Menundukkan Wajah di Hadapan Ali Audah
1.
Hari ini kita bersama-sama menundukkan wajah dan membungkukkan badan di hadapan beliau Bapak Ali Audah. Saya pribadi, kalau boleh jujur mempraktekkannya, tidak akan menundukkan wajah, melainkan menutupi wajah, karena rasa malu yang mendalam kepada beliau. Saya juga tidak akan membungkukkan badan, melainkan melarikan diri dan bersembunyi, karena rasa tak berharga di hadapan beliau.
Zaman pendudukan Jepang, awal era 1940-an, bagi saya adalah masa silam yang sangat jauh. Kemudian kemerdekaan tiba, lantas berlangsung era Orde Lama yang sangat lama, tiga tahun sesudah era itu berakhir, saya mulai menulis cerita pendek. Melewati era Orde Baru yang lebih lama lagi dibanding Orde Lama, dan ketika orde itu berakhir, saya sudah berhenti menulis. Sehingga hari ini saya merasa pekerjaan menulis adalah masa silam yang sangat jauh.
Sedangkan beliau Bapak Ali Audah, sudah menulis cerita pendek pada era Jepang masa silam saya yang jauh itu, dan terus menulis selama Orla yang lama, terus menulis selama Orba yang lebih lama lagi, terus menulis selama era Reformasi yang sangat memuakkan dan yang paling memuakkan dibanding segala sesuatu yang memuakkan, terus menulis dan terus menulis sampai hari ini.
Bagaimana mungkin saya sanggup tidak melarikan diri dari beliau. Jangan-jangan andaikan Allah mengambil saya kemudian melahirkan kembali sampai tiga kali: yang saya saksikan adalah beliau Bapak Ali Audah tetap juga terus menulis dan menulis.
Maka hari ini, jika saya mengucapkan “Asyhadu an-la ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah”, perkenankan saya meneruskan “wa asyhadu anna Ali Audah ya’malu ‘amalan shalihan wa ya’malu ‘amalan shalihan wa ya’malu ‘amalan shalihan….” Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah, dan aku bersaksi bahwa Ali Audah beramal shaleh dan beramal shaleh dan beramal shaleh….
Sebab saya seorang Muslim, dan cukup sudah bekal Islam saya dengan Al-Qur`an, kemudian Hadits, Sunnah dan Sirah Rasul yang saya telusuri melalui Sejarah Hidup Nabi Muhammad karya Husain Haekal yang diterjemahkan oleh beliau Bapak Ali Audah.
Saya membaca buku itu sejak remaja. Saya pikir itu adalah buku yang diterjemahkan oleh penulis dari masa silam, kalau dilihat dari usia generasi saya. Tapi yang saya tidak sangka adalah ternyata buku itu diterjemahkan oleh seorang penulis masa depan, ketika saya lihat dari kenyataan bahwa dunia penulisan sudah menjadi masa silam saya.
2.
Beliau Bapak Ali Audah adalah seorang pembelajar ototidak.Ia tidak tamat Madrasah Ibtidaiyyah dan juga tidak pernah belajar di pesantren. Tetapi ia mampu menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab dengan sangat baik. Bukan main-main, karya yang diterjemahkannya adalah buku-buku yang berkualitas dan menjadi acuan atau referensi utama.
Puluhan tahun saya juga berbangga bahwa saya seorang pembelajar otodidak. Dan saya pura-pura tidak tahu kekalahan dan kepalsuan saya. Beliau Bapak Ali Audah tidak tamat Madrasah, sedangkan saya kurang murni otodidak, sebab saya sekolah sampai SMA meskipun lulus paksa. Beliau Bapak Ali Audah tidak pernah nyantri di Pesantren, sementara saya santri Gontor meskipun diusir di tengah jalan.
