Agama, Perbedaan dan Kekerasan
Ada sebuah anekdot. Syahdan dua orang sahabat karib, yakni yang satu seorang pendeta, satunya lagi ustadz. Karena saking asyiknya bekerjasama dalam urusan kebaikan dunia, mereka tidak sempat memahami ritual agama masing-masing. Pada suatu hari keduanya naik pesawat. Ketika di dalam pesawat di atas langit ada petir menyambar, pak pendeta kaget dan berucap :”haleluyah”. Pak ustadz di sebelahnya dengan lugunya “membetulkan” ucapan pak pendeta. Bukan, itu halilintar, bukan haleluyah. Pak pendeta senyum menanggapi sahabatnya.
Ketika pesawat turun, keduanya dijemput bus bandara. Sebelum kaki melangkah naik bus, pak ustadz berujar :”bismilllah”. Pak pendeta dengan lugunya juga “membetulkan” ucapan sahabatnya. Bukan pak ustadz, ini bukan bismillah, namun Bis DAMRI. Pak ustadz juga tersenyum. Keduanya tidak sadar dengan kesalahpahaman memahami ritual agama masing-masing, dan mereka tetap bersahabat.
Karena bagi Islam “Bagiku agamaku dan bagimu agamamu”, dan bagi pak pendeta, hidup adalah melayani sesama dengan cinta kasih. Singkatnya nggak ada masalah. Toleransi itu ialah ketika seekor kucing masuk kandang kambing tidak harus memaksakan diri mengembik dan sebaliknya. Pokoknya urusan agama adalah urusan pribadi dengan Tuhannya. Agama ibarat “isteri” yang tidak dapat dibandingkan satu dengan yang lainnya, demikian kata Cak Nun.
Orang beragama kata Freud bapak psikoanalisis, sering berada dalam suasana “perasaan ketergantungan” (the feeling of powerlessness) yang membuat orang beragama sulit mencapai kedewasaan beragama karena gagal membangun otonomi dalam dirinya sebagai manusia. Perasaan tersebut berlainan dengan orang yang berhasil membangun “religius feeling” yang mampu mengembangkan ritual keberagamaan menjadi konkret dan mencapai “peragian rohani” dengan mengembangkan dirinya menjadi khalifah di muka bumi. Keadilan, kebenaran, cinta kasih, persaudaraan, dst terus dikembangkan.
Agama atau sistem kepercayaan pada dasarnya adalah pengalaman batin seseorang yang sifatnya subyektif karena penuh tafsiran (inner state or subjective experience). Permasalahannya daya dorong atau daya himbau ajaran agama yang sudah ditafsirkan tersebut selalu saja menumbuhkan fanatisme sehingga para pengikutnya akan berusaha “mati-matian” untuk mengobyektifkannya di dunia nyata.
Karenanya Joachim Wach pernah bilang bahwa setiap kemunculan sistem kepercayaan baru, atau tafsir baru, pastilah akan diikuti oleh penciptaan dunia baru dimana konsep-konsep dan kelembagaan lama akan kehilangan makna dan alasan dasar kehadirannya (Ali,1988).
Dari titik inilah agama atau kepercayaan membangun basis perkauman dan memberikan struktur rohani, intelektual serta kebudayaan. Kesemuanya elemen ini akan mengintegrasikan setiap kelompok masyarakat yang saling berbeda dan memiliki pandangan dan sistem kepercayaan yang sama.
Pengelompokan dan daya himbau berdasarkan tafsir dan “klaim kebenaran” inilah yang sering menimbulkan krisis dan bentrokan antar pengikut agama atau kepercayaan. Fakta ini sudah lama diamati oleh Geertz yang mengatakan bahwa agama itu bukanlah kesimpulan dari realitas, namun mendahului realitas itu sendiri. Karenanya unsur determinasi mutlak dan tidak mau berdamai dengan realitas, merupakan karakter dasar dari agama.
Kekerasan atas nama agama akan selalu berulang. Pada tahun 2009 Setara Institute mencatat 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291 jenis tindakan. Terdapat 10 wilayah dengan tingkat pelanggaran tertinggi yaitu, Jawa Barat (57 peristiwa), Jakarta (38 peristiwa), Jawa Timur (23 peristiwa), Banten (10 peristiwa), Nusa Tenggara Barat (9 peristiwa), Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Bali masing-masing (8 peristiwa), dan berikutnya Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-masing (7 peristiwa).
Dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission). Tindakan pembiaran berupa 23 pembiaran aparat negara atas terjadinya kekerasan dan tindakan kriminal warga negara dan 15 pembiaran karena aparat negara tidak memproses secara hukum atas warga negara yang melakukan tindak pidana.
Bangsa ini sudah harus sadar bahwa penyempurnaan diri melalui transedensi terus menerus harus dilakukan, tidak dalam retorika atau sosialisasi palsu, namun benar-benar melepaskan diri dari kotak primordialisme. Bentuk-bentuk primordialisme seperti partai, aliran, atau golongan, hanya boleh berhenti pada level metoda, dan bukan tujuan hidup. Indonesia sudah harus lebih bergerak cepat menjadi manusia pasca-partai, pasca-golongan, pasca-etnik, dan berbagai formalisme agama yang jauh dari nilai-nilai spiritual etik.
Masyarakat saat ini tengah berada dalam tingkat sensitivisme yang tinggi. Merebaknya kasus mafia hukum dan korupsi yang tak pernah tuntas, kesulitan hidup, kelangkaan kesempatan kerja, dan aneka kerusakan lingkungan lainnya menambah frustrasi masyarakat luas.Kegagalan negara dalam menegakkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan akan semakin membuat frustrasi masyarakat, dan rasa frustrasi akan berubah menjadi agresivitas jika mendapatkan pemicunya. Karenanya pencegahan kekerasan harus simultan antara perbaikan kesejahteraan masyarakat, keadilan sosial, dan penegakkan hukum di segala bidang kehidupan. Jika satu diantaranya alpa, maka jangan harap kekerasan akan mudah dicegah.