “rahmat” menjadi “barokah”. Apa yang dapat dibanggakan dari keunggulan teknologi dan kapitalisme global yang telah “dibebaskan” dari agama? Apakah menganganya lobang ozon, mengganasnya HIV/AIDS, kengerian akibat perubahan iklim global, degradasi lingkungan, kerusakan moral, hilangnya ketenteraman hidup, dst, belum cukup membuktikan? Apa yang dapat dibanggakan dari uang dan harta miliaran dollar ketika di ujungnya tidak “barokah”, hingga membuat miliader seperti Michael Jackson, Whitney Houston, Jimi Hendrix, Elvis Presley (untuk sekadar menyebut selebritas dunia yang terkenal) justru bunuh diri atau stres hidupnya? Inikah keunggulan kapitalisme dan industrialisme musik dunia yang dibanggakan itu?
Padahal Islam menawarkan “barokah” kepada setiap tetes keringat usaha kita yang sungguh-sungguh ditujukan kepada Allah. Sebenarnya betapa simpelnya ajaran Islam, karena sambil menyangkul tanah sawah dengan sesekali menengadahkan muka dan berseru Allahu Akbar saja, barokah-Nya akan turun. Dzikir dan memujiNya tidak harus menyendiri di masjid, atau bawa tasbih, namun bisa dimana saja, tidak harus terucap, yang penting sadar. Orang Jawa bilang topo ngrame. Demikian pula setiap tetes usaha kita berjualan di pasar (global), jika itu menawarkan kebenaran “timbangan”, maka akan membuat perdagangan itu tidak hanya untung materi, namun juga kaya akan rasa bahagia, persahabatan, silaturahmi, dst? Bukankah Orang Jawa juga sudah sangat “Islami” dengan mengatakan “tuna sathak, bathi sanak”? Artinya kekayaan materi bukan segala-galanya, karena itu hanya salah satu “perantara” kebahagiaan, dan bukan “roh” kebahagiaan itu. Orang yang mati-matian mengejar dunia, dia akan tenggelam sendiri karena itu bukan haknya. Allah menawarkan dialektika cinta, dan anda akan menemukan kenikmatan yang luar biasa jika berada dalam pasar jual beli bersama cinta-Nya. Sayangnya manusia lebih percaya kepada uang dan kenikmatan semu seperti narkoba dan kenikmatan duniawi lainnya. Itu semua hanyalah makanan badan wadag. Padahal tubuhmu tidak hanya badan wadag melainkan juga roh yang harus diberi “makan” berupa kemesraan ilahiyah. Ini adalah makanan yang akan mengenyangkan kita abadi.
Sekarang jelas masalahnya, bahwa masyarakat kita, terutama para pejabat, sesungguhnya sudah memiliki modal penting, yakni kefasihan mengucapkan assalamu’alaikum. Hanya masalahnya, apakah ucapan ini hanya basa-basi atau tidak. Jika hanya basa-basi, maka tugas kita adalah meluruskan agar mereka benar-benar paham makna salam ini. Kata as-Salam adalah fungsi penyelamatan sehingga kita semua, apalagi para pejabat harus memiliki intensitas pemahaman tidak saja intelektual, namun harus lebih “emosional” religius, dan ini harus disadari dalam fungsi sebagai janji yang mesti ditepati.
Seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, bangsa ini cerdas dan memiliki modal besar untuk berendah hati memahami situasi kehidupan. Tentu saja kita mestinya mampu hidup lebih “islami” dengan jalan menggabungkan diri ke dalam dzat-Nya, sifat-Nya dan berbagai macam rahasia-Nya. Kita semua telah diberi mandat menjadi khalifah, dan tentu saja para pejabat harus lebih serius menempatkan “ke-khalifah-annya” untuk menyelamatkan rakyat (as-Salam), mengamankan rakyat (al-Mu’min), melalui cinta yang meluas (ar-Rahman) dan cinta mendalam yang berdimensi sosial (ar-Rahim). Puncak dari itu adalah keadilan (al-Adl). Kalau sifat-sifatNya itu dimiliki para calon pejabat atau calon wakil rakyat, tentu mereka tidak perlu kampanye dan minder sehingga harus mencitrakan diri dengan cara iklan dan pasang gambar foto dirinya di pinggiran jalan dengan biaya miliaran. Hanya orang yang tidak memiliki modal saja yang harus melakukan itu. Jika orang itu mampu menggabung ke dalam sifat-Nya tersebut, maka ia akan diberi “modal” oleh Allah karena ia akan dikaruniai keperkasaan (al-Aziz) dan kegagahan (al-Jabbar) untuk menuju tahta raja (al-Malik), sehingga tidak harus mengemis-emis kepada rakyat setiap musim kampanye tiba.
Kalau hanya untuk mengamalkan satu ayat (assalamu’alaikum) saja tidak mampu, bagaimana kita akan mengamalkan seluruh isi Al Quran? Jangan-jangan sholat, puasa, haji, dan zakat kita juga hanya basa-basi, atau hanya ritual beku mekanis belaka? Jangan-jangan Allah itu hanya elemen saja dan bukan pusat dari segala tindakan dan tujuan hidup kita? Wajar pula jika para pejabat ketika mendengar dering telepon dari presiden — umpamanya — dan diangkat menjadi pejabat, ucapan mereka adalah alhamdulillah dan bukan innalillahi wainailaihi roji’un. Wajar pula jika jabatan itu akhirnya tidak difungsikan sebagai amanah yang harus dikembalikan kepada-Nya (ilaihi roji’un), dan tidak disatukan dengan kehendak-Nya.
Sekarang jelas duduk masalahnya pula mengapa rahmat Allah yang berupa negeri “bocoran surga” seperti Indonesia tak kunjung pula berubah menjadi “barokah” yang menyejahterakan rakyatnya baik lahir maupun batin. Padahal jelas dan gamblang Al-Quran mengajarkan kepada kita dengan 96,5 % contoh-contoh konkret bagaimana mamanajemen kehidupan ini. Allah tidak gegabah memerintahkan begitu saja kita menjadi khalifah, namun DIA juga “bertanggungjawab” dengan memberi petunjuk atau ’manual’ yang jelas, sehingga DIA sendiri hanya butuh 3,5 % dari kita. Itupun bukan mutlak rasa “egois-Nya”, namun hanya dialektika cinta. Kita disuruh menyembahNya bukan karena DIA “gila hormat”, namun hanyalah salah satu bukti cinta timbal balik, agar kita mampu menggenggam konsepsi-Nya, meniru watak-Nya, dan bertindak serta berfikir dengan cara-Nya.
Dengan cara seperti itu Allah hendak menunjukkan bahwa dunia dan akherat itu bukan sesuatu yang terpisah, bahwa antara tauhid vertikal dan horizontal itu bukan berhadapan secara diametral, melainkan bersilang untuk menuju kepada-Nya. Karena itu ajaran-Nya yang berupa salam assalamu’alaikum adalah dialektika vertikal sekaligus horizontal, dan sebaliknya horizontal sekaligus vertikal. Fungsi horizontal adalah upaya memanajemen kekayaan alam Indonesia, dan ini berarti juga upaya sadar menuju kepada-Nya (vertikal).
Karenanya, para pengelola negeri, diperintahkan tidak saja pandai memanajemeni alam/negara namun juga memanajemeni dirinya sendiri agar meniru cara berfikir dan bertindak, serta watak-watak-Nya untuk menyatukan kehendak-Nya. Sialnya, memanajemeni diri sendiri juga belum bisa, apalagi memanajemeni alam atau negara. Makanya salam assalamu’alaikum belum bermakna apa-apa terhadap perubahan negeri meski diucapkan setiap kali.