Urip mung Mampir Ngombe
Alhamdulillah, Maiyah Gambang Syafaat tanggal 25 Oktober 2011 di Baiturrahman Semarang yang lalu tetap meriah, meski yang menemani mereka — saya dan Om Budi — adalah sosok yang masih penuh kemaksiatan. Yang penting kata Cak Nun, harus tetap ada usaha yang serius untuk menjadi “manusia kiai”, meski tidak fasih di mulut, namun selalu berendam cinta, baik cinta kepada Allah SWT, rasululloh dan kepada semua makhluk di alam semesta ini. Seperti pesan Cak Nun, Maiyah ini harus punya sejarah yang jelas dan karenanya setiap perbincangan ditulis, syukur nanti dibukukan agar anak cucu kita memanfaatkannya. Pesan ini saya lakukan dengan tulisan ringan berikut ini.
Mengapa hal itu ditekankan? Jawabnya barangkali karena Semarang memang tidak punya “sosiologi” yang jelas sehingga Gambang Syafaat sulit menemukan maqam dan menyusun bentuk maiyahnya. Barangkali kelak, lulusan GS ini memiliki kematangan dan bobot yang berbeda dari “alumnus” maiyah lainnya. Potensi manusia pesisir sebenarnya sangat bagus, namun tanah sosialnya masih tandus. Akibatnya, mereka harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan barokah dan maqomnya yang lebih tinggi, karena telah ditinggalkan para kiainya. Kini GS hanya ditemani rekan-rekan saya baik Om Budi dan Pak Ilyas yang kapasitasnya sebenarnya belum mencukupi. Wajar saja jika kami tidak mudah bertafakur, bekontemplasi, tadabbur, dst, dalam suasana seperti ini.
Namun kami bertekad harus tetap jalan. Nah dalam pertemuan tanggal 25 Oktober itulah muncul istilah “urip mung mampir ngombe”. Bagi sebagian orang ungkapan ini terasa biasa saja, namun setelah direnungkan, inilah barangkali “puncak kesufian Jawa”. Budaya Jawa yang kini hanya melahirkan sempalan-sempalan kecil, karena sudah lewat puncaknya. Dalam bidang kesenian, karya adiluhung tembang Macapat dan musik gamelan, kini belum terlampaui. Paling hanya sempalan kecil semacam lahirnya campur sari. Demikian pula dalam “kesufian” lainnya.
Urip mung mampir ngombe membawa satu dimensi religiusitas, bahwa orang Jawa itu mestinya akan selalu “semeleh” atau dalam bahasa lainnya tawakal, karena mereka tidak sempat “kawin” dengan dunia. Jangankan kawin, “pacaran” saja tidak, karena ia hanya mampir untuk menuju kampung sejatinya kelak, yakni kampung akherat. Ajaran membelakangi dunia ini sudah amat jelas dan tegas disampaikan Rasululloh SAW yakni puasa—terutama di bulan Ramadhan, yang puncaknya adalah “memanajemen nafsu” atau menahan diri. Kerusakan-kerusakan di dunia, mulai dari saling gosip, menghina, memfitnah, membunuh, perang, penindasan, korupsi, dan sebagainya itu terjadi hanya oleh satu sebab, yakni karena manusia tidak dapat menahan diri. Puasa diperintahkan Allah agar manusia bertaqwa kepadanya, dan dalam dataran tarikat, puasa adalah salah satu metode untuk memanajemen diri agar mampu menahan hawa nafsu.
Puasa sebagai upaya menuju pengendalian diri dari sifat hewani inilah yang dipandang paling sulit oleh Sayyed Hossein Nasr dalam Ramadan: Motivating Believers to Action: An Interfaith Perspective. The carnal soul, al- nafs al-ammarah. Jalaluddin Rumi mengatakan, jika engkau tidak dapat menikmati ibadahmu, maka Tuhan sedang menghukummu. Sholat hanya berhenti pada gerakan semata, puasa sekadar lapar dan dahaga, ibadah haji hanya sekadar wisata, dan kalau ini terjadi maka ia tidak akan berjumpa dengan Tuhan. Dan ini berarti ada semacam the great paradoxes of the psychology of religion. Rajinnya korupsi juga diimbangi rajinnya ber-umroh atau naik haji, seakan ia tengah berhitung “jual beli” dengan Alloh SWT.
