Kalam Maiyah
1.
Malam ini kita menghormati dan menyampaikan penghargaan kepada 3 + 9 orang di antara sekian orang yang pekerjaan sehari-harinya insyaAllah disenangi oleh Tuhan, di tengah gegap-gempita peradaban modern yang profesi utamanya adalah menyakiti hati Tuhan.
Malam ini kita bukan sedang memberikan penghargaan kepada orang yang prestasinya hebat, yang punya kekuatan dahsyat, yang punya kreativitas mumpuni, yang punya kepandaian intelektual, atau yang punya ketinggian spiritual.
Ijazah Maiyah dan Syahadah Maiyah juga tidak diperuntukkan bagi orang dengan keunggulan professional, bahkan tidak juga untuk keunggulan itu sendiri. Maiyah berpendapat manusia tidak perlu mengungguli sesama manusia.
Wilayah nilai yang mengumpulkan kita di sini bukan hal-hal besar atau yang dianggap besar oleh Peradaban Materi yang sedang berlangsung sekarang ini, melainkan hal-hal yang kecil, sederhana, dasar dan inti pada kehidupan manusia.
Yakni benarnya seseorang memilih nilai dalam hidupnya. Otentisitas pilihan itu sehingga membuatnya punya karakter untuk menjadi orang yang bukan dirinya. Kesungguhan di dalam menjalankan nilai pilihannya itu. Kesetiaan di dalam memperjuangkannya dalam rentang waktu yang lama dan teruji. Serta keikhlasan untuk menanggung segala akibat, resiko atau bahkan kesengsaraan karena pilihannya.
2.
Nilai-nilai yang diambil, dipercaya dan diterapkan selama dua abad terakhir oleh ummat manusia sedunia, tidak lama lagi akan mengalami kehancuran yang sungguh-sungguh.
Manusia, kelompok-kelompok, institusi-institusi dan satu-satuan dalam peradaban yang kini berlangsung, sudah mencapai puncak kebusukan dan kebobrokannya. Mereka terperdaya oleh pilihan nilainya sendiri. Mereka tertipu oleh kebanggaannya sendiri. Mereka terbentur dan terjerembab oleh andalan-andalan dan unggulan-unggulannya sendiri. Maiyah menyaksikan ummat manusia sedang menyelenggarakan upacara bunuh diri kemanusiaan secara massal dan global.
Proses bunuh diri global atau dialektika penghancuran yang dilakukan oleh ummat manusia atas dirinya sendiri itu segera akan muncul di altar sejarah berupa kehancuran ekonomi di wilayah-wilayah permukaan bumi yang selama ini dipercaya sebagai tonggak-tonggak kekuatan ekonomi.
Hal itu akan memacu meningkatnya secara radikal potensi konflik, penyerbuan militer, peluncuran nuklir, adegan-adegan bunuh diri dalam arti yang wadag dan nyata, mengubah alam pikiran dan psikologi ummat manusia ke arah chaos kejiwaan dan kebingungan intelektual yang tidak bisa dihindarkan lagi.
Gedung-gedung tinggi yang angkuh kepada Tuhan akan ambruk. Panggung-panggung dengan aktor-aktor sejarah yang arrogan akan berpatahan tiang-tiang penyangganya. Lampu-lampu gemerlap yang memancarkan kesombongan akan meredup atau padam sama sekali. ‘Atheisme’ peradaban abad-21 akan sampai di ujungnya.
Malam ini Jamaah Maiyah Nusantara menyampaikan cinta dan junjungan kepada 3 + 9 orang di antara sekian orang, yang tidak ikut menghancurkan kehidupan dan tidak turut merusak dunia.
3.
Maiyah tidak punya derajat, fasilitas dan dana, untuk memberi penghargaan kepada siapapun. Sehingga Maiyah juga tidak mencari-cari orang, tokoh atau siapapun, dari berbagai bidang atau profesi, untuk diberi penghargaan.
Maiyah hanya melakukan tugas perjalanan sejarahnya – yakni memperluas wilayah di mana manusia diajak bersama-sama membangun perilaku yang tidak dibenci oleh Allah — kemudian menjumpai 3 + 9 orang, kali ini, yang bukan hanya layak atau patut dihormati, tapi bahkan wajib dijunjung tinggi, dengan takdzim penghargaan, sejauh yang Maiyah mampu lakukan.
Tentu saja Maiyah optimis ada ribuan orang yang memiliki kepatutan semacam itu, tetapi Maiyah malam hari ini hanya sanggup menjunjungkan cinta kepada 3 + 9 orang suri tauladan.
