Inverted Indonesia, Yang Terbalik Tidak Selalu Tidak Baik
Jum’at sore di Jakarta, Ramadlan, hujan dan macet. Perpaduan sempurna nuansa senja di eks Ibukota Jakarta.
Jum’at sore di Jakarta, Ramadlan, hujan dan macet. Perpaduan sempurna nuansa senja di eks Ibukota Jakarta.
Tetapi “hudan linnas” mencerminkan rasio bahwa sesungguhnya setiap manusia oleh Allah diciptakan memiliki peralatan akal dan kelengkapan kejiwaan untuk bersentuhan dengan Al-Qur`an.
Mereka akhirnya bisa menjadi penghalang iman dan ilmu kita. Mereka melakukan atau berposisi memonopoli Allah dari alam kejiwaan kita. Mereka menjadi makelar-makelar atau pengecer-pengecer yang memotong hubungan otentik kita dengan Allah.
Kalau sakit ya ke Dokter. Kalau sakit jiwa ya ke psikiater. Kalau melarat, silahkan cari makan sendiri. Kalau pas ketakutan kepada Pamong, baru kalian boleh datang ke Kiai….
Sarasehan yang dihadiri oleh doktor bule itu jelas akan berlangsung hingga pagi.
Buku ini disusun tidak dengan berangkat dari teknik pembaganan atau sistematisasi permasalahan, melainkan merupakan rangkuman suatu konteks yang tak berbeda, serta diusahakan antara satu tulisan dengan lainnya memiliki alur.
Gareng mencuri ayam dikurung tiga bulan, sang senopati makan tiga samudera minyak malah tidur ongkang-ongkang di permadani yang bersambung dari satu bukit ke bukit lain.
Duh Maha Resi yang mengetahui jumlah kelopak bunga seluruhnya yang telah gugur, yang sedang kembang serta yang baru akan tumbuh, di bumi dan langit
Ampunilah kebodohan kami
ia bermain cinta
bermain cinta, lewat kau ke ia
ia mengalir, berjalan-jalan di kau
ia bertualang, bernyanyi, menangis
Abadi kerinduan
Kepada yang selalu bukan
Nurani sendiri tak terpegang
Tuhan ngumpet di kebisuan
H.B. JASSIN pengamat dan kritikus sastra terkemuka Indonesia dalam komentarnya menanggapi perkembangan sastra budaya Islam, menyatakan optimis melihat kecenderungan-kecenderungan baru dalam kepuisian dewasa ini.
Bila pada tahun 1930-an para cendekiawan mengupayakan dekolonialisasi substantif dan akad politiknya berwujud kemerdekaan 1945, maka tahun 1970-an Cak Nun memulai esai-esai lepasnya dan akad bukunya kemudian terbit pertama kali 1983.
Banyak sekali ekspresi masyarakat, terutama tokoh-tokoh kelas menengahnya, yang kemlinthi, gembagus, seneng pamer; “Saya merakyat! Kami peduli! Kami mengabdi rakyat!” dan banyak sekali umuk-umuk pekok seperti itu.