Benar pula barangkali kata Gordon Allport (dalam Danah Zohar and Ian Marshall, SQ: Spiritual Intellegence The Ultimate Intellegence, Bloomsbury, London, 2000), bahwa banyak orang di luar kiai atau pemuka agama yang tinggi pengalaman spiritualitasnya. Banyak pemuka agama yang hebat ilmu agamanya, namun minim pengalaman spiritualitasnya atau minim pengetahuan umum lainnya. Sebaliknya banyak ilmuwan- saintis yang hebat pengetahuan keilmuannya, namun minim pengalaman spiritualitas dan pengetahuan tentang agama. Dalam Al Fatehah ada istilah “dimarahi” dan “dimurkai” Allah. Mereka yang tidak tahu tapi mau, dan mereka yang tahu tapi tidak mau.
Manusia yang sudah sampai pada tataran menghayati “urip mung mampir ngombe”, Insya Allah sudah sampai pada tataran khalifatullah, sehingga ia akan paham — misalnya — bahwa puasa Ramadhan hanyalah sekadar titik awal untuk puasa-puasa sepanjang hayat. Dalam kehidupan ini manusia diajarkan dan dituntut untuk menahan diri, menyaring, dan menjernihkan apa yang ada di dalam kehidupan ini. Orang yang sudah sampai tataran itu akan paham bahwa puasa akan menuntun dia ke arah “makan yang sejati” (pinjam istilah Cak Nun). Ia akan paham bahwa yang menuntun dirinya selama ini begitu serakah adalah nafsunya. Ia paham bahwa apa yang dimilikinya tidak bisa dibawa mati, karena itu ada di alam materi.
Memanajemen Dunia-Akherat
Ungkapan urip mung mampir ngombe, mestinya sanggup “menyatukan” kita dengan Allah. Yang ada hanyalah Allah dan kita milik Allah, sehingga hutan, lautan, gunung, harta kekayaan negara, rekening kita, kekuasaan, dst adalah milik Allah. Kalau ini disadari pasti tidak akan disalahgunakan. Ini bukan berarti ajaran puasa adalah “anti-dunia”. Yang benar salah satu inti ajaran puasa adalah bagaimana kita mampu “memanajemen” dunia.
Jika apa yang ada di dalam rumah kita atau yang melekat di tubuh kita, barang-barang mana saja yang kita beli tidak berdasarkan kebutuhan riil, maka itu hanya berdasarkan nafsu atau kesenangan belaka. Kalau banyak yang berdasarkan nafsu atau kesenangan, apalagi cara membelinya dibarengi dengan korupsi dan penindasan, maka kita belum mampu memanajemen hati dan ruhani, demikian kata Cak Nun.
Ajaran urip mung mampir ngombe adalah ketika dunia ada “di hadapannya” kita tidak serta merta “mengenyamnya”. Kalau ajaran ini berhasil diserap umat manusia, maka ia akan menuju posisi pembebasan dari sisi-sisi keduniawian dan dilepaskan di hadapan Allah. Ini adalah proses “dematerialisasi” atau “deindividualisasi”, karena yang penting adalah Allah. Dunia dan isinya hanyalah “sarana” atau “metoda” dan dimanajemen sepenuhnya untuk menuju Allah. Dengan kata lain, produk-produk duniawi tetap penting bahkan dianjurkan untuk dicari mati-matian secara halal dan toyib, namun “harus dimanajemen” untuk menuju Allah SWT! Dengan kata lain, manusia yang berhasil mengamalkan ajaran urip mung mampir ngombe adalah manusia tidak anti materi atau duniawi, namun mentransformasikan apa yang ia miliki (harta, kekayaan, kekuasaan, tenaga, pikiran, dst) untuk menjadi “nur” atau cahaya yang bermakna akherat.