Di tengah kehidupan yang sedang berjalan santai menuju kehancuran demi kehancuran, yang berlangsung sangat lamban secara materiil, namun berlangsung sangat cepat dan radikal secara ruhaniyah — Maiyah memberikan penghargaan kepada ‘3 + 9 titik cahaya’, di antara ratusan titik cahaya lainnya, di tengah ribuan titik-titik cahaya yang lebih luas namun samar-samar.
3 + 9 titik cahaya itu menjalani kehidupan yang bertentangan dan berarus balik dari arus raksasa penghancuran dan kehancuran nasional global yang sedang berlangsung.
4.
Maiyah menemukan bahwa salah satu jenis kehancuran mendasar yang sedang kita alami secara nasional dan sebentar lagi tiba di puncaknya, adalah – bahwa — di manapun manusia berada, sebagai apapun ia, perilakunya semakin berkecenderungan untuk tidak memaksudkan setiap kosakata sebagaimana makna dari kosakata itu.
Setiap kata, idiom, istilah, dimaksudkan oleh manusia di Negeri ini tidak sebagaimana kandungan arti yg diwakili oleh kata-kata itu. Kata ‘manusia’, ‘masyarakat’, ‘Negara’, ‘demokrasi’, ‘Agama’, ‘pembangunan’, ‘kemajuan’, ‘kesejahteraan’, ‘keadilan’, ‘Pemerintah’, ‘politik’, dan hampir kata apapun saja termasuk ‘Nabi’, ‘Malaikat’ dan ‘Tuhan’.
Kalau disebut ‘manusia’, ternyata bisa berarti ‘hewan’, ‘setan’ atau ‘benda’.
Kalau diucapkan ‘masyarakat’, yang dimaksud bias ‘penduduk’, ‘gerombolan’, juga tidak diurus perbedaannya dengan ‘ummat’, ‘kaum’, ‘bangsa’ atau ‘suku’.
Dikatakan ‘Negara’, padahal kenyataannya ‘Perusahaan’.
Dibilang ‘Demokrasi’ faktanya ‘Jebakan’.
Disebut ‘Agama’, maksud tersembunyinya adalah ‘Komoditas’.
Diumumkan kata ‘Umroh’, maksud aslinya adalah ‘Money Laundring’.
Dipidatokan ‘Pembangunan’, kandungannya adalah ‘Pegadaian’.
Diorasikan ‘Kemajuan’, prakteknya adalah ‘Kemacetan’.
Membangga-banggakan ‘Kesejahteraan’ tanpa menyebutkan bahwa itu tidak dimaksudkan untuk rakyat.
Menuturkan ‘Keadilan’, tidak ada ilmunya, sehingga tak ada pula kenyataannya.
Kita pikir ‘Pemerintah’, ternyata Buruh yang berlaku Juragan.
Ngomongnya politik, ternyata yang dimaksud adalah Penipuan.
Yang dimaksud ‘Nabi’ adalah Dukun
Yang dimaksud ‘Malaikat’ adalah adalah Peri
Yang dimaksud ‘Tuhan’ adalah Artis.
Jamaah Maiyah Nusantara melihat, menyaksikan, menemukan dan membuktikan dalam jangka waktu puluhan tahun
Bahwa Bunda Cammana benar-benar Bunda Cammana
Bahwa Kartolo sungguh-sungguh Kartolo
Bahwa Joko Teman asli Joko Temon
Bahwa Pakde Nuri sejatinya memang Pakde Nuri
Bahwa Bang Alisyahbana adalah pohon yang meskipun hidup di tanah yang hampir tak memungkinnya tumbuh, ia tetap subur rindang sebagai Bang Alisyahbana
Bahwa Pakde Heru Yuwono tak ada lain kecuali Heru Yuwono
Bahwa Harwanto Dahlan dari lahir hingga wafat adalah Harwanto Dahlan
Bahwa Lik Rahmat Mulyono tidak pernah sedetikpun menjadi bukan Lik Rahmat Mulyono
Bahwa Cak Sumitro Sumajah penuh penderitaan untuk bertahan menjadi Sumitro Sumajah
Bahwa Mas Uki Bayu Sejati tidak pernah masuk angin sehingga mengubahnya menjadi bukan Mas Uki Bayu Sejati
Bahwa Joko Kamto jiwa hidupnya bertapa sehingga gegap gempita dunia tak sanggup menggesernya dari kepribadian Joko Kamto
Bahwa Nevi Budianto tidak terpengaruh oleh nikmatnya sorga untuk terus berdiri tegak sebagai Novi Budianto
Wassalam
Surabaya, 14 November 2011
*) dibacakan pada saat acara IJAZAH MAIYAH 14 November 2011, di Gedung Cak Durasim, Surabaya.