Kekalahan utama saya ada dua hal. Pertama, saya santri Gontor tapi tidak mampu menerjemahkan karya apapun, jangankan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia: dari bahasa Jawa bahasa Ibu saya sendiri pun tak ada sebiji karya terjemahan yang saya pernah hasilkan. Kedua, kekalahan yang sangat memalukan. Masyarakat dan ummat Islam tidak pernah menyebut ‘Kiai Ali Audah’, sementara ‘Kiai Ainun Nadjib’ ada dalam daftar dan ranking Kiai-Kiai di Indonesia. Padahal yang menguasai bahasa Al-Qur`an adalah Kiai yang tidak terdaftar itu.
Saya tidak khawatir akan merasa malu atas kenyataan itu di Indonesia, karena Indonesia benar-benar semakin kehilangan parameter untuk membedakan mana yang sungguh-sungguh Kiai dan mana yang sekedar Ngiyai. Bahkan andaikan pun Indonesia masih punya pengetahuan untuk mampu membedakan, insyaAllah tidak peduli juga dan enteng-enteng saja untuk mengkiaikan yang bukan Kiai dan mem-bukan-Kiaikan yang benar-benar Kiai.
Namun demikian saya berdoa dan meronta sejadi-jadinya agar para Malaikat kelak di akhirat tak usahlah menggoda dan ngerjain saya soal itu. Apalagi kalau itu disaksikan oleh beliau Bapak Ali Audah dari sebuah jendela di sorga, sementara saya masih magang di antara sorga dan neraka.
Lebih mempermalukan saya lagi kalau satu Malaikat ngerjain saya, beberapa lainnya duduk-duduk di sekitarnya membaca “Abu Bakar As-Shiddiq yang Lembut Hati”, “Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu”, “Usman bin Affan: antara Kekhalifahan dengan Kerajaan”, “Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam”….
Lebih celaka lagi kalau ejekan kepada saya itu ditambahi dengan memanggil rekan-rekan sesama magang antara sorga dan neraka, dikumpulkan, dikasih dan diperintahkan untuk membaca “Malam Bimbang”, “Hari Masih Panjang”, “Jalan Terbuka”, “Icih”, bahkan “Peluru dan Asap”, “Saat Lonceng Berbunyi” dll.
Ya Allah, please jangan permalukan hamba-Mu yang toh sudah penuh malu ini.
3.
Beliau Bapak Ali Audah adalah seorang hamba Allah yang hidup syahid. Orang yang hidup syahid bukanlah orang yang tidak perlu mati untuk menjadi syahid. Sebab dua hal. Pertama, Allah sendiri menyatakan secara lugas bahwa hamba-hambaNya yang syahid tidak mati. Kedua, konteks syahid memang tidak terutama terkait dengan hidup atau mati.
Syahid adalah orang yang menyaksikan keagungan Allah dengan karya dan lelaku hidupnya, dengan perjuangannya, ketekunannya, kesetiaannya, keikhlasannya, tentu saja yang dilandasi oleh akar ketaqwaannya, totalitas kepasrahannya, tunai lillahi-ta’ala-nya, serta tanpa reserve kepatuhan uluhiyahnya.
Apakah beliau Bapak Ali Audah seorang yang hebat? Jangan. Jangan hebat. Jangan bawa dan tenteng-tenteng kehebatan ke sana kemari kepada sesama manusia karena sesungguhnya yang hebat bukan engkau. Jangan persembahkan kehebatan ke hadirat Allah wahai laron-laron di permukaan matahari wahai debu di tengah ruang hampa jagat raya….
Hebatilah dirimu sendiri 87 tahun. Hebatlah atas dirimu sendiri 87 tahun. Taklukkan dirimu sendiri 87 tahun. Kuraslah dirimu sampai kosong dan Allah akan mengisinya dengan kehebatan-Nya. Allah akan mengisikan diri-Nya padamu.
87 tahun tidak membangun kehebatan, melainkan ketekunan. 87 tahun tidak menegakkan kebesaran, melainkan kepatuhan. 87 tahun tidak mengibarkan kegagahan, melainkan kesetiaan. 87 tahun tidak memperjuangkan keunggulan, melainkan keikhlasan.