Orang beragama kata Freud bapak psikoanalisis, sering berada dalam suasana “perasaan ketergantungan” (the feeling of powerlessness) yang membuat orang beragama sulit mencapai kedewasaan beragama karena gagal membangun otionomi dalam dirinya sebagai manusia. Perasaan tersebut berlainan dengan orang yang berhasil membangun “religius feeling” yang mampu mengembangkan ritual keberagamaan menjadi konkret dan mencapai “peragian rohani” dengan mengembangkan dirinya menjadi khalifah di muka bumi. Keadilan, kebenaran, cinta kasih, persaudaraan, dst terus dikembangkan. Mampukah para pemimpin kita dan para politisi mencapai derajad ini?
Kembali ke urip mung mampir ngombe, Rasululloh lantas menjelaskan bahwa dalam Islam kerja keras untuk mencari rezeki merupakan hal yang sangat penting. Ibadah mahdoh, mengingat kepada Allah juga sangat penting, namun tidak ada yang harus dikalahkan. Ajaran Al Qur’an, 96,5 % berupa ajaran muamallah, dan hanya 3,5% yang berupa ibadah mahdoh atau ibadah khusus kepada Allah. Urip mung mampir ngombe juga tidak harus diterjemahkan hanya menyerahkan dan ingat kepada Allah SWT saja, namun tetap mencari dunia, karenanya Islam diturunkan sebagai rahmatan lil alamin, dan orang yang paling beruntung di hadapan Allah SWT adalah mereka yang dapat mengembangkan “kesalehan pribadi” menjadi “kesalehan sosial” dan “kesalehan profesional”.
Dalam bahasa yang sederhana, kesalehan sosial merupakan tangga yang lebih tinggi karena yang diukur mutu seseorang adalah seberapajauh dan seberapabesar seseorang bermanfaat bagi orang lain. Kesalehan individual tidak sertamerta membawa kepada kesalehan sosial, misalnya orang yang kelihatan khusuk ibadahnya, lantas tidak otomatis tumbuh kepekaan sosialnya. Banyak contoh orang yang tekun beribadah formal, namun sangat pelit kalau mengurusi—misalnya—tetangganya yang kelaparan. Dia dapat begitu royal menyumbang tempat ibadah, namun pelit menyumbang tetangganya yang kesusahan, atau membangun jalan umum misalnya. Dia mengira amal ibadah hanya soal menyumbang tempat ibadah atau zakat saja.
Banyak kiai atau ulama yang begitu hebat pengetahuan fiqh-nya, namun jarang memberikan fatwa sosial. Yang muncul hanya fatwa tentang halal-haram, tentang lemak babi, pelacuran, judi, namun tidak mampu memberi solusi—misalnya — soal kasus lumpur Lapindo atau korupsi di DPR.
Ada satu cerita tentang sebuah kesalehan sosial. Ketika berjalan-jalan keluar istana—Khalifah Harun Al Rasyid yang menyamar sebagai orang biasa, menjumpai seorang tua bungkuk dan sudah beruban rambutnya, sedang menanam pohon palem. Ketika ditanya berapa lama pohon itu dapat tumbuh, orang tua yang bungkuk tadi menjawab kalem: “mungkin sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan seratus tahun!”. Mendengar jawaban ini sang Khalifah kaget: “Bagaimana anda dapat menikmati buahnya ketika pohon ini mulai tumbuh besar sedangkan engkau sudah meninggal?”.
Namun orang tua ini tetap kalem dan menjawab: “Benar, mungkin saya sudah meninggal, tapi saya akan makan buah dari kesabaran yang saya tanam. Demikian pula anak cucu atau masyarakat di masa mendatang akan ikut menikmatinya pula. Diriku tidak penting, apakah masih hidup atau tidak, sebab hidup adalah sebuah langkah untuk beribadah”. Demi mendengar jawaban ini sang Khalifah kagum dan sertamerta memberinya orang tua itu sekeping uang emas. Orang tua tadi langsung berkata: “Saya berterima kasih kepada Allah, karena buah yang baru saya tanam menghasilkan buah dengan segera!”. Demi mendengar pujian ini sang Khalifah memberinya lagi.
