CakNun.com

Wong Urip mung Gawe Apik

Saratri Wilonoyudho
Waktu baca ± 6 menit

Pertemuan Maiyah Gambang Syafaat kali ini dimeriahkan oleh Kiai Kanjeng yang baru saja bermaiyah dengan PT. Herculon siang harinya. Dalam diskusi ini, Cak Nun melontarkan satu istilah menarik, yakni tujuan hidup itu bukan mencari uang atau materi, namun berbuat kebaikan (gawe apik — Jawa). Untuk itu Cak Nun memberi “tugas” kepada saya untuk menafsirkan istilah itu. Tentu ini tugas berat bagi saya karena mulut dan hati saya belum fasih membaca ayat-ayatNya. Namun untuk menguatkan diri, maka tugas ini justru saya pandang sebagai arena untuk olah pikir dan olah batin agar lebih fasih lagi, karena kunci untuk mendapatkan derajad dari Allah SWT adalah berilmu pengetahuan, dan syarat untuk ini adalah rajin iqro’ dan berpikir (catatan: Allah berkali-kali menantang manusia untuk berpikir. Jika kamu sekalian mau berpikir, dst).

Jika perintah “urip mung gawe kebecikan” ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka “efek samping”nya adalah materi, uang atau nafkah yang justru lebih melimpah daripada ketika tujuan hidup kita adalah mencari uang semata. Tentu ini berbeda dengan “Kiai Yusuf Mansyur” yang demikian heroik menafsirkan Qur’an dengan “teori” sedekah versinya. Benar dalam Al Qur’an Allah SWT menjanjikan akan melipatgandakan amal kebaikan menjadi 700 kali dan seterusnya, namun tentu ini harus dimaknai dalam hubungan “rasa cintaNya” kepada kita, dan bukan hubungan matematis-kapitalistis. Kalau terjebak dengan cara pandang Kiai Yusuf Mansyur maka orang yang bersedekah bukan dalam kerangka taqwa dan tawakal, melainkan dalam hubungan dagang. “Ini lho Tuhan aku sudah bersedekah, mana imbalan 700 kali itu ?”, barangkali ini yang dicari manusia.

Padahal Allah SWT sudah bernjanji akan memberi rezeki dari arah yang tidak diduga-duga dan akan mencukupkan segala kebutuhan kita, dan Allah hanya meminta dua hal dari kita: taqwa dan tawakal. Taqwa tentu terkait dengan kemesraan cinta antara hamba dan Tuhannya dan tawakal adalah term yang tidak terpisah dari kata kerja. Orang yang tidak pernah bekerja dalam kebaikan tidak boleh mengklaim dirinya tawakal hanya dengan jalan menyerahkan diri saja kepada Allah SWT. Sederhana saja, Allah telah berbagi kepada kita secara demokratis. Kita sudah diberi berbagai fasilitas di alam semesta ini, dan tentu saja ada pembagian tugas atau sharing. Ada qudrah dan ada iradah.

Kalau kita menaruh motor tanpa terkunci dan kemudian kita berdoa kepada Allah agar motor itu tidak hilang, maka ketika motor itu benar-benar hilang jangan kemudian kita mengkambinghitamkan Tuhan atau setidaknya kita bicara takdir. Demikian pula dalam mengelola negara dan apapun, karena pada dasarnya Allah telah berbagai tugas dengan manusia.

Ungkapan “urip mung gawe kebecikan”, dalam bingkai kapitalisme akan ditertawakan. Dalam prinsip kapitalisme, modal harus sekecil-kecilnya dan untung sebesar-besarnya. Karena yang dicari hanya materi atau keuntungan semata, maka efek sampingnya justru “tidak untung”. Dalam kapitalisme yang muncul bukan “kebecikan” yang berbuah “materi”, namun justru kerusakan dan kehancuran. Padahal Allah dengan tegas melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi ini.

Kapitalisme saat ini bagai “agama baru” yang menyembah api. Kaum kapitalis dengan berbagai cara terus menempuh sampai si konsumen merasa kehausan dan bernafsu untuk melepaskan dahaga itu. Para birokrat negara yang begitu fasih berkolaborasi dengan para pemilik modal, sampai dalam membangun negara tidak memperhatikan kebudayaan dan hanya akan menjadikan negara yang “beragamakan api”.

Dalam lingkup yang lebih kecil, yakni di kota, dalam bukunya The Language of Post-Modern Architecture (London, 1977), Jencks menuding ritual perancangan kota yang cenderung seragam, mengikuti logika mesin dan logika berproduksi industrial. Dampak yang dibawanya mirip sebuah “homologisasi” berupa gedung-gedung hypermal, supermarket pencakar langit, perkantoran-bisnis, dst, yang sialnya semuanya serba transparan, boros energi, monoton, dan yang mengerikan, menyihir masyarakatnya untuk menjadi “kerbau yang dicocok hidungnya”.