Manusia yang berdiri di muka bumi dengan kehebatan, kebesaran, kegagahan dan keunggulan, yang diatas-namakan dirinya sendiri, menjadi bahan tertawaan di kalangan masyarakat langit….
Beliau Bapak Ali Audah syahid atas hakekat itu, sehingga penuh tawadlu’ hidupnya. Beliau Bapak Ali Audah bersyahadah atas sifat sejati itu, sehingga selalu tenteram jiwanya.
4.
Kita mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada beliau Bapak Ali Audah yang telah berkenan memberi peluang kepada kita untuk menjalankan kewajiban yang sangat terlambat kami sadari, yakni menghormati, menghargai dan menjunjung beliau. Bapak Ali Audah tidaklah membutuhkan apa yang kita laksanakan hari ini, demi Allah kitalah yang butuh menghormati, menghargai dan menjunjung beliau.
Pun sesungguhnya, kata “menghormati, menghargai dan menjunjung” tidaklah tepat mewakili apa yang kami maksudkan. Mungkin malah bermakna terbalik.
Kita belum pernah matang benar menggunakan bahasa, atau Bahasa Indonesia juga masih belum benar-benar teruji untuk mewakili kualitas nilai yang dimaksudkannya.
Menghormati bukanlah memberi kehormatan. Karena memberi kehormatan haruslah kepada orang yang tidak punya kehormatan, sehingga perlu diberi kehormatan. Menghargai bukanlah menyampaikan harga kepada orang yang tidak berharga. Dan menjunjung, adalah tindakan untuk menaikkan seseorang dari posisi yang lebih rendah ke posisi yang lebih tinggi.
Maka dengan segala kerendahan hati kami mohon bimbingan kepada beliau Bapak Ali Audah, agar sesudah ini kami mulai punya kemampuan untuk menterjemahkan apa yang sebenarnya kami maksudkan melalui atau menjadi kata, idiom dan susunan kalimat yang lebih tepat dan aman.
Dengan kata lain, apa yang kita lakukan hari ini, bukanlah kesombongan untuk menghargai, melainkan kerendahan hati untuk belajar kepada Bapak Pendekar Penerjemahan Nasional. Ini pun salah. Seharusnya Bapak Pendekar Penerjemahan Internasional, sebab pekerjaan penerjemahan pastilah berskala antara bahasa Nasional dengan Bahasa Nasional lainnya, alias internasional.
Ya Allah, betapa rapuh dan lemahnya kesanggupan hamba-hambaMu dalam menerjemahkan kehidupan. Sehingga terkutuklah manusia, masyarakat, Pemerintah, Negara dan Bangsa yang buta matanya, tuli telinganya dan bebal akalnya, di dalam memahami betapa pentingnya seorang Penerjemah di dalam kehidupan, kebudayaan dan peradaban.
Sungguh terkutuk, dan patut dilaknat kami semua ini. Oleh karena itu jalannya tinggal satu ya Allah: ampunilah kami semua.
5.
Yang kita lakukan hari ini bukanlah peristiwa menjunjung beliau Bapak Ali Audah, melainkan Bapak Ali Audah menjunjung kita semua. Hampir satu abad beliau Bapak Ali Audah menjunjung dirinya ke maqamat yang sangat tinggi, dan hari ini dari dataran yang rendah kita melemparkan tali ke atas, tangan beliau Bapak Ali Audah menyambut dan menggenggam tali itu, kemudian kita memanjat naik ke maqamat beliau. Bahkan dengan tali itu beliau Bapak Ali Audah menarik kita ke atas. Sebagaimana kalau kita mendekat kepada Allah sehasta, Allah mendekat kepada kita sedepa. Kemudian kita lebih mendekat kepada Allah sedepa, Allah pun langsung mendekat kepada kita sepenggalah.
Maksud saya, seharusnya kita semua yang hadir di sini pergi beramai-ramai sowan ke rumah beliau Bapak Ali Audah untuk menyampaikan rasa hormat dan hajat junjungan. Bukannya beliau yang kita minta datang dan kita tunggu di rumah kita.