Orang tua tadi juga menjawab: “Biasanya pohon ini berbuah sekali dalam setahun, namun ini berbuah dua kali”. Mendengar ucapan syukur ini sang Khalifah mendekati pengawalnya serta menarik tangannya sambil berkata: “Mari segera meninggalkan kebun ini sebelum uang kita habis.
Kisah ini menunjukkan kesalehan sosial seseorang yang tidak disertai pamrih, karena baginya “hidup adalah beramal”. Orang tua ini berbeda dengan politisi yang setiap hari menghabiskan uang puluhan milyar hanya untuk berkata “hidup adalah perbuatan”. Kalau politisi ini berpamrih, maka bagi orang tua tadi, bekerja bukan mencari uang, namun mencari keridlaan Alloh. Sedangkan uang hanyalah “resiko” yang dia terima setelah bekerja. Jadi “rumusnya” tidak bisa dibalik.
Kesalehan Profesional
Istilah kesalehan profesional juga menunjuk kepada “kesalehan sosial”, namun berlaku bagi orang-orang yang memiliki profesi tertentu. Para pegawai negeri, presiden, menteri, gubernur, bupati, anggota dewan, jaksa, hakim, polisi, pegawai bea cukai, pegawai pajak, dosen, dst, adalah sederetan orang-orang profesional yang diamanahi oleh rakyat untuk mengatur negara dan melayani rakyat.
Dengan pengertian yang sederhana tersebut dapat dipahami, jika seorang aparat penegak hukum main-main dengan pasal-pasal atau BAP palsu demi mendapatkan uang, maka ia dapat dikatakan sudah tidak memiliki kesalehan profesional. Demikian pula aparat pemeriksa keuangan yang membuat laporan keuangan palsu atau membuat laporan “mark up” proyek, seorang dosen yang menjual nilai atau ijazah, anggota dewan yang menjual RUU, dst, mereka dikatakan tidak memiliki kesalehan profesional. Dosa mereka bisa mmenjadi dobel karena melalaikan amanah sekaligus menerima uang haram.
Karenanya menarik untuk mengikuti “jalan pikiran” para koruptor kelas kakap. Mereka yang digaji oleh negara dengan fasilitas yang sudah membikin orang lain mengucurkan air liur, toh masih tega juga terus mengembat uang Negara. Anggota dewan, jaksa, hakim, pegawai bea cukai, pegawai negeri, pejabat, dst, adalah orang-orang yang diamanahi untuk melayani rakyat. Untuk keperluan itu mereka digaji luar biasa besarnya dan dengan gaji mereka dapat hidup sejahtera.
Dalam pandangan sufistik, para koruptor adalah orang yang belum tercerahkan, karena dalam diri pribadinya ditutupi oleh kabut tebal yang berupa penyembahan duniawi. Dalam agama apapun diajarkan bahwa dipersilakan mencari dunia sebanyak-banyaknya asal dengan cara yang halal dan toyib serta semuanya nanti ditransformasikan menjadi “energy” yang disebut “nur atau cahaya”. Dalam ajaran agama-agama besar, ditekankan pentingnya kejujuran, kedermawanan, disiplin, dan pelayanan. Seseorang akan dapat mengamalkan dengan baik hal-hal tersebut jika telah sampai kepada kesadaran, bahwa kita tidak memiliki apa-apa. Dalam “rumus” tingkat ma’rifah: “tidak ada aku dan tidak ada kamu”, karena yang ada hanyalah Tuhan.
Kesalehan sosial yang sampai tingkat ini melampaui tiga tingkatan sebelumnya, yakni: tingkatan pertama adalah syariah “rumus” yang berlaku adalah: milikmu dan milikku. Yakni hukum yang menjamin hak-hak individu dan hubungan etika diantaranya. Pada tingkatan tareqah berlaku rumus: milikku adalah milikmu dan milikmu adalah milikku. Disini ada hubungan persudaraan yang kental. Pada tingkat haqiqah rumusnya: tidak ada milikku dan tidak ada milikmu. Ini tingkat kesadaran bahwa manusia tidak memiliki apa-apa karena semuanya hanya milik Tuhan. Manusia hanya mengemban amanah, dan ini melampaui terhadap pengikatan diri terhadap duniawai, pangkat, jabatan, ketenaran, kekayaan, dst. ****