Akibatnya pembangunan mal dan pusat bisnis lainnya bersifat abstrak, berikut kenyataan bahwa ia berbasis kepada asumsi yang tidak pernah teruji dan tidak pernah sesuai dengan kebutuhan riil manusia. Ia bagaikan “pakaian jadi” bagi manusia modern yang dimitoskan dan karena itu hanya ada di kepala para arsitek dan para pemodal itu. “Agama api” mereka disimbolkan dengan slogan how to big is too big. Buah tangannya adalah kota-kota metropolitan dengan megamal dan gedung pencakar langit nan menjulang.

Kembali kepada ungkapan Urip mung gawe kebecikan pasti ini berbeda dengan prinsip kapitalisme tersebut. Urip mung gawe kabecikan tentu didasarkan atas cinta dan kasih sayang (silaturahim). Rasululloh dengan tegas mengatakan bahwa buah silaturahim adalah umur panjang dan rezeki. Ini bukan sesuatu yang tanpa dasar ilmiah karena rasa cinta menumbuhkan kesarehan dan pasti kesarehan akan mencegah stres. Kehidupan yang makin sumpeg ini berawal dari rasa stres yang kemudian menumbuhkan berbagai penyakit. Rasululloh kemudian juga menambahkan bahwa sumber dari segala macam penyakit hidup adalah berlebihan. Karenanya beliau berwasiat: makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Tentu manajemen ala rasululloh ini tidak hanya berlaku untuk makan dalam arti harfiah, namun dalam segala bidang kehidupan.

Urip mung gawe kebecikan yang beralaskan cinta, atau silaturahim, pasti akan menghindarkan manusia dari kehinaan dan kehancuran. Rachim adalah cinta mendalam, dan rahman adalah cinta meluas.

Keduanya adalah buah dari kesungguhan kita dalam menjalankan perintah Allah SWT yang mengajari kita dengan doa yang jelas dan tegas: ihdinas siratal mustaqim, Ya allah tunjukkan kami ke jalan yang lurus (menegakkan).

Dengan kata lain, untuk mencari kebecikan, maka cukup lakukan apa saja yang ada dalam potensi diri kita secara sungguh dan lurus (menegakkan), dan Allah akan memberikan “efek samping” yang tidak terduga-duga sebagaimana dijanjikan dalam “Ayat seribu dinar” di atas. Allah tidak memerintahkan kita mencari “out put”, namun menjanjikan “out come”, apabila kita kita berjalan lurus dan menegakkan.

Urip mung gawe kebecikan akan dipuncaki oleh “sufisme Jawa” lainnya seperti “urip mung sakdremo nglakoni” atau ” urip mung mampir ngombe”. Dalam pandangan Islam tradisional sebagai mana dikatakan Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Islam, Tuhan merupakan realitas absolut yang tak terhingga. Kalau Tuhan diibaratkan samudera tak terhingga, maka manusia hanyalah percikan dari samudera Ilahi tersebut, sehingga muncul konsep jabbariyah atau paham fatalisme. Namun bagi saya, urip mung mampir ngombe bukan fatalisme, namun justru puncak kesufian Jawa. Dalam pandangan ini orang Jawa tidak akan “kawin” dengan dunia, karena hidup hanya sebentar (mung mampir ngombe). Jangankan “kawin”, “pacaran” dengan dunia saja tidak sempat.

Namun bagi mereka yang meyakini bahwa Tuhan itu adil, maka pepatah Jawa “sawang sinawang” harus dicermati, Di tengah-tengah kekayaan yang melimpah, kehidupan seseorang belum tentu juga tenteram. Misalnya banyaknya kasus orang kaya yang masih korupsi atau terjebak narkoba, demikian pula para artis yang glamour yang sering berakhir tragis hidupnya, dst, menunjukkan hal itu.

Kemudahan mencari rezeki ternyata diimbangi dengan cara hidup yang glamour sehingga juga mudah habis. Banyaknya teman main, teman bekerja yang cantik atau ganteng, membikin mereka mudah selingkuh. Kesibukan mencari popularitas dan uang menyebabkan hidup mereka “kemrungsung” dan jauh dari kehidupan religiusitas (meski mereka juga mengaku beragama).

Di tengah-tengah kesulitan hidup, di tengah-tengah jaman kalabendhu, serta kegersangan spiritualitas,dst, banyak orang sibuk mencari guru atau perkumpulan-perkumpulan spiritual. Semua kemoderenan dalam arti sistem sosial memberi petunjuk ke arah mana dunia bergerak. Orang banyak mendesakkan diri, menggantikan kenyamanan alamiah dengan yang buatan manusia. Disinilah ketenteraman hidup dipertaruhkan.