Tetapi demikianlah al-khalish wal-mukhlis beliau Bapak Ali Audah sekarang berada di sini, dan bukannya kita yang berada di ruang tamu rumah beliau – menunjukkan secara sangat nyata bahwa beliau Bapak Ali Audah bukan sekedar orang yang memang paling berhak menjadi pancer cahaya acara ini, melainkan lebih dari itu: Allah telah memilih beliau Bapak Ali Audah untuk menjadi penghantar hidayah agar menumbuhkan kesadaran betapa kebanyakan dari kita telah abai dan alpa terhadap betapa pentingnya jenis amal saleh yang Allah amanatkan kepada beliau Bapak Ali Audah.
Demi Allah, apapun kata yang saya ocehkan ini, juga apapun yang kita semua lakukan dengan acara ini, tidaklah sedikitpun menambah derajat kemuliaan hidup beliau Bapak Ali Audah. Sesungguhnya kitalah yang sedang ditaburi cipratan kemuliaan oleh beliau Bapak Ali Audah.
Prinsip martabat dan logika moral sosial tidak mengizinkan kita menghormati orang yang minta dan menunggu-nunggu untuk dihormati. Tetapi tingginya derajat ilmu dan sucinya pengetahuan sejati mewajibkan kita untuk menyampaikan rasa hormat kepada orang yang tidak pernah menagih untuk dihormati.
Maka acara ini kita langsungkan semata-mata untuk kepentingan dan keselamatan kita di hadapan Allah dan beliau Bapak Ali Audah. Acara ini sama sekali tidaklah mengandung apapun yang beliau Bapak Ali Audah berkepentingan atasnya.
Kalau kita menjunjung beliau, tidaklah membuat beliau menjadi berderajat lebih tinggi, sebab bagaimana mungkin kerendahan sanggup mempersembahkan ketinggian, apalagi kepada orang yang ketinggiannya tidak terjangkau oleh kerendahan.
Kalau kita tidak menjunjung beliau, sama sekali tidaklah membuat beliau menjadi lebih rendah dari ketinggiannya, sebab kerendahan itu terletak di luar diri beliau Bapak Ali Audah tanpa pernah bisa menyentuh ketinggian beliau.
6.
Itulah sebabnya saya bersyukur sampai hari ini di baju beliau Bapak Ali Audah tidak tersemat tanda penghargaan atau penghormatan apapun dari Pemerintah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gadis yang berwajah cantik jangan berbangga dipuji kecantikannya oleh pemuda yang buta matanya. Rumah Puisi mungkin tidak pasti bukan pemuda yang buta matanya, tetapi hari ini ia membuktikan kedalaman nuraninya, ketajaman akal sosial dan kearifan budayanya, untuk menemukan kecantikan sejati gadis itu yang terdapat tidak pada wajahnya, melainkan pada kandungan jiwanya serta bau keringat kerja kerasnya.
Beliau Bapak Ali Audah telah benar dan dibenarkan oleh Allah memilih wilayah amanah kehidupannya. Benar memilih nilai dan pekerjaan di antara berbagai-bagai kemungkinan nilai dan pekerjaan manusia di muka bumi. Kemudian beliau membangunnya dengan kesungguhan, kesetiaan dan keikhlasan yang sukar dicari tandingannya.
Masing-masing kita yang hadir di sini mungkin juga orang yang bersungguh-sungguh, setia dan ikhlas bekerja. Tetapi jangan pernah pamerkan itu di hadapan orang yang bekerja sungguh-sungguh, setia dan ikhlas selama 87 tahun. Tataplah wajah beliau, yang sama sekali bukan wajah 87 tahun. Rasakanlah ketangguhan mental, kekhusyukan hati dan keluasan jiwa beliau. Andaikan Allah tidak rikuh atau pekewuh kepada kita yang jauh lebih muda tapi rapuh, mungkin akan dipaparkan di depan kesombongan dan kekerdilan kita semua bahwa sampai kelak 50 tahun lagi tetap secerah dan sebercahaya itu wajah beliau Bapak Ali Audah.
Bukittinggi, 3 Desember 2011