Yang mengalami ternyata tidak hanya kaum miskin, namun juga para bos kaya raya dan para artis. Kisah bos Hyundai Korea yang terjun dari lantai atas sebuah hotel hingga tewas menunjukkan hal itu. Demikian pula ramainya pengajian di hotel berbintang lima dengan mengundang dai-dai terkenal dst, menunjukkan kegelisahan sebagian kaum kaya untuk “lari” atau “escape” ke dunia spiritual.

Tujuh Jalan Sufi

Karenanya, pencucian hati merupakan dasar bagi terbitnya ketenteraman hidup. Al Ghazali memberi resep mengembalikan ketenteraman hidup dengan jalan membelakangi dunia. Karena selama masih ada dunia di tangannya, maka kekotoran hati dan kegelisahan akan tetap ada. Ibarat mustahil mandi madu tanpa dikerumuni lalat atau semut.

Pencucian hati agar dapat mendatangkan ketenteraman batin amat sulit dijalani. Setidaknya ada tujuh langkah, yakni:

  1. Pengamalan “maqam” taubat. Taubat dalam pengertian tasawuf adalah pengalihan dari hidup yang terlena, ke arah hidup yang selalu mengingat Tuhan. Terlena mengingat Tuhan adalah pangkal dari segala dosa dan kemaksiatan. Maka laku mengingat Tuhan adalah langkah awal pembinaan budi luhur. Dzikir lahir batin merupakan jalan pertama;
  2. Sesudah taubat adalah laku wara’ yakni satu laku rohani untuk menjauhi hal-hal yang subhad (tidak jelas halal haramnya);
  3. Laku hidup yang mencari sesuatu yang jelas halalnya. Jadi laku ini 90% budi pekerti luhur;
  4. Laku zuhud, yakni menyedikitkan kebutuhan duniawi yang halal;
  5. Tawakal yakni menyerahkan seluruh hidupnya hanya kepada Tuhan termasuk pemeliharaannya ;
  6. Laku sabar, yakni tidak mengeluh apapun penderitaan yang ada padanya, karena yakin adanya jaminan pemeliharaan Tuhan; dan
  7. Laku ‘rela” atau ikhlas, bahkan penderitaan dianggapnya sebagai satu “kenikmatan”!

Segala kekotoran duniawi ia singkirkan. Arti menyedikitkan kebutuhan duniawi berarti mengandung arti bahwa tidak dilarang untuk mencari harta, asal halal dan diambil secukupnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ini artinya menjadi “sufi” tidak harus mengasingkan diri dari keramaian duniawi. Orang jawa bilang “topo ngrame”, dan Abu yazid Al Busthami mengatakan: “zuhud (sufisme) adalah tidak memiliki dunia dan tidak dimiliki dunia”. Artinya silakan mencari harta sebanyak-banyaknya (yang halal tentunya), namun jangan menjadi budak dunia.

Rasulullah Muhammad SAW pernah ditanya seorang sahabat: “Ya rasulullah, ada seorang pemuda yang tiap hari kerjanya hanya berdzikir di masjid sampai ia lupa mencari nafkah. Pemuda itu hanya ingat Alloh SWT. Sedangkan kebutuhan makan sehari-harinya disokong oleh kakaknya. Hebat benar pemuda itu cara beribadahnya ya rasul”. Mendengar pujian terhadap sang pemuda yang rajin berdzikir itu Muhammad SAW menjawab: “Yang masuk surga adalah kakaknya!”.

Ini artinya rasululullah mengajarkan bahwa harus ada keseimbangan antara dunia dan akherat. Dunia dicari karena manusia sebagai khalifah dan harta atau materi hanyalah alat untuk beribadah, bukan tujuan. Benda atau materi hanya dapat dibawa mati ketika ditransformasikan atau dirubah “energinya” menjadi nur atau cahaya. Dalam bahasa agama disebut “di-amal saleh-kan”.

Dengan langkah-langkah di atas, diharapkan, kemungkinan orang bunuh diri, mencari dukun agar terkenal, mengkonsumsi narkoba, berselingkuh, dst, tidak akan terjadi. Ia tidak begitu saja akan percaya kepada seseorang “guru”, percaya tuah Gunung Kawi, Gunung Kemukus, pesugihan, dst, karena yang ia yakini adalah pemeliharaan dari Tuhan.

Jika itu dihayati mendalam, tidak akan ada kegelisahan hidup, yang ada ketenteraman. Ini berarti ia telah mencapai maqam tertinggi. Alangkah indahnya memiliki popularitas, materi sekaligus kedalaman spiritualitas. Namun siapa yang sanggup seperti ini? OK pokoknya tetap sehat, tetap semangat, supaya kita tetap “survive” di jaman kalabendhu seperti ini.

Pokoknya urip mung gawe kebecikan.

Saratri Wilonoyudho
Aktif Menemani Jamaah Maiyah Gambang Syafaat. Esais. Peneliti dan Dosen Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang. Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Ketua Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Jawa Tengah.
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version